Beijing (ANTARA) - Setelah menunggu lebih dari dua dasawarsa, akhirnya Hari Raya Idul Fitri di belahan bumi bagian utara terjadi pada saat musim semi.
Di China, bulan Syawal tahun 1443 Hijriah jatuh di penghujung musim semi.
Umat Islam di negara yang telah membentuk peradabannya sejak 5.000 tahun silam itu menunaikan puasa Ramadhan tahun ini genap 30 hari.
Terlambat sehari dibandingkan dengan umat Islam di Taiwan, yang masih dalam satu ikatan rumpun namun terpisahkan oleh selat itu.
Berpuasa pada musim semi memang tidak sensasional pada musim panas seperti yang dirasakan dalam tujuh hingga delapan tahun terakhir.
Durasi puasa pada musim semi tidak sepanjang musim panas yang siangnya lebih lama dibandingkan dengan malamnya.
Sebaliknya, puasa pada musim dingin durasinya lebih pendek dibandingkan musim panas karena matahari lebih cepat pulang.
Nah, puasa pada musim semi di China inilah yang ideal meskipun rentang waktu antara imsak dengan magrib makin lama semakin melebar.
Di Beijing yang berada di wilayah timur laut daratan Tiongkok, imsak puasa hari pertama yang bertepatan dengan tanggal 3 April 2022 adalah pukul 04.21 waktu setempat (03.21 WIB) dan maghrib pada18.41 (17.41 WIB) atau durasinya masih 14 jam, 20 menit.
Namun puasa hari terakhir pada 2 Mei 2022, waktu imsak jatuh pada pukul 03.38 (02.38 WIB) dan maghrib 19.10 (18.10 WIB) dengan durasi yang sudah 15 jam, 32 menit.
Iklim Beijing relatif berbeda dengan di beberapa wilayah China lainnya, apalagi kalau dibandingkan dengan di wilayah timur, tengah, dan selatan.
Tujuh hari menjelang berakhirnya bulan Ramadhan, suhu udara sudah menyentuh angka 20-an derajat Celcius.
Jamaah shalat tarawih di aula serba guna Kedutaan Besar RI di Beijing pada saat itu sempat kegerahan, sampai-sampai dua pintu utama dan satu jendela harus dibuka agar udara segar dari luar masuk.
Namun, dua hari kemudian suhu udara tiba-tiba drop hingga level 12-13 derajat Celsius.
"Kemarin sudah panas, hari ini terpaksa mengeluarkan jaket lagi," celetuk seorang anggota jamaah tarawih di KBRI Beijing pada 28 April.
Pada saat itu, pinggiran wilayah Kota Beijing diguyur hujan salju lokal tipis-tipis.
Cuaca di China bagaikan "roller coaster" seperti pernah digambarkan seorang warga yang berpindah-pindah tempat tinggal di wilayah timur laut, utara, dan barat mengenai betapa cepatnya perubahan temperatur udara itu.
"Kok kuat ga pakai jaket?" ucap seorang anggota staf KBRI Beijing, yang secara kebetulan sama-sama turun dari subway Line 10 di Stasiun Nongye Zhanlan Guan.
Dalam perjalanan beberapa meter dari stasiun ke KBRI Beijing untuk melaksanakan shalat Idul Fitri pada Selasa (3/5) pagi itu, dia mengenakan jaket agak tebal. Dia juga terus mengamati telepon selularnya untuk melihat data perkembangan cuaca terkini.
"Oh iya sih, nanti siang sudah mulai panas lagi," tuturnya, mengoreksi pertanyaan yang beberapa menit sebelumnya dia ajukan kepada penulis.
Terkekang Pandemi
Suasana Kota Beijing pada Selasa (3/5) pagi itu sangat lengang, kereta subway Line 10 juga sepi penumpang, padahal jalur ini paling sibuk dibandingkan dengan jalur lainnya yang sama-sama melintasi wilayah Distrik Chaoyang.
Dalam sepuluh hari terakhir, Distrik Chaoyang dikategorikan sebagai wilayah berisiko risiko tinggi setelah ditemukan klaster baru COVID-19 di satu sekolahan.
