Siapa yang tidak mengenal Kota Surabaya itu merupakan kota bersejarah. Dengan peristiwa 10 Novembernya, kota ini sampai dijuluki "The Hero City" (Kota Pahlawan). Tentu, banyak sekali lokasi-lokasi atau peninggalan bersejarah di sana, sehingga kurang lengkap rasanya jalan-jalan mengelilingi Surabaya tanpa menjelajah ke kawasan kota tua. Salah satunya dari kawasan Jalan Undaan hingga Jalan Peneleh. Dulunya adalah pemukiman bagi orang-orang Belanda. Termasuk di dalamnya, yang masih berada satu kawasan dengan Peneleh dan Undaan, adalah satu kompleks yang bernama Embong-embongan, seperti Jl. Embong Baskoro, Embong Purnomo, Embong Kartiko, Embong Bawono, Embong Akoso dan Embong Pertiwi. "Tapi herannya, meski ke seluruhan di kawasan ini dulunya merupakan pemukiman bagi orang-orang Belanda, namun yang dijuluki 'Kampung Londo' cuma Jalan Embong Pertiwi," ujar Priyo Utomo (52), yang bertempat tinggal di Jalan Embong Pertiwi. Menurut dia, orang-orang Belanda satu-persatu meninggalkan rumahnya sejak zaman kemerdakaan kembali kenegaranya. Lantas, Pemerintah mengambil alih rumah-rumah itu dan dibagikan untuk pegawai negeri sipil. "Ayah saya adalah pegawai Kotamadya (Pemkot), sedangkan Ibu saya dosen di IKIP Surabaya (sekarang Unesa). Tahun 1960-an rumah-rumah di sini didrop untuk pegawai negeri yang berkedudukan minimal Kabag. Seingat saya waktu pindah, jabatan ayah saya adalah Kabag," kenangnya. Anak-anak remaja usia 20 tahunan di kawasan itu hinga kini masih tahu kalau Jalan Embong Pertiwi merupakan "Kampung Londo". Hanya saja, anak-anak usia di bawah itu kebanyakan sudah tidak mengerti. Ini karena "Kampung Londo" itu sudah mengalami banyak pergeseran. Salah satunya, arsitektur rumah-rumah belanda yang bernuansa klasik di sepanjang jalan itu sudah banyak dirubah bentuknya oleh pemilik barunya menjadi bentuk modern. Di Jalan Embong Pertiwi pada 1960-an, kata Priyo, meski sudah berganti dihuni oleh penduduk pribumi, namun sehari-harinya warga berkomunikasi masih menggunakan Bahasa Belanda. Ada sekitar 21 rumah di sepanjang Jl. Embong Pertiwi. Mayoritas warganya adalah pribumi Manado dan Ambon. "Cuma keluarga saya yang Jawa di Jalan Embong Pertiwi ini. Namun begitu, mereka berkomunikasi pakai Bahasa Belanda," ucapnya. Orang tuanya, lanjut dia, kalau berkomunikasi dengan tetangga menggunakan Bahasa Belanda. Di samping suasananya mendukung dengan rumah yang berarsitektur Kolonial Belanda, orang tua Priyo pernah bersekolah di Sekolah Londo, yakni MULO. "Saya kira semua orang yang tinggal di Jalan Embong Pertiwi ini sekolahnya dulu juga di MULO. Jadi bahasa Belandanya pasti lancar," ucapnya. Hal itulah yang membuat Jalan Embong Pertiwi mendapat julukan "Kampung Londo", sebab di kawasan lainnya, dari Peneleh hingga Undaan, termasuk Jalan Embong Baskoro, Embong Purnomo, Embong Kartiko, Embong Bawono, dan Embong Akoso, penduduknya sudah berkomunikasi dengan bahasa lokal. Lambat laun, Embong Pertiwi kian bergeser. Satu persatu pegawai negeri yang dulunya dapat jatah rumah di sini mulai pensiun dan lantas menjual rumahnya agar dapat kembali menghabiskan hari tuanya ke desanya masing-masing. "Sekarang mayoritas penghuninya China. Cuma saya sendirian yang masih pribumi-Jawa di sini," ulasnya. Penduduk baru itu pun kebanyakan kini telah merombak rumahnya dari yang semula arsitektur klasik Kolonial Belanda menjadi bentuk modern Eropa era sekarang. Terhitung, dari total 21 rumah di Jalan Embong Pertiwi, yang masih terlihat dalam bentuk arsitektur aslinya hanya tersisa tiga rumah. "Orang Belanda pemilik rumah aslinya masih sering datang berkunjung kemari. Tentu yang datang ke sini adalah keturunannya, seperti anak atau cucunya. Mereka masih pegang foto asli dari rumah ini. Ternyata, sebelum menempati rumah saya, sudah tiga kali berganti orang. Mereka yang pernah menempati rumah ini sudah datang melihat di sini," tukasnya. Menurut Priyo, begitu melihat arsitektur rumah nenek moyangnya sudah dirombak seperti sekarang, orang Belanda yang datang ke Jalan Embong Pertiwi terkejut dan marah-marah. "Saya saja dicap bodoh kok, gara-gara kamar mandi berubah. Tapi ya pasti saya rubah karena kamar mandi dalam bentuk aslinya sudah tidak layak digunakan lagi," ungkapnya. Dulu, Priyo menambahkan, Jalan Embong Pertiwi ini sering kedatangan turis Belanda dalam jumlah besar. Namun, belakangan sudah tidak pernah lagi. Mungkin karena arsitektur bangunan gaya Kolonial Belanda itu kini sudah berganti modern yang sudah tidak jelas lagi. "Suasananya juga dapat dirasakan perbedaannya. Kalau dulu, begitu natal tiba, pernak-pernik natal seperti di barat terasa kental. Kini, kalau Imlek, barulah terasa dengan perayaan petasan dan kembang api di rumah-rumah tetangga. Namun ada satu persamaannya, yaitu warga kampung di sini merasakan Hari Raya Idul Fitri ketika ditinggal mudik pembantunya," tutur Priyo.(*)
Menengok "Kampung Londo" di Jalan Embong Pertiwi Surabaya
Sabtu, 4 Mei 2013 8:18 WIB
