Oleh Dr Ir Amien Widodo MSi *) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mencatat berbagai kejadian bencana di Indonesia dan menyimpulkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat kebencanaan paling rawan. Dalam rentang waktu sepuluh tahun, dari 2004 - 2014, tercatat 11.274 kejadian bencana dengan beragam penyebab di Indonesia. Bencana sebanyak itu telah menimbulkan 193.240 korban jiwa dengan kerugian negara akibat kebencanaan mencapai Rp162,8 triliun, belum termasuk biaya penanganan tanggap darurat yang menembus angka Rp102 triliun selama kurun waktu tersebut. Tahun 2014, sekitar 99 persen atau sejumlah 1.457 dari kejadian bencana yang ada merupakan bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, kebakaran hutan dan lahan, dan kekeringan. BNPB menyebutkan bahwa bencana musiman ini dikategorikan paling mematikan, karena menyebabkan 537 orang tewas dan sekitar 2,5 juta jiwa mengungsi. Ratusan ribu rumah terendam dan ratusan fasilitas umum rusak. Contohnya, banjir yang terjadi di Manado pada bulan Januari, sebanyak 25 jiwa meninggal, ribuan rumah terendam dan 40 ribu warga harus mengungsi. Atau, di Panial Papua yang menewaskan 10 jiwa, di Aceh pada November 2014 yang membuat sekitar 90.000 jiwa harus mengungsi, dan sebagainya. Tanah longsor juga banyak terjadi dengan kejadian yang terbesar pada bulan Desember 2014. Di Banjarnegara, Jawa Tengah, menyebabkan hampir 100 orang hilang, 1.300 orang harus mengungsi, dan sawah serta kebun yang menjadi penghidupan bagi warga juga rusak. Sebuah fakta yang harus diingat dan harus diterima oleh seluruh rakyat Indonesia bahwa secara geologis, klimatologis dan demografis, wilayah Indonesia rawan bencana. Sebagian wilayah Indonesia rawan gempa, sebagian wilayah pantainya rawan tsunami, rawan letusan gunung api, rawan longsor, rawan banjir bandang, rawan banjir, rawan semburan lumpur, rawan angin puting beliung, dan lain-lain. Peristiwa alam merupakan peristiwa biasa sebagai bagian dari dinamika bumi-atmosfir yang sudah berlangsung lama dan sampai sekarang masih terus berlangsung dan akan berulang dengan periode tertentu. Bisa tahunan, sepuluh tahunan, limapuluh tahunan bahkan ratusan tahun. Dulu, sebelum manusia diturunkan ke bumi, walau terjadi ribuan kali gempa, tsunami, gunung meletus, longsor, dan sebagainya, kalau tidak ada manusia maka itu hanya peristiwa alam biasa yang tidak ada masalah dan tidak menimbulkan bencana. Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tidak terkendali, mengakibatkan peningkatan berbagai kebutuhan pangan, sandang, papan, dan sebagainya. Ironisnya, kebutuhan papan yang semakin luas mengakibatkan terjadinya perambahan kawasan yang mestinya tidak boleh dihuni, sehingga peristiwa alam tersebut bisa berubah menjadi bencana. Menurut Indeks Risiko Bencana BNPB tahun 2013, ada 205 juta jiwa rakyat Indonesia terpapar bencana berisiko tinggi yang tinggal di 80 persen kabupaten/kota di Indonesia. Walau begitu, umumnya peristiwa alam tersebut tidak pernah membunuh tapi ketidaktahuan dan ketidak-mau-tahuan bisa menyebabkan kita terbunuh. Ternyata, selama ini, sebagian besar rakyat menganggap bencana sebagai sesuatu musibah yang harus dan layak diterima oleh masyarakat. Salah satu penyebab kenapa kita terus tertimpa bencana karena selama ini kita menganggap bencana itu takdir, ujian, cobaan dan azab dari Allah yang layak diterima oleh umat manusia. Mereka meyakini bahwa bencana itu sudah ditulis oleh Allah, seperti yang tersurat dalam Al Haddid 22-23. "Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh-Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah, agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang lepas dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.". Dogma ini sangat kental dipahami hampir seluruh rakyat Indonesia termasuk penyelenggara negara. Dogma