Lahan Bawang dan Cabai Harus Dironda Siang-Malam
Sabtu, 23 Maret 2013 15:59 WIB
Oleh Asmaul Chusna
Kediri (Antara Jatim) - Urusan bumbu dapur seperti bawang putih ataupun bawang merah menjadikan cerita tersendiri. Bagi petani, kenaikan harga bumbu dapur ini, tentu menjadi berkah, tapi bagi kalangan pengusaha atau ibu rumah tangga bisa pusing, karena harus menyesuaikan pengeluaran.
Bahkan, akibat kenaikan harga ini, tidak sedikit sejumlah petani yang bahkan rela patroli di ladang yang ditanami bawang. Sindikat pencuri bawang ternyata bergentayangan, memanfaatkan kesempatan untuk panen dini bawang yang ditanam petani.
Di Jombang misalnya, para petani rela ronda bergiliran. Mereka tidak ingin bawang yang ditanam dirampok oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Ronda pun dilakukan berkelompok demi mencegah pencurian.
"Bawang yang kami tanam siap panen, kami harus ronda agar tidak dicuri orang," kata Kosim, salah seorang petani bawang merah asal Dusun Karanglo, Desa Gondek, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang, Jatim.
Ia mengatakan patroli mulai dilakukan saat hari sudah memasuki malam. Dengan ditemani sejumlah orang, patroli dilakukan. Berbekal lampu senter dan pentungan, ia menyusuri sepanjang jalan di lahan miliknya yang ditanami bawang.
Saat ini, harga bawang putih di pasar masih cukup bagus, sekitar Rp32 ribu perkilogram. Sementara, harga bawang merah justru lebih tinggi lagi sekitar Rp40 ribu perkilogram. Luas lahan yang ia miliki saat ini sekitar 1 hektare dan ditanami bawang.
Kondisi ini hampir sama dengan saat kenaikan harga cabai yang terjadi pada awal 2011, yang bahkan menembus harga sampai Rp100 ribu perkilogram. Sejumlah petani cabai juga melakukan patroli menjaga tanaman mereka dari ulah orang yang hendak mencuri.
Seperti di sentra tanaman cabai di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Dengan bersenjatakan lampur senter, sambil membawa sebilah parang, para petani ini rela menembus dinginya angin malam. Alhasil, tanaman mereka aman dari jarahan pencuri.
Namun, sistem patroli ternyata tidak berlaku di areal lahan petani di Kota Kediri. Pemilik justru tidak khawatir dan merasa tidak perlu patroli dan merasa aman dengan tanaman bawang putihnya yang siap panen.
Yahya Bahri, salah seorang petani bawang merah di Kelurahan Singonegaran, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri mengatakan selama ini tidak pernah mendengar adanya pencuri yang merampok hasil tanaman petani.
"Saya merasa aman, jadi tidak perlu dijaga," ucapnya singkat.
Luas lahan yang ia tanami hanya sekitar 70 ru ( 1 ru = 2,75 meter persegi). Dari luas lahan itu, ia menyebar sekitar 600 kilogram bibit bawang merah. Masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan luas lahan itu.
Menurut dia, sengaja ditanam bibit sedikit. Ia ingin mencoba sistem tumpangsari dengan tanaman cabai. Hasilnya, untuk saat ini tidak mengecewakan. Tanaman bawang merah dan cabainya berkembang cukup bagus, kendati ditanam saat musim hujan.
Ia pun berbagi resep tanamannya dengan memerhatikan pola tanam dan memberikan obat. Yang utama, obat untuk mengantisipasi perkembangan jamur dan untuk perkembangan tanaman. Selain itu, untuk bedeng juga diupayakan lebih tinggi dengan ukuran lebar 120 centimeter dan tinggi sekitar 40 centimeter.
"Sejauh ini hasilnya bagus, dan ini siap panen. Ini menunggu satu pekan lagi," ujarnya.
Belum Tanam Raya
Stok bawang merah di Tanah Air saat ini memang masih minim. Hal itu disebabkan, saat ini masih belum memasuki musim tanam raya bawang merah. Untuk bawang putih pun, saat ini lebih banyak mengandalkan impor. Hal itu juga terjadi di sentra tanaman hortikultura bawang merah, di Kabupaten Nganjuk. Penyebabnya karena saat ini belum panen raya.
Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Nganjuk Achmad Zakin mengatakan saat ini memang belum waktu yang tepat untuk tanam raya bawang merah. Biasanya, tanam raya akan dimulai pada Mei-Juni, mengingat saat itu cuaca cukup aman untuk tanam bawang.
"Nanti sekitar 60 hari baru panen," ungkapnya.
Ia mengatakan luas lahan bawang di Kabupaten Nganjuk mencapai 10.200 hektare yang tersebar di lima kecamatan yaitu di Wilangan, Bagor, Rejoso, Sukomoro, dan Gondang.
Sebenarnya, kata dia, saat ini petani sudah mulai uji coba agar lahan mereka bisa ditanami bawang sepanjang musim. Sebab, tanaman bawang putih selama ini tidak tahan jika terlalu lama terendam air, membuat tanaman menjadi busuk.
