Surabaya (ANTARA) - Melihat fakta secara langsung (faktual) adalah keunggulan media massa. Akurasi tetap menjadi keunggulan jurnalis yang terjun ke lapangan, termasuk keunggulan dalam etika dan rekam jejak yang tidak bisa sirna secara digital.
Buku bertajuk "Di Balik Kontroversi Xinjiang (Catatan Perjalanan Wartawan Indonesia Mengungkap Fakta di Lorong Gelap Kamp Vokasi Uighur)" di antara sajian fakta yang ditulis dan dibukukan jurnalis M Irfan Ilmie (2025) yang pernah menjadi Kepala LKBN ANTARA Biro Beijing (2016-2023).
M Irfan Ilmie yang berlatar belakang santri itu mendapatkan beberapa kali kesempatan untuk melihat secara langsung geliat pembangunan dan dinamika kehidupan sosial masyarakat etnis minoritas muslim Uighur yang membentuk populasi mayoritas di Wilayah Otonomi Xinjiang.
Seiring menguatnya pengaruh China di berbagai belahan dunia, maka kamp-kamp vokasi di Xinjiang pun menyita perhatian masyarakat internasional yang mengaitkan dengan dugaan pelanggaran HAM, terutama oleh AS dan sekutunya.
Apalagi Xinjiang memiliki nilai jual tinggi dalam pariwisata, industri, sumber daya alam dan sumber daya manusia (hal. ix).
Bagi Indonesia, isu Xinjiang sudah selesai di tataran diplomasi dan hubungan bilateral Indonesia-China.
Namun, di tataran publik Indonesia masih menjadi batu sandungan karena mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam belum terinformasikan secara gamblang mengenai perlakuan Beijing terhadap etnis minoritas muslim Uighur sebagai penduduk asli Xinjiang.
Dalam buku setebal 360 halaman dengan genre "Social Science" itu, diungkapkan bahwa isu Uighur di Xinjiang menjadi perbincangan hangat masyarakat internasional dalam satu dekade terakhir karena kerap kali diekspose dalam tinta dan lensa pemberitaan media secara spektakuler, menggemparkan, dan kontroversial.
Di satu sisi, ekspose itu dinilai menyuguhkan narasi-narasi diskriminatif, eksploitatif, dan genosida yang digambarkan sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia yang dilakukan otoritas China terhadap etnis minoritas muslim Uighur.
Di sisi lain, wilayah Xinjiang justru dimodernisasi dan terus dibangun oleh otoritas China agar setara dengan provinsi-provinsi lainnya di negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Di sinilah Xinjiang menjadi topik perdebatan antara fakta dan propaganda, khususnya dalam konteks rivalitas pengaruh geopolitik Amerika Serikat dan China.
Oleh karena itu, informasi yang gamblang dan faktual mengenai perlakuan Beijing terhadap etnis minoritas muslim Uighur sebagai penduduk asli Xinjiang, menjadi "kata kunci" dalam literasi di era digital yang hanya "maju" secara teknologi digital, tapi "tidak maju" secara manusia.
"Catatan perjalanan ke Xinjiang, saya tulis secara faktual dan informatif, sesuai kode etik jurnalistik, bukan provokatif," kata Irfan tentang bukunya yang memiliki empat bagian yakni historis, isu kontroversial, tradisi/peradaban Islam, dan politisasi (hal. xv).
Dalam bagian pertama (historis), Irfan mengulas tentang sensasi Gurun Gobi, jalur sutra nan rupawan, asal-usul Uighur, bukan Agama Leluhur, jejak Uighur di Bukit Yarghul, serupa tapi tak sama, dan gudang atlet dan artis.
Secara historis, Xinjiang sejak dulu kala telah menjadi rumah bagi berbagai jenis kelompok etnis dengan budaya dan agama yang berbeda (hal.14).
Di akhir abad ke-19 terdapat 13 kelompok etnis yakni Uighur, Han, Kazakh, Mongol, Hui, Kirgiz, Manchu, Xibe, Tajik, Daur, Uzbek, Tatar dan Rusia (hal.17).
Rivalitas dan masalah internal
Terkait agama, pada zaman primitif hingga sebelum abad ke-4, warga Xinjiang menganut agama kuno dari ajaran Shamanisme. Mulai abad ke-4 hingga ke-10, Buddha mengalami masa puncak.
Pada abad ke-5, Taoisme juga mulai diperkenalkan. Pada akhir abad ke-9 hingga awal abad ke-10, Islam pun mulai diperkenalkan hingga awal abad ke-16, Islam mulai dominan, namun hidup rukun dengan agama lain, meski sempat ada perang antara Kerajaan Karahan/Islam dengan Kerajaan Yutian/Hindu (hal.19).
Dari beragam etnis dan agama itu, sumber daya manusia di Xinjiang sangat unggul.
Jika tahun 1955, Xinjiang hanya memiliki 425 lapangan dan satu perpustakaan, maka pada 2017 sudah ada 112 perpustakaan, 173 museum/monumen, 57 galeri seni, 119 gedung pertunjukan seni, 12.158 sanggar seni, 302 stasiun radio/TV, 29.600 lapangan/gedung olahraga, 126 koran, dan 223 penerbitan.
Tahun 2016-2017, klub bola basket Xinjiang berlabel Xinjiang Flying Tigers menjadi juara musim kompetisi Asosiasi Bola Basket China (CBA) dan menjuarai FIBA Asia Champions Cup Tahun 2016, lalu menduduki peringkat kedua CBA pada musim kompetisi saat COVID-19 pada tahun 2019-2020.
