Seniman Tradisional Bondowoso Tidak Pentas Selama Ramadhan
Minggu, 22 Juli 2012 12:50 WIB
Bondowoso - Para seniman tradisional di Kabupaten Bondowoso, Jatim, tidak melakukan pementasan selama Ramadhan karena ingin menghormati umat Islam yang berpuasa.
"Kebetulan kalau bulan puasa kan memang tidak ada orang yang nanggap atau mengundang kami untuk pentas. Selain itu, kami juga ingin menghormati bulan puasa," kata pimpinan Sanggar Gema Buana, Sugeng, di Bondowoso, Minggu.
Ia menjelaskan bahwa sanggarnya yang membina kesenian tradisional singo ulung dan pojhian itu biasanya ramai tanggapan dari masyarakat satu pekan setelah Lebaran. Sebelum bulan puasa grup kesenian ini juga masih melayani undangan pentas.
Meskipun demikian, kata Sugeng, selama puasa, anggota sanggar yang bermarkas di Prajekan, sebelah timur Kota Bondowoso, ini masih tetap berlatih setiap satu pekan sekali, yakni pada malam Sabtu. Sementara di luar Ramadhan, mereka melakukan latihan dua kali dalam sepekan.
"Sekarang tetap latihan agar keterampilan teman-teman tetap terasah, hanya waktunya dikurangi. Latihannya setelah selesai shalat tarawih. Dengan tetap berlatih, maka kemampuan teman-teman tidak berkurang saat ada pementasan nantinya," kata alumni Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya ini.
Lelaki asal Gunung Kidul, Yogyakarta, namun lebih suka mengaku sebagai orang Bondowoso asli ini mengemukakan bahwa pihaknya bertekad untuk melestarikan semua bentuk kesenian daerah yang dimiliki oleh Bondowoso.
"Saya masih terus menggali kesenian-kesenian yang sudah jarang dipentaskan di masyarakat. Biasanya ada pelosok-pelosok desa," katanya.
Sementara pimpinan Ludruk Nyandang Trisno, H Sumito, mengemukakan bahwa selama Ramadhan grupnya juga libur tanggapan. Karena itu para seniman di grupnya beraktivitas di rumah masing-masing, terutama mereka yang menjadi petani.
"Meskipun tidak pentas, teman-teman pemain ludruk di sini tidak ada masalah karena mereka tidak menyandangkan hidup dari kesenian. Mereka ada yang bertani, ada yang penyanyi dan ada juga yang menjadi perangkat desa," katanya.
Menurut dia, sekitar 30 orang anak buahnya bersepakat untuk menghormati bulan suci Ramadhan dengan meliburkan diri. Apalagi pada bulan puasa ini memang tidak ada orang yang menggelar hajatan.
"Biasanya kami pentas kan diundang untk hajatan pernikahan atau sunatan. Atau ada orang yang memang punya hajat tertentu. Selama puasa kan memang tidak ada yang menggelar hajatan lainnya," kata pria yang pada tahun lalu menunaikan ibadah haji ini.
Sumito mengaku ludruk yang dibinanya sejak bertahun-tahun tetap eksis meskipun tidak seramai puluhan tahun lalu karena masyarakat sudah banyak disuguhi alternatif hiburan modern.
"Tapi saya bersyukur karena kesenian ludruk maupun lawakan dan campursari yang saya bina tetap saja ada tanggapan. Mereka yang menanggap berasal dari masyarakat desa," katanya. (*)