Untuk bibit, terdapat beberapa jenis yang biasa ditanam baik lokal maupun impor, yaitu jenis "Bauchi" (lokal), "Thailand", dan "Philip" di mana keduanya produk impor. Untuk saat ini, para petani di Nganjuk mencoba untuk mengembangkan bibit jenis "Manunjung" (lokal) yang diklaim mampu tahan saat musim hujan. Jenis Thailand dan Philip selama ini tahan pada saat kemarau, tapi tidak saat hujan.
Achmad menyebut produksi bawang merah asal Kabupaten Nganjuk cukup tinggi setiap tahunnya. Daerah ini menjadi salah satu daerah utama di Jatim sebagai penghasil bawang merah. Produktivitasnya sekitar 16 ton per hektare.
Namun, kata dia, untuk saat ini belum masuk waktu tanam raya bawang ataupun panen raya bawang. Para petani masih enggan tanam bawang, mengingat risikonya tinggi.
Pun jika ada petani tanam, dia sudah siap menanggung risiko tinggi dengan situasi yang terus hujan seperti ini. Saat ini, terdapat laporan lahan yang ditanami bawang dan terkena banjir.
Ia menyebut, lahan yang terkena banjir itu di Kecamatan Rejoso, tepatnya di Desa Mlorah. Ada dua petani yang tanam yaitu Juwadi dan Suwarno. Untuk Juwadi tanaman bawang merah yang ditanamnya masih sekitar satu pekan, sementara Suwarno sudah lebih tua, sekitar 40 hari.
Achmad mengaku senang dengan situasi pasar bawang saat ini, di mana harganya sangat bagus. Namun, para petani sebagian belum tanam dan panen. Stok yang ada lebih banyak untuk keperluan bibit.
Murtini (28), putri dari Suwarno mengatakan saat ini sedang cemas melihat situasi alam. Terjadi banjir yang menimpa lahannya, padahal saat ini umurnya sudah hampir tua, sekitar 40 hari.
"Kami berharap bisa bertahan 10 hari lagi, itu sudah bagus untuk benih nantinya. Kalau terpaksa, dipanen awal," tuturnya dengan wajah bingung.
Ia mengatakan, ayahnya berusaha untuk memasang sejumlah papan kayu yang menutupi lahan dari terjangan air luapan banjir yang terjadi di Kecaamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk. Dengan itu, diharapkan tanaman bawang tidak terendam air dan bisa bertahan sampai panen.
Gagal Bangun Kemandirian
Kebijakan pemerintah yang melakukan impor bumbu dapur seperti bawang ini dinilai sebagai kegagalan pemerintah untuk membangun kemandirian petani. Impor tidak seharusnya dilakukan mengingat Indonesia kaya sumber daya alam.
"Pemerintah telah gagal membangun petani yang mandiri di atas tanahnya sendiri. Kebijakan ini membuktikan pemerintah gagal membangun kedaulatan pangan nasional," kata Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani, Sidik Suhada.
Harusnya, lanjut dia, pemerintah tegas memanfaatkan sumber daya yang ada di Indonesia. Pemerintah seharusnya melakukan reformasi agraria (pembaruan agraria) sebagai upaya untuk membangun petani yang mandiri. Diyakinkan, dengan itu kedaulatan pangan dapat diciptakan.
Data yang dihimpun Repdem dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang tahun 2012, Indonesia telah mengimpor 415.000 ton bawang putih dari beberapa negara dengan nilai 242,3 juta dolar AS atau senilai Rp2,3 triliun.
Bawang putih itu mayoritas diimpor dari China, dengan jumlah impor sebanyak 410.100 ton yang nilainya 239,4 juta dolar AS atau Rp2,27 triliun untuk periode Januari hingga Desember 2012.
Selain dari China, juga tercatat kegiatan impor bawang putih beberapa negara lain seperti India, Malaysia, Pakistan, dan Thailand, namun impor tidak terjadi setiap bulan dan tidak terlalu signifikan.
Sidik juga mengatakan, harga bawang di sejumlah daerah di Tanah Air saat ini sudah mulai berangsur turun. Pasokan bawang terutama bawang putih yang diimpor oleh pemerintah sudah mulai datang.
Namun, ia menegaskan agar pemerintah jangan merasa puas, sebab penurunan harga bawang yang hanya ditopang dengan stok impor mudah digoncang kembali. Penurunan harga ini tidak memiliki basis yang kuat dan mengakar dari rakyat.
Pihaknya menduga, terdapat mafia-mafia yang sengaja bermain dalam tragedi kenaikan harga bawang itu. Agar harga tidak mudah dimainkan, dianjurkan agar ada komoditas yang menopang kuat yang dihasilkan dari produksi petani sendiri dan bukan impor.
"Sebagai negara agraris, seharusnya kebijakan itu bersandar pada basis utama yaitu agraria dan pertanian dan bukan mengadopsi kebijakan yang dibuat negara lain," tukasnya.
Ia prihatin masih banyak sumber daya alam di Indonesia yang dikuasai pihak asing. Hal itu memunculkan banyaknya konflik agraria di Tanah Air, yang berujung pada kemiskinan.
Pihaknya menegaskan agar pemerintah komitmen untuk membela petani agar gairah mereka pun bisa bangkit. Terlebih lagi, profesi petani bagi sebagian remaja kurang menarik sehingga ditinggalkan.
Ia yakin dengan komitmen tegas dari pemerintah, petani akan bisa meningkatkan kesejahteraannya dan bisa berdaya dengan produksi sendiri, tidak mengandalkan impor.(*)