Per 1 Mei 2022, otoritas Beijing menetapkan larangan makan dan minum di restoran atau kafe di seluruh wilayah Distrik Chaoyang.
Spontan, restoran dan kafe yang bertebaran di kawasan perbelanjaan internasional Sanlitun sepi pengunjung. Padahal, sedang berlangsung musim liburan Hari Buruh yang ditetapkan pada 29 April hingga 4 Mei 2022.
Makanan dan minuman harus dibawa pulang (dabao), demikian isi maklumat yang dikeluarkan otoritas kesehatan Kota Beijing pada 30 April 2022.
Maklumat terbaru itu juga mewajibkan seluruh warga yang tinggal di Distrik Chaoyang untuk melakukan tes PCR setiap dua hari sekali.
Maklumat termutakhir itu sekaligus merevisi aturan wajib tes sebelumnya yang setiap pekan dua kali selain larangan bepergian ke luar kota selama musim liburan Hari Buruh.
Hasil tes PCR negatif sangat penting bagi warga Distrik Chaoyang tanpa terkecuali karena sebagai prasyarat wajib untuk memasuki pusat perbelanjaan, pasar, kantor pelayanan pemerintahan, dan fasilitas publik lainnya.
Aturan ini juga mengikat terhadap warga negara Indonesia, meskipun mereka berkegiatan di dalam premis diplomatiknya sendiri.
Nah, inilah yang terjadi pada saat shalat Idul Fitri tahun ini yang digelar di halaman samping KBRI Beijing dengan jumlah jamaah terbatas.
Shalat Id dilaksananan dengan tetap mematuhi protokol kesehatan ketat yang digariskan oleh otoritas setempat ketika semua rumah ibadah, termasuk masjid di seluruh pelosok China tutup akibat pandemi.
Terlebih, KBRI Beijing berada di Distrik Chaoyang yang sampai saat ini masih dikategorikan sebagai wilayah berisiko tinggi.
Shalat Idul Fitri tahun lalu relatif lebih ramai karena ratusan WNI hadir yang juga turut meramaikan silaturahim (open house), yang biasanya digelar rutin oleh duta besar RI di Wisma Duta KBRI Beijing yang diakhiri dengan santap siang masakan khas Nusantara.
Tahun ini, shalat Id hanya diikuti tidak lebih dari 80 orang, meskipun dalam surat izin yang diajukan oleh KBRI Beijing kepada otoritas setempat disebutkan sekitar 100 orang.
Acara jamuan bakda shalat Id juga digelar seadanya. Dubes RI untuk China Djauhari Oratmangun yang sedang melaksanakan tugas di Indonesia juga hanya bisa menyapa staf KBRI Beijing melalui layar monitor yang terpasang tepat di sebelah mimbar khatib.
Ada penjagaan oleh sejumlah aparat kepolisian setempat di luar kompleks KBRI yang berlokasi di jalan Dongzhimen Wai Da Jie No 4, Distrik Chaoyang, Kota Beijing, pada pagi itu.
Satu unit mobil polisi juga disiagakan.
Satu dari dua polisi yang mengenakan stelan jas menghitung setiap orang yang masuk kompleks KBRI di pintu lapis utama untuk memastikan bahwa peserta yang mengikuti shalat Id tidak lebih dari 100 orang sesuai aturan.
Tak satu pun dari orang yang menghadiri perayaan Idul Fitri di KBRI Beijing itu tidak melakukan tes PCR, sekali pun mereka masih di bawah umur.
Untuk mengikuti satu acara di KBRI Beijing itu saja, mereka harus menjalani tujuh kali tes PCR. Empat kali tes PCR dilakukan sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri dan tiga sisanya sesudahnya.
Apa pun persyaratan itu, 80 orang tersebut telah menunjukkan keikhlasannya sebagai bentuk khidmah dalam menyambut hari yang penuh fitrah.
"Mohon maaf kalau akhirnya kami tidak bisa mengundang WNI dalam jumlah besar pada momentum Lebaran tahun ini mengingat situasi," kata Wakil Dubes RI untuk China Dino R Kusnadi.
Lebaran dalam kungkungan sepi
Oleh M. Irfan Ilmie Rabu, 4 Mei 2022 19:35 WIB