Memperingati Hari Penanggulangan Degradasi Lahan Se-Dunia 17 Juni
Senin, 17 Juni 2013 12:52 WIB
Oleh Dr Ir Amien Widodo
(Surabaya/Antara Jatim) - Semua orang sangat terkejut saat terjadinya letusan Gunung Merapi November 2010 yang tidak seperti biasanya karena letusan ke arah atas dan berlangsung berhari hari. Selama ini meletus ke satu arah saja yaitu ke Sungai Gendol.
Karena letusan ke atas maka dampaknya di empat kabupaten di sekeliling gunung sehingga korban menjadi lebih banyak dan mengungsikan puluhan ribu orang. Bencana itu tidak berhenti begitu saja tapi masih berlangsung dengan banjir lahar dingin yang datang setiap musim hujan.
Setelah letusan Gunung Merapi selesai kita semua bisa melihat di puncak sampai radius beberapa kilometer berupa tumpukan batu dan pasir tanpa ada tumbuhan sama sekali karena semua tumbuhan mati. Apa yang kita lihat atas letusan ini juga memberi gambaran pada kita semua bahwa permukaan bumi tersusun oleh batu dan air. Pada kenyataanya permukaan bumi lebih banyak dibentuk oleh tanah dan air.
Memang pada awalnya permukaan bumi ini berupa batuan, belum ada tanah. Gunung berbatu berubah menjadi tanah karena iklim terutama suhu dan hujan. Pada siang hari suhu panas dan pada malam hari suhu dingin sehingga batu akan pecah beranakan menjadi batu batu kecil dan atau batu akan retak retak dan atau mengelupas.
Hujan membawa karbon dioksida dan oksigen yang ada di udara turun ke permukaan bumi membasahi seluruh permukaan batuan, meresap diantara batuan dan meresap lewat retakan sehingga terjadi reaksi kimia antara batuan, air hujan yang mengandung CO2 dan O2. Akibat reaksi dengan hujan ini batu berubah warna, mineral penyusun batuan berubah menjadi tanah. Burung burung yang lewat di pegunungan mengeluarkan biji bijian dalam kotorannya dan biji tumbuh jadi pohon.
Agar bisa hidup pohon butuh air hujan dan butuh nutrisi dari mineral tanah. Daun daun mengambil CO2 dan sinar matahari untuk dirubah jadi gula (energi) untuk keberlangsungan kehidupan vegetasi. Dedaunan juga akan mengeluarkan uap air agar bisa menambah volume hujan yang akan datang. Sedangkan kanopi berfungsi sebagai menahan energi hujan, sehingga butiran hujan tidak langsung menerpa tanah, di bawah pohon ada sersah pohon bersama tubuh pohon dan akarnya akan menahan air dan meneruskan air hujan merembes ke dalam tanah untuk mengisi cadangan air tanah untuk keberlangsungan hidup pohon saat kemarau.
Bila air tanah berlebihan dikeluarkan sebagai mata air-mata air di wilayah tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi mineral, akar pohon mengeluarkan enzym yang berguna untuk melapukkan batuan dan tiap ujung akarnya bisa mengambil mineral yang ditubuhkan pohon. Vegetasi ikut mempercepat proses pembentukan tanah. Agar tanah tidak longsor maka akar akar serabutnya menahan atau memegang tanah sehingga daya ikat tanah meningkat, sedangkan akar tunjangnya menancap ke dalam tanah berfungsi sebagai angker.
Batuan-iklim-vegetasi saling berinteraksi dan bersimibiosis membentuk dan menebalkan tanah seiring dengan berjalannya waktu. Kecepatan pelapukan dan pembentukan tanah butuh waktu yang sangat lama, untuk kawasan tropis dalam waktu satu juta tahun baru tebal tanah yang dihasilkan sekitar 60 meter atau 0,006 centimeter per tahun.
Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa hutan yang ada di kawasan tangkapan air atau kawasan resapan mempunyai fungsi yang sangat baik untuk menahan air banjir dan menyerapkan air hujan ke dalam tanah > 80%. Ini menunjukkan bahwa hutan di pegunungan bisa membantu mendistribusikan air hujan semusim dalam jangka setahun dan dikeluarkan secara proporsional lewat mata air-mata air di sekeliling pegunungan yang akan mensuplai dan menambah debit sungai di bawahnya sehingga sungai sungai bisa mengalir sepanjang tahun..
Penghilangan vegetasi akan menyebabkan tanah tak terlindungi sama sekali dan sangat rentan mengalami erosi dan atau longsor. Erosi akan terjadi setiap terjadi hujan, sedangkan longsor hanya kondisi tertentu saja. Seperti diketahui bahwa kawasan pegunungan dengan hutan lebat maka faktor hutan mempunyai angka faktor 0,001, tapi kalau gundul tanpa hutan akan meningkat 1000 kali dengan kata lain jumlah tanah yang tererosi 1.000 kalinya.
Bersamaan dengan erosi akan diikuti menurunnya unsur hara tanah yang penting bagi kehidupan seperti kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat, pencucian unsur dll. Yang lebih dikhawatirkan kalau tidak segera dilakukan perbaikan adalah hilangya tanah penutup yang berarti gunung akan berubah menjadi gunung batu, dengan kata lain tanaman tidak akan bisa tumbuh.
Penebangan hutan di Indonesia tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun (Dephut, 2003).
Ancaman kerusakan hutan masih berlanjut dan semakin mengerikan, laju kerusakan resmi yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan sekitar 1,17 juta hektar pertahun. Akibatnya menurut Laporan Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2005 mnyebutkan bahwa sebanyak 62 dari total 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Indonesia saat ini dalam kondisi yang kritis. Hal itu mengakibatkan menurunkan nilai daya tampung air, fungsi pada daerah tangkapan dan resapan air.
Kondisi ini membawa implikasi meningkatnya rasio debit banjir sungai di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Kerusakan DAS tersebut membawa implikasi pula terjadi peningkatan erosi yang selanjutnya diikuti sedimentasi dan akibatnya terjadi kerusakan atau pendangkalan danau, waduk, embung, situ. Selanjutnya akan berdampak pada berkurangnya daya tampung dan pasokan air untuk irigasi serta Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Efek domino selanjutnya berdampak terhadap ketahanan pangan karena kawasan persawahan irigasi yang terletak di bagian hilir DAS akan kekurangan air, kemudian banyak areal pertanian yang subur dikonversi menjadi bangunan atau infrastuktur yang mengurangi lahan pangan produktif. Untuk menjaga agar PLTA tetap berjalan diperlukan upaya pengerukan dengan biaya tambahan yang sangat tinggi. (*)
-----------
*) Penulis adalah akar geologi ITS dan Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKBPI) ITS Surabaya.