Surabaya (Antara Jatim) - Di bawah remang lampu pada sebuah ruang hias di gedung yang tampak tak terawat di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya, para lelaki tampak sibuk bersolek, jelang pementasan lakon "Brandal Lukojoyo Sunan Kalijogo", akhir pekan lalu.
Yang terlihat paling sibuk dan tergesa-gesa menyelesaikan riasannya adalah Kristin Ayu, setidaknya begitulah lelaki asal Jember ini menyebut namanya. Dia tergesa-gesa menyelesaikan "make up" karena harus membuka pementasan ludruk oleh para seniman Kelompok Ludruk Irama Budaya asal Kota Surabaya.
Sekitar pukul 21.00 WIB, Kristin naik ke atas panggung. Tubuhnya tampak gemulai saat menampilkan tarian remo, yang dipentaskannya sendirian, sebagai pembuka lakon ludruk pada Sabtu (25/2) malam itu.
Sesekali dia menghentakkan kakinya ke lantai, membuat gelang kakinya bergemerincing, di tengah tabuhan musik gamelan yang mengirinya. Sekitar 20 menit Kristin menampilkan tari remoh, lalu kembali ke ruang rias, berganti busana.
Sementara para lelaki yang sejak awalnya bersolek bersamanya sudah siap naik pentas untuk menampilkan tarian bedayan, menggantikan pertunjukan tari remo yang baru saja diselesaikan Kristin.
Para lelaki, berjumlah 12 orang, dengan berbusana kebaya ini tampak beradu gemulai di atas panggung. Layaknya seorang peragawati, mereka bergantian berlenggak-lenggok menampilkan keindahan tarian bedayan.
Kristin tak lama kemudian tampak sudah berganti busana remo-nya dengan kebaya. Dia cepat bergabung ke atas panggung dengan perempuan-perempuan ludruk yang sebenarnya diperankan oleh para lelaki itu menampilkan tarian bedayan, yang berlangsung sekitar 30 menit.
Usai tarian bedayan, pementasan Ludruk Irama Budaya berlanjut dengan parikan yang disisipi lawakan, dan kemudian masuk ke inti cerita sandiwara dengan lakon "Brandal Lukojoyo Sunan Kalijaga".
Ditemui di belakang panggung, Kristin terang-terangan mengaku dirinya, dan juga rekan-rekannya, para lelaki yang berperan sebagai perempuan ludruk dalam tarian bedayan yang baru saja dipentaskannya, telah mentransformasi gendernya menjadi seorang wanita-pria (waria).
Kristin menyatakan telah mengabdikan hidupnya untuk kesenian tradisional ini sejak tahun 1994. "Saat itu saya masih SD. Awalnya bergabung dengan kelompok kesenian Reog di Jember. Lalu di Jember ada kelompok ludruk, kemudian saya bergabung di dalamnya," kenangnya.
Kristin hijrah ke Surabaya untuk bergabung dengan Kelompok Ludruk Irama Budaya pada tahun 2006. "Karena saat itu Ludruk Irama Budaya punya tempat untuk pentas rutin tiap hari dengan menyewa gedung di Jalan Pulo Wonokromo, sejak itu sampai sekarang saya bergabung dengan Kelompok Ludruk Irama Budaya," tuturnya.
Ciri Khas Ludruk
Menurut Budayawan Akhudiat, justru yang menjadi ciri khas kesenian tradisional Ludruk adalah karena semua senimannya beranggotakan laki-laki.
Merujuk pada pada sejumlah literatur yang meyakini embrio kesenian pertunjukan tradisional ludruk di Jawa Timur telah ada sejak abad ke- 13, yaitu bersamaan dengan mulai masuknya ajaran agama Islam ke Bumi Nusantara.
"Saat itu kebudayaan Islam punya tradisi melarang kaum perempuannya tampil di berbagai pertunjukan seni," terangnya.
Itulah sebabnya kelompok kesenian ludruk sejak awal berdirinya beranggotakan seniman yang seluruhnya lelaki. "Maka lakon-lakon perempuan dalam sandiwara ludruk selalu diperankan oleh seniman lelaki," jelasnya.
