Perhutani Blitar Evaluasi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
Rabu, 25 Juli 2012 20:56 WIB
Blitar - Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Perhutani Blitar, Jawa Timur mengevaluasi pelaksanaan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) setempat, karena di beberapa tempat justru dinilai merugikan tegakan hutan atau tanaman induk.
"Kasus paling mencolok terjadi di kawasan Hutan Sumberingin dan Maliran. Di sana petumbuhan tanaman tegakan milik Perhutani tidak maksimal, justru akibat ulah para pesanggem (istilah untuk petani penggarap lahan hutan) ilegal," ujar Kepala Subseksi PHBM KPH Perhutani Blitar, Uri Mujoto, Rabu.
Ia tak merinci kerugian yang dialami petani akibat aktivitas ilegal masyakat pesanggem di sekitar hutan Sumberingin maupun Maliran.
Uri hanya menggambarkan bahwa pertumbuhan pohon jati di lahan hutan seluas 281 hektare tersebut, sejak ditanam tahun 2001, hanya mencapai kisaran 60 persen.
"Di Perhutani sudah ada pakemnya, hitung-hitungan bahwa tanaman jati yang ditanam tahun 2001 itu sekarang harusnya mencapai 100 persen, terutama lingkar batang dan ketinggian pohon. Namun di sana tidak terjadi demikian," terangnya.
Ia menengarai, ada dua faktor utama yang menyebabkan kegagalan produksi tanaman produksi yang dikelola Perhutani di Hutan Sumberingin dan Maliran.
Pertama, kata Uri, adalah faktor hilangnya unsur hara akibat aneka tanaman sekunder yang disemai para pesanggem liar.
Tidak terkontrolnya varietas tanaman yang diperbolehkan ditanam di bawah tumbuhan tegakan menyebabkan unsur hara di lahan hutan menghilang.
Tanaman induk kalah bersaing dengan tanaman sekunder yang disemai secara tumpangsari.
"Faktor kedua adalah akibat ulah para pesanggem liar tadi yang merampasi ranting dan dahan tanaman induk, sehingga pertumbuhannya tidak maksimal. Dua hal itu yang membuat perhutani sebagai pengelola resmi lahan hutan merasa dirugikan," katanya menerangkan.
Untuk mengatasi masalah itu, lanjut Uri, pihaknya memutuskan untuk mengganti seluruh tegakan yang ada di areal hutan Sumberingin maupun Maliran.
Kebijakan itu secara otomatis juga berdampak pada penarikan seluruh hak garap lahan hutan oleh para pesanggem, hingga muncul kebijakan baru mengenai sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat yang dikoordinasikan melalui lembaga masyarakat desa hutan (LMDH). (*)