ISIS dan Ancaman Para "Penjual Murah" Surga
Minggu, 10 Agustus 2014 22:30 WIB
Adakah penjual surga, penjaja surga? Bahkan surga "dijual" begitu murah. Mereka adalah kelompok yang menebarkan ketakutan dan menggunakan kata-kata yang sebetulnya sangat disucikan dalam agama. Jihad.
Saat ini yang sedang hangat jadi perbincangan adalah keberadaan kelompok "Islamic State of Iraq and Syria" (ISIS) atau Negara Islam di Irak dan Suriah. Terlepas dari isu bahwa keberadaan ISIS dicurigai melibatkan Amerika Serikat yang kini memiliki alasan untuk menyerang Irak dan pada gilirannya dikhawatirkan juga menghancurkan negara lain dengan mayoritas penduduk Muslim.
Di Tanah Air, paham para "pengkapling surga" itu langsung mendapat tempat di hati mereka yang memang suka dengan jalan kekerasan dalam memahami agama. Polisi telah menangkap mereka yang seideologi dengan ISIS, antara lain di Ngawi (Jawa Timur) dan Bekasi (Jawa Barat). Artinya, kemunculan ISIS telah membuat gaduh aparat keamanan untuk memberangusnya, bahkan dikhawatirkan menimbulkan kekisruhan di antara sesama umat Islam sendiri.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai mengatakan kelompok berpaham radikal, seperti ISIS, terlalu murah menjual dan menjanjikan surga kepada pengikutnya lewat aksi kekerasan dan teror.
Menurut dia, mereka merasa paling paham doktrin agama sehingga merasa paling punya otoritas untuk memaksa dan menghakimi orang lain, bahkan sesama umat Islam yang bertentangan dengan paham mereka.
Kelompok itu, kata Ansyaad, menganggap merekalah yang paling punya hidayah, sementara ulama-ulama pendahulunya, termasuk golongan jahiliyah.
"Mereka yakin dengan melakukan segala kengerian itu mereka akan masuk surga, pola pikir itu yang mereka gunakan. Orang-orang ini menjual surga terlalu murah," kata pensiunan jenderal polisi berbintang dua ini.
Kita tahu bahwa pilihan menyebarkan ideologi dengan kekerasan itu sangat jauh dari roh Islam yang "rahmatan lil'alamin". Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam. Islam tidak menjadi rahmat pada umat Islam saja, atau sekelompok tertentu saja dari umat Islam, tapi semua, bahkan semut atau makhluk-makhluk super kecil yang sepertinya hanya remeh-temeh.
Al Quran yang menjadi pegangan suci umat Islam dimulai dengan kalimat yang mengajarkan cinta dan kasih. "Bismillahirrahmaanirrahiim" atau "Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang". Kalimat itu menjadi pembuka dalam Al Fatihah, surat pertama dalam Al Quran.
Mengapa mereka menampakkan wajah sebagai penebar kengerian? Karena mereka menganggap paham yang diyakininya yang paling benar. Semua yang berbeda dengan mereka adalah salah. Dalam konteks yang lebih ringan, kelompok-kelompok yang merasa beragamanya paling benar cukup banyak juga di negeri ini. Mereka menganggap kelompok lain sebagai ahli bid'ah, suka mengada-ada dalam beragama sehingga ajarannya harus "dibersihkan". Mereka lupa bahwa pemahaman agama itu adalah tafsir. Tafsir itu bisa sepenuhnya benar, bisa banyak benarnya, bisa juga benarnya sedikit. Hanya Allah yang tahu persis mengenai makna dari ajaran agama. Karenanya ulama yang rendah hati selalu menutup pendapatnya dengan "wallahu a'lam" atau hanya Allah yang tahu.
Mereka yang merasa paling benar dalam memahami agama, sejatinya telah menunjukkan kecongkakan hati. Itu juga yang dilarang oleh agama, karena urusan paham dan amalan siapa yang paling diterima di sisi Allah bukan wilayah manusia. Hal itu sepenuhnya merupakan hak "prerogatif" Allah.
Ketua Umum MUI Din Syamsuddin mengatakan bahwa tindakan orang-orang ISIS itu bukan mencerminkan Islam yang dikenal dengan agama kasih sayang dan mencintai kedamaian.
"Ini berbahaya, karena dapat memecah belah keharmonisan dalam kehidupan sosial bermasyarakat di Indonesia," kata tokoh yang juga Ketua Umum PP Muhammadiyah ini.
Benar kata Ansyaad Mbai. Masalah terorisme dan turunannya bukan semata-mata merupakan tugas polisi, tetapi semua pihak. Seluruh organisasi kemasyarakat Islam, para ulama, guru dan orang tua memiliki tanggung jawab yang sama untuk membendung paham tersebut agar tidak bersemai di bumi Pancasila ini.
Orang tua perlu meningkatkan level waspada agar suatu saat tidak terkaget-kaget dan kemudian hanya bisa berujar, "Anak saya selama ini baik-baik saja, tidak pernah macam-macam." Bukankah hanya kalimat itu yang diucapkan oleh orang tua yang anaknya ditangkap polisi karena menyandang status teroris?.
Memang tidak ada rumus pasti bagaimana orang tua mendampingi anak-anaknya agar tidak terseret gerakan kaum teroris. Barangkali prinsip paling dasar dalam psikologi yang bisa kita lakukan adalah membangun kedekatan dan komunikasi intensif dengan anak.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa fenomena ISIS harus dihadapi secara serius karena harus diselesaikan secara mendasar dan masalahnya pun kian kompleks karena sudah menyentuh sendi-sendi negara dan agama.
"Perlu kebersamaan semua pihak untuk mengatasi persoalan itu. Oleh karena itu, ormas Islam perlu memiliki pemahaman yang cukup sehingga tidak mudah terprovokasi dengan ideologi ISIS," ujar Lukman. (*)