Surabaya (ANTARA) - Sejumlah akademisi menyoroti kewenangan kejaksaan dalam penyidikan pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Mereka menilai, tanpa adanya diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana, potensi akumulasi kekuasaan yang berujung pada otoritarianisme semakin besar.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs., MSi., di Surabaya, Kamis menegaskan pentingnya pembagian kekuasaan yang jelas dalam sistem hukum untuk menghindari dominasi satu lembaga.
"Pembagian kekuasaan harus dilakukan agar tidak terjadi personalisasi kekuasaan pada individu atau lembaga tertentu. Akumulasi kekuasaan berpotensi menjadikan suatu lembaga bersifat otoriter dan tidak terkontrol," ujarnya.
Senada dengan itu, Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Prof. Dr. Suparto Wijoyo, S.H., M.Hum., menekankan bahwa kepolisian memiliki kewenangan penyidikan berdasarkan konstitusi.
"Dalam prinsip diferensiasi fungsional, kewenangan penyidikan secara general rule tetap berada pada kepolisian, sebagaimana telah diatur dalam konstitusi," katanya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Prof. Dr. Tongat, S.H., M.Hum., juga menyoroti pentingnya kejelasan batas kewenangan antara institusi penegak hukum agar tidak terjadi tumpang tindih.
"Setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana harus memahami batas-batas kewenangannya. Jika kewenangannya tidak jelas, maka berpotensi terjadi benturan dalam penegakan hukum," tuturnya.
Pembahasan RKUHAP terus bergulir di tengah kritik berbagai pihak yang menginginkan adanya keseimbangan kewenangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.