Oleh Edy M Yakub - "Sebenarnya, orang tua tidak mendukung saya untuk kuliah. Bukan apa-apa, mereka takut akan ada masalah di kemudian hari, sehingga saya tidak bisa selesai," ucap Titin Syafiatul Umma. Titin adalah salah satu dari 400-an mahasiswa Institut Tenologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya yang merupakan penerima program Bidik Misi (beasiswa pendidikan miskin berprestasi) tahun 2011. "Karena tidak yakin itulah, orang tua meminta saya untuk bekerja daripada kuliah, apalagi bapak saya hanya buruh tani dan ibu juga penjual sayur di pasar, tapi saya yakin bisa," tuturnya. Apalagi, ungkap mahasiswi asal Lamongan yang memiliki indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,71 itu, program Bidik Misi yang diterimanya itu menanggung biaya kuliah selama empat tahun dengan tambahan biaya hidup Rp600 ribu per bulan. Namun, anak kedua dari tiga bersaudara itu mengaku tetap bangga dengan kedua orang tuanya, karena keduanya telah mengantarkan dirinya hingga lulus SMA, meski mereka tergolong orang yang sangat miskin. "Ibu hanya berpesan kepada saya untuk belajar dengan baik supaya tidak mengecewakan orang yang memberi saya beasiswa (Mendikbud). Ibu juga berpesan kepada saya untuk berterima kasih kepada orang itu," paparnya. Rasa bangga terhadap orang tua juga dilontarkan Vera Maya asal Kupang Panjaan, Surabaya, yang diterima di Jurusan Teknik Geomatika ITS Surabaya melalui program yang sama (Bidik Misi) 2011. "Saya bangga kepada bapak saya yang menjadi tukang tambal ban dan ibu yang bekerja di depot (warung). Saya tidak malu dengan pekerjaan orang tua, karena mereka telah mengantarkan saya sebesar ini," tukasnya. Terinspirasi semangat orang tuanya, anak pertama dari empat bersaudara itu ingin membantu adik-adik untuk sekolah hingga ke perguruan tinggi (PT). "Meski ayah saya hanya tukang tambal yang mendapatkan uang Rp3.000,00 hingga Rp4.000,00 untuk sekali tambal, saya ingin menjadi ahli vulkanologi," ungkap peraih IPK 3,2 itu. Nasib yang lebih menyedihkan dialami Maladina Elok, penerima Bidik Misi 2011 asal Ngawi. "Sejak kelas dua SMA, bapak sudah nggak ada (meninggal dunia), karena itu ibu saya sempat nggak percaya kalau saya mau kuliah," timpalnya. Mahasiswi Jurusan Fisika F-MIPA ITS yang bercita-cita jadi dosen itu pun memberi penjelasan kepada ibunya yang seorang buruh itu. "Saya ingin mengatakan kepada ibu saya bahwa kuliah tanpa bayar itu ada. Masak?? Buktinya, saya menerima Bidik Misi," tukasnya. Peraih IPK 3,39 yang bercita-cita menjadi dosen itu mengaku biaya hidup juga tidak ada masalah, karena program Bidik Misi juga memberi biaya hidup. "Itu juga tidak dipotong sepeser pun, karena semuanya langsung masuk rekening," urainya. Bukan miskin prestasi Boleh saja orang mengganggap mahasiswa miskin itu memiliki serba keterbatasan, termasuk prestasi, namun hal itu agaknya tidak berlaku bagi penerima Bidik Misi. Contohnya adalah Abdu Naf'an Aisul Muhlis yang menjadi salah satu wisudawan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya pada Oktober 2011. Ia terlahir dari keluarga miskin, namun kehidupan ekonomi keluarga yang sulit justru menjadi motivasi yang besar baginya untuk bisa maju. Aan, panggilan dari Abdu Naf'an Aisul Muhlis, yang terlahir sebagai anak terakhir dari 13 bersaudara dengan ayahnya yang bekerja sebagai penjahit. Tentu, pendidikan pun menjadi harga yang mahal untuk ukuran keluarga besar yang tinggal di perdesaan dengan ekonomi pas-pasan itu. Oleh karena itu, ia mengejar beasiswa sebagai satu-satunya cara agar tetap mampu mengenyam bangku sekolah. Itu dilalui sejak pendidikan SD hingga perguruan tinggi yang semuanya tanpa membebani orang tuanya. Ia selalu mendapatkan beasiswa penuh dari kementerian agama hingga mampu menuntaskan pendidikan tinggi di Unair Surabaya. Kendati miskin dan aktif di organisasi, bukan berarti ia miskin prestasi, bahkan ia meraih penghargaan sebagai wisudawan dengan prestasi terbaik Sarjana Kesehatan Masyarakat dengan IPK "cumlaude" 3,71. "Kebiasaan untuk berbagi dan bekerja keras adalah modal untuk tetap hidup. Sukses adalah satu persen inspirasi dan 99 persen keringat, tak ada yang menggantikan keduanya, kerja keras dan doa," tuturnya. Sebelum lulus, ia pun sudah tercatat sebagai staf HRD di sebuah rumah sakit swasta di Surabaya. Sejak kuliah, ia sudah bekerja sebagai tenaga enumerator penelitian bidang kesehatan dan jurnalis di media kampus. Saat kuliah, Aan pernah menjadi pencetus dan penggerak sebuah program tentang pendidikan pencegahan HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi bagi santri salaf dan anak jalanan di kota Surabaya. "Program itu berhasil didanai Dikti dan lolos menjadi finalis kompetisi tingkat nasional di Makassar," ungkap Aan yang juga pernah membuat program pencegahan gizi buruk di daerah pesisir Kota Surabaya dan masuk finalis 'Community Development Competition' di Bandung. Semua kiprah itu justru memberinya inspirasi untuk selalu melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di kampungnya dengan sasaran santri dan remaja, meski ia telah bekerja di rumah sakit. Ia merasa Bidik Misi telah membantunya, maka ia bertekad membantu masyarakat selaku pemberi beasiswa. (bersambung) (*)
Berita Terkait

Presiden Prabowo sebut sekolah rakyat untuk memutus mata rantai kemiskinan
22 Maret 2025 14:45

Pemkot Surabaya: Kuota Satu Keluarga Miskin Satu Sarjana 200 orang
10 Maret 2024 19:31

Bupati Banyuwangi ajak ASN jadi orang tua asuh keluarga miskin
31 Januari 2024 23:31

Bank Dunia perkirakan penduduk miskin bertambah 120 juta orang
16 Juli 2020 15:37

BPS: Warga Miskin di Jember 269.540 Orang
7 Maret 2017 19:08

Jumlah Warga Miskin di Kediri Capai 42 Ribu
18 Desember 2015 17:44

Orang-orang Miskin yang bisa Berhaji
28 Oktober 2015 13:59

Perdesaan Butuhkan Keberpihakan Entaskan Orang Miskin
3 April 2014 10:08