Jakarta (ANTARA) - Teknologi kecerdasan buatan atau AI bukan lagi sekadar teknologi masa depan.
Saat ini, AI telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, mulai dari fitur rekomendasi di TikTok, chatbot, seperti ChatGPT, hingga kendaraan otonom.
Dalam dunia yang terus bergerak cepat, AI bahkan telah menjelma menjadi fondasi dalam hampir semua aspek kehidupan, dari sistem rekomendasi di layar ponsel hingga pengambilan keputusan di ruang operasi.
Di tengah perkembangan pesat ini, kebutuhan akan talenta AI kian mendesak, baik di Indonesia maupun secara global.
Laporan Work Trend Index 2024 dari Microsoft dan LinkedIn menunjukkan fakta yang mencerminkan perubahan signifikan pemanfaatan AI di dunia kerja.
Sebanyak 69 persen perusahaan di Indonesia menyatakan tidak akan merekrut kandidat yang tidak memiliki keterampilan AI, sementara 76 persen perusahaan, bahkan lebih memilih kandidat dengan pengalaman kerja minim, asalkan memiliki penguasaan AI yang kuat.
Kenyataan ini menegaskan pentingnya institusi pendidikan untuk mengambil peran aktif dalam menyiapkan sumber daya manusia yang kompeten di bidang AI.
Seiring dengan itu, muncul pertanyaan fundamental, apakah dunia pendidikan di Indonesia siap menyambut kebutuhan tenaga kerja dengan kemampuan AI?
Bukan teknologi yang menjadi soal. Tantangan terbesar justru terletak pada kesiapan manusia, khususnya pada kesiapan institusi pendidikan tinggi sebagai garda depan pencetak talenta masa depan.
Indonesia, seperti disampaikan Kementerian Komdigi, diproyeksikan kekurangan sembilan juta talenta digital hingga tahun 2035.
Sementara itu, dunia industri telah mulai mematok kecakapan AI sebagai prasyarat rekrutmen. Artinya, krisis ini bukan lagi soal relevansi, melainkan soal keberlangsungan.
Transformasi sistem pendidikan menjadi sangat mendesak. Institusi pendidikan tinggi, baik negeri maupun swasta, perlu bergerak lebih progresif dalam mengintegrasikan AI ke dalam inti kurikulum.
Salah satu pendekatan yang layak dicermati adalah upaya kampus-kampus yang merancang kurikulum berbasis praktik, menggabungkan, aspek teknis seperti deep learning, Natural language processing, dan computer vision, dengan pembelajaran etis dan lintasdisiplin.
Sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, di antaranya Universitas Pelita Harapan (UPH), telah menghadirkan Fakultas Artificial Intelligence (FAI) sebagai respons terhadap kebutuhan zaman.
Upaya ini mutlak direplikasi karena Indonesia sudah saatnya mempersiapkan generasi pemimpin masa depan yang kompeten di bidang kecerdasan buatan.
Dekan Fakultas Artificial Intelligence Universitas Pelita Harapan Dr. Rizaldi Sistiabudi menegaskan bahwa AI kini telah terintegrasi di hampir seluruh sektor bisnis, mulai dari perbankan, kedokteran, media, hingga manufaktur. Karena itu, untuk mewujudkan visi Indonesia Emas, dibutuhkan talenta yang terampil dan ahli di bidang AI.
Bagi Rizaldi, AI bukan untuk menggantikan manusia, tetapi untuk meningkatkan kapasitas manusia.
Bahkan, lebih jauh dari itu, AI bukan sekadar tren teknologi, tetapi akan menjadi faktor penentu siapa yang akan memimpin, dan siapa yang tertinggal di masa depan.
Etika AI
Hal yang perlu menjadi perhatian kemudian adalah urgensi pembelajaran Ethical AI juga tidak bisa dianggap remeh. Studi OECD dan Future of Life Institute secara konsisten menyoroti risiko AI yang dibangun tanpa etika, memperkuat diskriminasi, menciptakan bias algoritmik, dan memperlebar ketimpangan sosial.
Kampus perlu menjadi ruang aman untuk menguji, mendebat, dan merumuskan nilai-nilai etis dalam penggunaan teknologi yang dampaknya bisa menyentuh kehidupan manusia secara langsung dari pengobatan, hingga keputusan hukum.
