Jember (Antara Jatim) - Dunia pendidikan kembali tercoreng oleh aksi kekerasan yang dilakukan oleh sejumah senior taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) hingga menewaskan seorang taruna bernama Dimas Dikita Handoko (19). Belum hilang dari ingatan kita bahwa kasus yang menimpa Dimas bukanlah yang pertama kali terjadi di STIP, dan sekolah kedinasan lainnya seperti Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) juga beberapa kali mengalami kejadian serupa yang menyebabkan mahasiswa junior tewas akibat ulah para seniornya. "Kekerasan yang menimpa Dimas bukanlah kasus baru dan kejadian itu menjadi deretan hitam yang mencoreng dan memperburuk pendidikan di Indonesia," kata pengamat pendidikan Universitas Jember, Dr Abdul Qodim Manembodjo. Menurut dia, kekerasan yang dilakukan senior kepada junior menunjukkan bahwa praktek pendidikan seperti foto kopi dan cenderung dipelihara karena mereka pernah mengalaminya saat menjadi junior, sehingga tahun berikutnya menjadi ajang untuk "balas dendam" kepada mahasiswa di bawahnya. "Orientasi yang dilakukan kepada mahasiswa baru seperti perploncoan dan kekerasan fisik sudah tidak zamannya lagi karena cara untuk mendidik seorang pelajar/mahasiswa agar menjadi tegas dan disiplin, bukan dengan kekerasan seperti itu," ucap pengajar sosiologi pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unej itu. Ia menilai mahasiswa kurang paham akan pendidikan semimiliter yang diterapkan di sejumlah sekolah kedinasan karena mereka menganggap disiplin harus diterjemahkan sebagai kekerasan, padahal kekerasan fisik secara berlebihan itu tidak ada hubungannya dengan disiplin dan justru bertentangan dengan disiplin itu sendiri. "Kekerasan bukan identik dengan disiplin, namun yang diperlukan untuk menumbuhkan displin adalah ketegasan dengan sistem 'reward dan punishment' karena kekerasan fisik tidak akan membentuk karakater dan watak mahasiswa lebih baik," katanya. Untuk itu, lanjut dia, kasus kekerasan yang menimpa taruna STIP Dimas harus menjadi kasus terakhir di dunia pendidikan karena selama ini semua pihak tidak pernah belajar dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi beberapa tahun lalu. "Kasus kekerasan seksual di Jakarta International School (JIS) dan kasus kekerasan yang dialami Dimas di STIP merupakan fakta yang cukup memprihatinkan karena terkesan bahwa kekerasan dalam pendidikan senantiasa mengancam masa depan dan kehidupan anak-anak bangsa," paparnya. Ia menjelaskan pemerintah dan kalangan pendidikan perlu mengadakan kajian yang tuntas disertai regulasi kebijakan pendidikan yang komprehensif dan semua lembaga pendidikan perlu berbenah diri untuk melakukan gerakan massif, agar kekerasan dalam lingkungan pendidikan tidak terjadi lagi di negeri tercinta. "Secara internal, lembaga sekolah atau pendidikan tinggi juga harus memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku yang melakukan kekerasan fisik, sehingga hal tersebut bisa menjadi efek jera bagi semuanya," katanya. Selain itu, regulasi yang ketat dengan sanksi yang konsisten dan tegas oleh pemerintah kepada lembaga pendidikan mulai dari penurunan nilai akreditasi, pencopotan pimpinan sekolah, hingga pencabutan izin lembaga pendidikan bila tetap membiarkan terjadinya perilaku kekerasan di sana. "Di momentum Hari Pendidikan Nasional ini, marilah semua kalangan pendidikan introspeksi terhadap catatan buram pendidikan selama ini dan semoga saja tindakan kekerasan dalam pendidikan tidak terulang kembali karena peningkatan mutu pendidikan menjadi prioritas utama untuk memperbaiki nasib bangsa ke depan," ujarnya. Selamat Hari Pendidikan Nasional !!!
Qodim: "Stop Kekerasan di Dunia Pendidikan !"
Jumat, 2 Mei 2014 7:32 WIB