ini pula yang menyebakan rakyat tidak berusaha memahami semua bencana, alhasil bangsa ini akan terkena bencana berulang ulang tanpa melakukan apa apa selama bertahun-tahun. Walhasil, usulan upaya penanganan sebelum terjadi bencana masih dianggap suatu upaya yang mengada-ada, bahkan ada beberapa daerah yang masih tabu membicarakan bencana karena takut kuwalat (khawatir terjadi sungguhan). Ketidaktahuan tentang bencana akan membuat kita tidak terbiasa merasakan tanda tanda datangnya bencana sehingga kepekaan kita berkurang dan terlambat merespons. Keterlambatan ini akan menimbulkan keterpakuan, ketakutan, kepanikan dan pikiran normal tidak berjalan sebagaimana mestinya. Contoh kasus saat terjadi bencana, khususnya bencana gempa, banyak yang terpaku dan takut, sehingga tidak bergerak sama sekali; banyak juga yang panik dan langsung lari keluar sambil membawa anaknya dan saat di luar rumah yang terbawa justru hanya gulingnya. Contoh lagi, saat ada isu tsunami sekitar empat jam setelah gempa di Yogyakarta (2006), banyak yang panik dan akal sehatnya tidak berjalan normal, sehingga menimbulkan kepanikan massal (chaos), dan sebagainya. Ketidak-mau-tahuan terhadap ancaman yang membahayakan di sekitarnya akan menyebabkan bencana tidak hanya bagi masyarakat yang tidak mau tahu tersebut tapi juga masyarakat semuanya. Contoh klasik dan susah untuk dikendalikan adalah masyarakat yang bermukim di lembah sungai yang jelas jalannya air. Mereka bermukim di situ, sehingga lembah sungai akan menyempit, saat hujan datang, maka air akan meluap di sekitar sungai. Mereka melanggar peraturan menebangi hutan di lereng gunung untuk dijadikan pertanian, padahal selama ini tanah bisa menempel di lereng gunung karena adanya pohon, pemotongan pohon menyebabkan tanah kritis dan akan longsor menerjang masyarakat di bagian bawah lereng yang tidak tahu apa-apa. Oleh karena itu, Pendidikan Bencana menjadi penting diaplikasikan ke dalam pendidikan sekolah, baik melalui kurikulum, muatan lokal ataupun pengintegrasian ke dalam pelajaran sekolah agar ketidaktahuan dan ketidakmautahuan tentang bencana bisa direduksi. Bappenas dan Kemendikbud telah membuat surat edaran Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah agar penyelenggaraan penanggulangan bencana perlu dilakukan di sekolah melalui pelaksanaan strategi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana di sekolah. Pelaksanaan strategi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana di sekolah dilakukan baik secara struktural maupun non-struktural untuk mewujudkan budaya kesiapsiagaan dan keselamatan terhadap bencana di sekolah. Adapun misi yang diharapkan dilakukan setiap sekolah adalah:. (a) Menumbuhkan budaya sadar bencana, kesiapsiagaan, keselamatan, dan ketangguhan menghadapi kemungkinan bencana melalui pendidikan pengurangan risiko bencana. (b) Memberdayakan peran kelembagaan dan kemampuan komunitas sekolah untuk dapat mewujudkan praktik-praktik pengarusutamaan pengurangan risiko bencana. (c) Mengintegrasikan pengurangan risiko bencana melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstra-kurikuler. (d) Membangun kemitraan antar berbagai pihak untuk mendukung pelaksanaan praktik-praktik pengarusutamaan pengurangan risiko bencana di sekolah. (e) Melaksanakan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan pendidikan pengurangan risiko bencana. (f) Mempertahankan keberlanjutan (sutainability) pendidikan pengurangan risiko bencana di sekolah melalui diseminasi dan replikasi. (g) Memperhatikan dan mempertimbangkan faktor struktural (gedung) dan non struktural ketika membangun sekolah yang aman bagi siswa. (*). ----------- *) Penulis adalah pakar geologi ITS dan Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKBPI) ITS Surabaya. (*).
Pendidikan Kebencanaan sangat Diperlukan
Rabu, 4 Februari 2015 13:20 WIB