Sayangnya, pendekatan holistik semacam ini masih menjadi pengecualian, bukan norma. Di tengah masih tingginya ketimpangan akses pendidikan tinggi, sebagaimana diungkapkan studi Bank Dunia, yang mencatat bahwa siswa dari kuintil atas lima kali lebih mungkin melanjutkan kuliah dibanding yang berasal dari kuintil terbawah pendidikan AI yang eksklusif hanya akan memperkuat ketidakadilan struktural.
Jika hanya segelintir orang yang mampu memahami dan mengembangkan AI, maka demokratisasi teknologi tinggal menjadi jargon kosong.
Inisiatif bantuan pendidikan, magang industri, hingga kolaborasi global menjadi penting, bukan sekadar pelengkap program.
Laporan World Economic Forum 2023 memprediksi 44 persen keterampilan kerja akan berubah dalam lima tahun mendatang.
Dalam lanskap yang volatil ini, lulusan harus lebih dari sekadar siap kerja, namun mereka harus siap mencipta dan memimpin transformasi.
Kampus yang mampu menghadirkan ekosistem pembelajaran berbasis proyek dan berorientasi industri memegang peranan strategis dalam membentuk masa depan itu.
Bahasa pengantar, seperti bahasa Inggris yang digunakan dalam pendidikan AI juga harus dibaca sebagai tantangan sistemik.
Sebuah pertanyaan mendesak muncul, apakah sistem pendidikan dasar dan menengah di Indonesia sudah cukup membekali generasi muda dengan kecakapan bahasa dan literasi digital yang mumpuni?
Jika tidak, maka universitas-universitas unggulan akan menjadi menara gading, bukan jembatan perubahan.
Kehadiran AI di ruang akademik semestinya bukan sekadar tentang penguasaan perangkat lunak atau teknik pemprograman.
Hal yang lebih krusial adalah kemampuannya untuk mengubah cara kita memahami dunia, membuat keputusan, dan membangun keadilan.
Pendidikan AI
Dalam diskursus global yang mulai mengangkat topik Artificial General Intelligence dan Superintelligence, dunia pendidikan harus mengasah para pemikir, bukan hanya teknisi.
Karena ketika AI masuk ke ruang-ruang pengambilan keputusan, pertanyaannya bukan hanya “bisa atau tidak”, tetapi “boleh atau tidak”.
Namun tanggung jawab membangun pendidikan AI tidak bisa dibebankan pada segelintir institusi swasta.
Negara harus hadir, memastikan bahwa perguruan tinggi negeri, politeknik, hingga universitas daerah mendapat ruang, dukungan, dan mandat yang sama untuk mengembangkan program serupa.
Jika tidak, ketimpangan digital akan menjelma menjadi jurang sosial yang dalam, teknologi tersedia, tapi hanya segelintir yang mampu menjangkau dan memanfaatkannya.
Kebijakan afirmatif sangat dibutuhkan dari pendanaan riset AI di universitas negeri, pengembangan kurikulum AI di politeknik, hingga kolaborasi riset antaruniversitas dan magang internasional yang terstruktur.
Pemerintah harus menyusun peta jalan pengembangan pendidikan AI nasional yang berpihak pada inklusivitas dan pemerataan.
AI bukan hanya untuk Jakarta, Bandung, atau Surabaya, namun harus menjadi bagian dari ekosistem pendidikan di Kupang, Wamena, Pangkalan Bun, hingga ke seluruh pelosok negeri ini.
Jika tidak, maka AI hanya akan menegaskan bahwa teknologi bisa membuat dunia lebih sempit bagi yang tertinggal.
Institusi pendidikan tinggi harus menjadi titik mula dari revolusi ini. Kampus harus memosisikan diri sebagai lokomotif, bukan hanya pengajaran AI, tetapi juga penjamin bahwa revolusi teknologi ini tidak meninggalkan siapa pun. AI adalah alat.
Bagaimana AI digunakan, untuk siapa AI bermanfaat, sangat tergantung pada manusia yang mendidik dan dididik hari ini.
Ini penting, karena di masa mendatang, dunia akan membutuhkan profesi-profesi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, seperti AI engineer, machine learning engineer, AI developer, AI analyst, atau juga AI research scientist.
Mengapa harus belajar AI sekarang?
Oleh Hanni Sofia Selasa, 17 Juni 2025 14:03 WIB

Urgensi penerapan pendidikan AI di kampus-kampus di Indonesia untuk mencetak generasi muda yang berdaya saing tinggi. (ANTARA/HO-UPH)