Jombang (Antara Jatim) - Jam menunjukkan jelang sore hari pukul 14.00 WIB, empat orang anak berkumpul bersama di bawah tiang bendera. Di tempat ini, mereka merasa nyaman dan bisa bercerita apa saja. Tentang keluarga, keinginan, dan nasib yang menimpa mereka. Adalah Samanhudi (16), Maulana Habibi (16), Muhammad Andre Prasetya (14), dan Angga Riki Andika (14). Mereka berada di tempat yang tidak seharusnya, yaitu ruang tahanan. Mereka menceritakan tentang kisah hidup mereka serta pengalaman. "Namaku Angga, umur 14 tahun. Kena kasus asusila. Kesan-kesan dalam tahanan : ditahan tidak ditahan sama saja, selesai laporan". Angga menceritakan kisah hidupnya, mengapa sampai ia masuk ke penjara. Ya. Karena kasus asusila. Ia mengaku berdosa, hingga dipenjara. Ia juga mendengarkan rekan-rekannya yang lain. Di bawah tiang bendera sambil membawa piring, mereka berkeluh kesah. Habibi, begitu terbayang rindu akan utuhnya sebuah keluarga. Ada ayah, ibu, adik, dan saudara-saudara. Ia merasa senang sekali. Ia masih ingat ketika saat SMP disunatkan. Ia merasa bahagia. Semua keluarga berkumpul. Namun, ia merasa saat ini tidak menemukan kembali, karena ayah dan ibunya bercerai. Ia kembali melamun. Begitu juga dengan Saman. Ia melamunkan jika ada keluarga yang datang menjenguknya. Bisa menengoknya setiap hari, tanpa dibatasi waktu. Herman, merasa iri mendengar anak-anak seusianya sedang berangkat sekolah. "Ingin rasanya aku.....". Kalimatnya berhenti begitu saja, dan disambung dengan kata "indah ya hidup ini" disertai lamunan. Namun, lamunan mereka terhenyak ketika Angga membanting piring. Dengan emosi ia berkata "indah, indah! mbokmu yo. Gak enak-enaki wong umba-umba" (indah,indah! ibumu ya. Tidak melihat orang sedang mencuci baju). Angga kembali melanjutkan mencuci pakaian, sementara Herman, Saman, dan Habibi menepi. Mereka sadar, mereka berada di penjara. Mereka terpaksa menjalani masa hukuman, karena kasus yang membelit mereka. Rasa senasib dan sepenanggungan berada di dalam penjara membuat rasa solidaritas di antara mereka tinggi. Bersama saling berbagi duka, dan menjalani hukuman. Mereka sadar, mereka harus menyelesaikan masa tahanan yang walaupun tidak enak dan tidak bebas. Rasa sedih akan kehidupan, membuat mereka semakin dekat dengan Tuhan. Selawat berkumandang dari mulut mereka. "Sholatumm bissalamil mubi'ini linuthotittaiini yaa qharomi. Nabiyun kana aslattak wiinimi min adi kun fayakun ya qharoomi" (Selawat serta salah ku persembahkan kepadamu wahai kekasihku. Sebagai bukti keteguhanku. Wahai Nabi SAW (kekasihku), engkaulah sebenar-benarnya pemberi peringatan pada masamu. Wahai kekasihku, wahai Rasulullah SAW yang bercahaya wajahnya penunjuk jalan kebenaran). Suasa sakral ketika empat remaja yang senasib sepenanggungan di penjara itu melantunkan selawat, hingga akhirnya bel panjang berbunyi. Bel yang mengharuskan mereka bersiap untuk masuk ke dalam kamar di blok, sampai mereka bertemu keesokan harinya, pagi. Mereka merasa lapar. Lapar dengan penantian yang panjang dan berulang-ulang setiap hari. Terkadang, mereka terlihat putus asa. "Nasi" yang mereka tunggu tidak pernah mengenyangkan perut mereka. Pikiran dan batin mereka lapar. Mereka berharap sepiring "nasi" yang bisa mengeyangkan batin mereka. Saman begitu merindukan keluarga. Begitu juga dengan Herman. "Yang lapar bukan hanya perutku.... Tapi otakku.... Tapi batinku," ungkap mereka secara bersama. Saman lapar karena lelah menunggu, Herman merasa otaknya lapar karena merasa sejak kecil tidak mengenal bangku sekolah. Habibi lapar batin, karena merasa tidak pernah menemukan kebahagiaan di dalam keluarga. Orangtuanya bercerai sejak kecil. Praktis, sejak kecil ia sudah harus mengambil keputusan sendiri. Tapi, lamunan mereka tidak ada yang bisa menjawab. Mereka hanya bisa pasrah sambil menunggu waktu, dan masa tahanan mereka berakhir. "Lenggang-lenggang kangkung, kangkung neng pinggir kali. Iki jare zaman reformasi, golek pangan setengah mati". (Lenggang-lenggang kangkung di tepi sungai. Ini katanya zaman reformasi, mencari makan berat sekali sampai hampir mati). "Lenggang-lenggang kangkung, kangkung nang pinggir kali. Aku heran delok pejabat saiki, senengane mlebu metu bui". (Lenggang-lenggang kangkung, kangkung di tepi sungai. Aku heran melihat pejabat sekarang, sukanya masuk keluar bui/penjara). Ya, nyanyian itu yang mereka jadikan hiburan sambil menunggu waktu berputar, menunggu masa tahanan berakhir. Mereka tidak bisa bercerita lagi karena senja berakhir. Pentas di atas adalah sebuah aksi teater yang diperankan oleh anak-anak mantan penghuni tahanan di Lapas Kelas II B Jombang, Selasa (7/5). Mereka pernah berada di sejumlah tahanan di antaranya di Lapas Anak Blitar, Lapas Jombang, sampai Rumah Tahanan Medaeng di Surabaya. Teater dengan judul "Lapar" itu merupakan produksi dari "Shelter Rumah Hati" Jombang. Ketua Proyek Shelter Rumah Hati Prof Dr Yusti Probowati Rahayu mengatakan teater (drama) ini merupakan salah satu proyek untuk pendampingan anak-anak, terutama setelah keluar dari lapas. "Ada beberapa program. Kami lakukan pembinaan mental dan spiritual. 