Di dunia hiburan, Xinjiang juga punya artis papan atas, seperti Gulnezer Bextiyar, Madina Memet, dan Dilraba Dilmurat.
Dalam bagian kedua (isu kontroversial), diuraikan secara tuntas tentang benih separatisme, perangi terorisme, antara kamp dan BLK, mengeja Hanzi, menyusuri Lorong Gelap, anak yang terpisah, peristiwa horor, tak butuh jawaban, mencurigakan, kerja paksa dan genosida, boikot, saya tidak idiot, dan sang nenek 40 cucu.
Terkait benih separatisme dan terorisme, sudah bersemi di Xinjiang sejak awal abad ke-20 hingga akhir tahun 1940-an.
Mereka hendak mendirikan Republik Islam Turkistan Timur pada 12 November 1933. Tapi hanya bertahan 3 bulan, karena ditolak mayoritas etnik di Xinjiang. Lalu muncul lagi pada 1944, tapi hanya bertahan 1 tahun.
Gerakan Turkistan Timur ini tumbuh lagi pada 2001 seiring 11 September 2001 di AS, lalu ada pengeboman di bus pada 1992 yang menewaskan tiga penumpang bus dan melukai 23 orang penumpang bus di Kota Urumqi.
Tahun 1997 juga muncul pengeboman di bus yang menewaskan sembilan orang dan melukai 68 orang di Kota Urumqi. Terulang lagi di Kota Kashgar (2011 dan 2012), Kota Urumqi (2014), dan Aksu (2015). (Hal.50-530
Menyikapi separatisme dan terorisme itu, Pemerintah Daerah Otonom Xinjiang sejak 2014 telah menumpas 1.588 geng teroris, menangkap 12.995 pelaku teroris, menyita 2.052 jenis bahan peledak, namun perlakuan tegas terhadap bukan berarti Islam menjadi sumber teroris, meski kebijakan kontraterorisme berupa kamp vokasi dan pusat pelatihan itu dinilai berpotensi melanggar HAM, karena peserta hanya dari satu etnis (Uighur). (hal.57)
Untuk menjawab tuduhan itu, Pemerintah Daerah Otonom Xinjiang membangun gedung pameran Urumqi pada 2014 yang menampilkan foto korban kekerasan selama 1992-2015, rekaman CCTV, senjata api, senjata tajam, senjata rakitan, serta bom rakitan. (hal.93).
Foto dan video kekerasan itu bukan hanya radikalisme/terorisme yang terjadi di Xinjiang saja, namun juga di Kunning-Yunan dan Kota Terlarang Beijing. (hal.95).
"Anda lihat sendiri ada imam masjid beserta keluarganya dan juga beberapa petugas kepolisian yang menjadi korban serangkaian serangan terorisme di Xinjiang. Semua bentuk terorisme adalah kejahatan yang tidak memilih sasaran dari etnis dan agama tertentu," kata Deputi Dirjen Publikasi Partai Komunis China, Komite Regional Xinjiang, Shi Lei (hal.95).
Dalam bagian ketiga (tradisi/peradaban Islam), buku itu mengupas tentang iktikaf, kamera dimana-mana, masjid dibongkar, pengaruh Timur Tengah, sapaan Hubbul Wathan, Al-Qur'an dan Hadits, geliat Islami, tak lagi tabu, carter pesawat ke Mekkah, puasa di tengah pandemi, Maghrib masih lama, bebas makan dan minum, larangan atau pilihan?, mendadak fitri, dan kafilah para imam.
Artikel pada bagian ini merupakan klarifikasi atas berbagai isu, seperti Direktur Komisi Urusan Etnis
Daerah Otonomi Xinjiang, Mehmut Usman, yang membantah rumor pembongkaran masjid (hal 154-155), karena hanya bersifat renovasi dan CCTV juga ada dimana-mana, termasuk di masjid, yang bisa mengklarifikasi rumor yang tidak benar. Apalagi, geliat Islam dan tradisi keagamaan juga marak. (hal 178).
Dalam bagian keempat (politisasi), tulisan dalam buku ini menyoroti tentang merembet hingga gelanggang olimpiade, rivalitas semu, sinifikasi, islamofobia, lembaran baru Beijing-Taliban, janji yang terserak, ganti Gubernur, Ozil mencuit-Dilraba ngambek, dan batu sandungan.
Pada bagian terakhir buku ini, sampai pada klarifikasi bahwa isu minoritas muslim Uighur akan terus ada selama ada rivalitas China dengan negara-negara sekutu AS (hal.248).
Di mata Indonesia, isu Xinjiang sudah selesai di tataran diplomasi dan hubungan bilateral Indonesia-China bahwa Xinjiang adalah urusan dalam negeri China, sehingga pihak eksternal tidak boleh mencampuri, seperti halnya masalah Papua bagi Indonesia (hal.316).
Namun, di tataran publik Indonesia masih menjadi batu sandungan karena muslim Indonesia itu belum semuanya menerima literasi tentang perlakuan Beijing terhadap etnis minoritas Muslim Uighur sebagai penduduk asli Xinjiang. Literasi yang beredar justru framing digital.
"Ya, isu Xinjiang itu mirip isu komunisme bagi Indonesia," kata putri mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yenny Wahid.