Seiring perjalanan waktu, lanjut Akhudiat, perempuan-perempuan mulai diperbolehkan tampil dalam berbagai pertunjukan seni.
"Salah satunya Kelompok Ludruk Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya yang berdiri di tahun 1957, juga mulai mengakomodir kaum perempuan untuk bergabung dalam berbagai pementasannya," ucapnya, menjelaskan.
Sejak itu, beberapa seniwati pun bergabung ke kelompok ludruk lainnya dan mulai menggantikan peran seniman lelaki dalam mementaskan lakon-lakon perempuan pada berbagai pertunjukannya.
Akhudiat mengapresiasi jika sampai sekarang masih ada kelompok ludruk yang masih bertahan pada tradisi menampilkan lakon-lakon perempuan yang diperankan oleh lelaki. Seperti Kelompok Ludruk Irama Budaya di Surabaya yang hingga kini seluruh senimannya masih beranggotakan laki-laki.
Menurut Akhudiat, sebenarnya pemeran lakon perempuan pada sandiwara ludruk pada awal mula sejarahnya adalah lelaki tulen. "Perjalanan waktu, lakon-lakon perempuan dalam pertunjukan ludruk diperankan oleh waria dan melekat sampai sekarang 'wedokan' atau pemeran perempuan ludruk adalah waria," ucapnya.
Bagi Akhudiat, itulah perjalanan Ludruk dari masa ke masa yang telah mengalami metamorfosa yang cukup panjang. Sebagaimana Kristin Ayu, lelaki berusia 35 tahun, yang telah mentransformasi gendernya menjadi seorang waria, yang sejak usia SD telah mengabdikan hidupnya untuk kesenian ludruk. Dia adalah seniman ludruk sejati. seorang perempuan ludruk yang bisa tampil meremoh, menari bedayan, dan menyanyi (nyinden).
"Tidak semua seniwati Ludruk bisa menari remoh. Kalau saya sudah mempersiapkan diri agar bisa memerankan berbagai lakon perempuan yang dibutuhkan dalam pertunjukan ludruk, jadi sejak kecil saya juga belajar menari remoh. Karena sudah tradisi, ciri khasnya seniman ludruk itu semuanya laki-laki, dan sekarang waria gitu ya. Beda dengan ketoprak dan wayang orang yang sejak awal sudah ada perempuannya," ungkap Kristin.
Awalnya Waria Jaya
Kelompok Ludruk Irama Budaya sendiri dibesarkan oleh mendiang seniman waria bernama Sakiyah Sunaryo. Sepeninggal Sakiyah di tahun 2012, eksistensi Ludruk Irama Budaya dilanjutkan oleh putra angkatnya, Deden Irawan.
Deden mengisahkan, sejak pertama kali berdiri tahun 1987, Kelompok Ludruk Irama Budaya telah berganti nama sebanyak tiga kali.
"Awalnya kita bernama Waria Jaya, tapi gak lama, dua tahun kemudian kita ganti nama lagi menjadi Ikabra Jaya, baru tahun 1990-an kita menggunakan nama Ludruk Irama Budaya," terangnya.
Pemuda berusia 36 tahun ini menjelaskan, Irama Budaya adalah ludruk tobong, dalam artian selalu pentas menetap di sebuah gedung, meski harus berpindah-pindah gedung dengan cara menyewa.
Terlama, Ludruk Irama Budaya nobong dengan menyewa sebuah gedung di Jalan Pulo Wonokromo. "Kita nobong tidak pernah keluar dai Kota Surabaya, dan paling lama kita nobong di Pulo Wonokromo. Terakhir kita sewa gedung di sana harganya Rp8 juta per tahun, belum termasuk bayar listrik," ujarnya.
Deden mengenang, saat nobong di Pulo Wonokromo era 1990-an hingga awal tahun 2000-an adalah puncak kejayaan Ludruk Irama Budaya. "Dari kapasitas 250 kursi, seringkali penontonnya bludak sampai 300-an. Khususnya kalau pentas di malam minggu, penontonnya banyak yang berdiri, dan kita gelar pentas setiap hari di sana," kenangnya.