'Skill' (keterampilan) mereka juga dibina seperti keterampilan bengkel," tuturnya. Ia menyebut, program ini dilakukan selama enam bulan. Mereka akan berada di Shelter Rumah Hati itu untuk mendapatkan pendidikan, dan setelahnya mereka akan dilepas dari rumah. Tapi, ia menekankan tetap melakukan pengawasan dan pemantauan. Diharapkan, mereka menjadi orang yang lebih baik dan tidak kembali terlibat dengan pidana. Sutradara sekaligus penulis naskah teater itu, Zainuri mengaku drama itu dibuat sekitar lima bulan lalu dengan mengambil tokoh empat anak tersebut. Naskah itu disusun berdasarkan pengalaman pribadi, sehingga sejak penyusunan sudah menjadi luapan emosi mereka. Ia mengaku waktu selama lima bulan untuk latihan itu sangat singkat, sehingga ia terpaksa menekan mereka untuk latihan. Ia juga harus bersabar, karena setiap anak mempunyai karakter yang berbeda. "Tingkat kesulitan utama adalah disiplin, dan rata-rata mereka tidak tahan ketika melakukan kegiatan yang menuntut disiplin," ucapnya. Namun, ia mengaku puas dengan hasil latihan selama lima bulan di shelter atau tempat pengungsian sementara itu. Terbukti, mereka bisa menampilkan yang terbaik saat pentas. Rencanya, kegiatan teater itu akan dilakukan di sejumlah tempat di antaranya di lapas, termasuk di Kampus Ubaya Surabaya. Samanhudi, salah seorang pemain mengaku senang bisa ikut teater itu. Ia bisa meluapkan emosinya dan melatih untuk lebih percaya diri berhadapan dengan banyak orang. Ia mengaku menjalani tahanan di Rutan Medaeng Surabaya selama tiga bulan. Ia membantu rekannya mencuri, sehingga terpaksa tinggal di bui. Ia juga merasa nyaman tinggal di Shelter itu, tapi waktunya hanya singkat enam bulan. "Harapannya bisa tinggal lebih lama lagi. Saya tinggal sendiri, nenek sudah meninggal sementara orang tua tidak tahu," kata remaja yang saat ini ikut kejar paket meneruskan pendidikannya di SMP yang sempat terbengkalai karena kasus itu. Teater untuk Terapi Ketua Proyek Shelter Rumah Hati Prof Dr Yusti Probowati Rahayu menyebut teater atau drama bisa digunakan sebagai salah satu bentuk terapi. Beberapa penelitian menunjukkan teater berdampak positif dalam meningkatkan harga diri, selain sarana ekspresi maupun emosi pemainnya. "Drama ini bentuk terapi. Bagi anak-anak, bisa memunculkan rasa tanggung jawab, kedisiplinan, serta tenggang rasa," ujarnya. Ia mengatakan, secara psikologis memerlukan waktu untuk menimbulkan rasa-rasa itu. Terlebih lagi, mereka yang pernah merasakan hidup di balik penjara. Mereka harus melatih diri untuk tampil di hadapan orang banyak. Ke depan, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Surabaya ini berharap anak-anak itu akan mampu menghadapi masa depan dengan lebih baik dengan program itu. Mereka juga mampu berbaur dengan masyarakat. Sebenarnya, lanjut dosen psikologi hukum itu, anak-anak yang pernah tinggal di tahanan juga menjadi korban dari sebuah keluarga. Harusnya, dalam keluarga mereka bisa tumbuh, serta mendapatkan dukungan keluarga. Masalah yang dihadapi mereka pascakeluar dari tahanan, selain dari dalam diri sendiri juga masyarakat yang masih sulit untuk menerima. Label yang mereka dapatkan ketika keluar dari penjara biasanya negatif. "Problem awal keluarga, dimana mereka ketika kembali ingin dapatkan dukungan keluarga tapi tidak dapat," ucapnya, prihatin. Ia berharap, dengan proyek yang ia buat saat ini bisa bermanfaat. Bukan hanya untuk anak-anak itu, tapi juga membuka mata masyarakat, bahwa mereka tidak seburuk atau seseram yang dibayangkan. Kepala Lapas Kelas II B Jombang Nur Akhmadi mengatakan terdapat enam tahanan anak-anak dari keseluruhan penghuni yang mencapai 316 orang. Namun, ia menegaskan menempatkan mereka terpisah dari tahanan orang dewasa. "Untuk anak diperlakukan khusus. Kami berikan tempat dan pengawasan khusus, memberikan kesempatan untuk belajar di masjid serta mengisi kegiatan mereka dengan memperdalam ilmu agama," kata Kalapas. Ia juga berharap, anak-anak itu bisa berbaur dengan masyarakat serta tidak mengulangi perbuatanya, yang membuat mereka kembali tinggal di penjara.(*)
Teater "Lapar", Pengalaman di Balik Penjara Aanak-Anak
Rabu, 8 Mei 2013 15:29 WIB