Waktu berjalan, semakin lama kesenian ludruk ditinggalkan masyarakat. Penonton yang datang menyaksikan pertunjukan Ludruk Irama Budaya di Pulo Wonokromo tak lagi membludak. Kian hari semakin berkurang. Bahkan meski pentas digelar di malam minggu, kursinya banyak yang lowong. Membuat Kelompok Ludruk Irama Budaya tak mampu lagi membayar biaya sewa.
Beruntung Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) memfasilitasinya, dengan memberi tempat sebuah gedung yang mangkrak di THR tanpa membebaninya biaya sewa. Seniman Ludruk Irama Budaya pun tak menyianyiakannya.
Sejak 2010 mereka melanjutkan pentas rutin di THR, meski kini hanya seminggu sekali, tak lagi setiap hari seperti dulu, dengan jumlah penonton tak lebih dari 30 orang di setiap pementasannya.
Sejak 2010 mereka melanjutkan pentas rutin di THR, meski kini hanya seminggu sekali, tak lagi setiap hari seperti dulu, dengan jumlah penonton tak lebih dari 30 orang di setiap pementasannya.
"Kita tidak ditarik biaya sewa di sini. Listriknya juga ditanggung oleh Disbudpar Pemkot Surabaya. Kita hanya diminta untuk merawat gedungnya saja," terang Deden.
Regenerasi
Dengan tiket pertunjukan Rp10 ribu per orang, sedangkan jumlah penonton yang datang sedikit, tentu mereka harus mencari penghasilan lain di luar ludruk untuk menghidupi keluarga dan dirinya sendiri.
Di luar berksenian ludruk, Deden megaku harus bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Juga Kristin, dia membuka usaha salon, selain menerima job sebagai pesinden campursari dari masyarakat yang menggelar hajatan.
Namun, para seniman tradisional ini tak patah semangat. Sebagaimana cerita ludruk dari lakon-lakon legenda Jawa yang tak pernah mati, mereka meyakini kesenian ludruk yang dilakoninya akan tetap eksis di tengah kondisi panggung hiburan tradisional yang terpuruk oleh era digital.
Yang dipikirkan Deden saat ini adalah seniman ludruk harus punya regenerasi. Karenanya, sejak dua pekan terakhir, dia menggelar pelatihan ludruk setiap Sabtu sore, pukul 15.00, bagi siswa-siswi setingkat SMA dan mahasiswa, maupun umum.
Tempat pelatihan digelar di gedung THR yang difasilitasi Pemkot Surabaya ini. "Agar seniman ludruk punya generasi penerus," katanya. Peminatnya ternyata lumayan banyak. "Sudah dua kali pertemuan. Anak-anak sekolah ternyata banyak yang mau ikut," ujarnya.
Dia menjelaskan, dari dua kali pertemuan pelatihan yang telah digelarnya, terbanyak diikuti oleh siswa-siswi dari SMAN 8 Surabaya. "Selain itu juga ada mahasiswa dari Universitas Kristen Petra, Universitas Negeri Surabaya, dan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya. Masyarakat umum juga banyak yang ikut," tuturnya.
Deden berharap generasi penerus ludruk dari pelatihan yang digelarnya saat ini suatu saat bisa dipentaskan.
"Sebab saat ini dari pentas yang rutin kita gelar masih didominasi adalah para seniman ludruk senior dari generasi lama. Pemain kita yang termuda saat ini adalah Arik, usianya 26 tahun. Makanya kita butuh bibit-bibit baru sebagai generasi baru penerus ludruk," ungkapnya.
Malam semakin larut. Di tengah remang-remang lampu pada gedung pertunjukan lakon ludruk "Brandal Lukojoyo Sunan Kalijogo" yang masih berlangsung setengah jalan, satu persatu penonton yang sedikit itu tampak mulai beranjak meninggalkan ruangan. Pertunjukan ludruk oleh kelompok seniman Irama Budaya tetap berjalan sampai selesai. (*)