Geliat Bisnis Warung Kopi di Tulungagung
Senin, 7 Mei 2012 12:28 WIB
Tulungagung - Masyarakat Tulungagung dikenal sebagai kelompok masyarakat yang memiliki kebiasaan minum kopi. Tradisi ngopi pada kalangan masyarakat yang dikenal dengan sebutan Kota Marmer ini tidak hanya di perdesaan, tapi juga di perkotaan.
Hampir tak ada kecamatan maupun desa di wilayah kabupaten yang memiliki luas 1.055, 65 kilometer2 dengan jumlah pendudukan sekitar 1.024.034 ini yang tidak ada warung kopinya.
"Minum kopi sambil nongkrong dipinggir jalan, sudah menjadi tradisi masyarakat Tulungagung," kata salah seorang penikmat kopi, Anang Agus Faizal.
Warga asal Blitar yang berumah tangga di Tulungagung ini menuturkan, tradisi minum kopi masyarakat Tulungagung menunjukkan bahwa kondisi sosial masyarakat di wilayah secara psikologis memang lebih terbuka, dinamis dan lebih plural.
Setiap malam di sepanjang jalan protokol di dalam kota, seperti di Jalan Pahlawan, Jalan Kepatihan, serta di sekitar alun-alun kota memang dipadati oleh kerumunan warga yang datang hanya untuk menikmati segelas kopi hanya.
Para penikmat kopi ini, tidak hanya pada kelompok usia tua sebagaimana layaknya di Madura, akan tetapi juga pada semua lapisan. Baik remaja, maupun pemuda, termasuk kaum perempuan.
Minum kopi sambil nongkrong dipinggir jalan dengan menggelar tikar, duduk secara lesehan bagi masyarakat Kota Marmer ini seolah menjadi kebutuhan, untuk menghilangkan kejenuhan, setelah seharian mereka sibuk dengan rutinitas kerja.
"Ada nilai rekreatifnya juga. Kita kan bisa berkumpul sambil 'sharring' informasi dengan teman dan orang lain di tempat itu," tutur warga lain di Kota Tulungagung, Suyitno Arman.
Suyitno yang juga Ketua KPU Kabupaten Tulungagung ini menyatakan, ngopi memang menjadi tradisi masyarakat di wilayah itu yang sudah berlangsung sejak dulu.
"Makanya ketika sampean datang ke kantor KPU ini, kami wajib menyediakan kopi, karena inilah ciri khas Tulungagung," kata dia sembari berkelakar.
Geliat bisnis
Tradisi ngopi pada masyarakat Tulungagung inilah yang menyebabkan bisnis usaha minuman kopi merambah dengan pesat dengan beragam jenis sajian.
Bahkan, nongkrong sambil minum, juga menjadi kegemaran pada remaja dan pemuda Tulungagung, seolah menjadi tempat tongkrongan alternatif dengan biaya murah dan sangat meriah.
Sebut saja seperti yang diakui Andre, salah seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kota Tulungagung.
"Kalau saya biasa 'onlin'e mengakses internet di tempat-tempat ngopi seperti ini," ujarnya.
Andre hanyalah sebagian pemuda di kota ini yang biasa ngopi sambil "online" dengan membawa "laptop" (komputer jinjing) di tempat-tempat ngopi di keramaian Kota Marmer ini.
Pemuda yang juga penggemar fotografi ini mengaku, menikmati secangkir kopi sambil online mengakses berbagai informasi seolah membawa suasana batin tersendiri.
Kegemaran minum kopi pada masyarakat Tulungagung menyebabkan geliat usaha bisnis jenis miruman rakyat ini meningkat tajam.
Berdasarkan data yang dirilis Paguyuban Warung dan Hiburan se-Tulungagung (Pawahita) belum lama ini menyebutkan, hingga tahun 2010 saja, jumlah kedai dan warung kopi yang tersebar di 19 kecamatan mencapai 7.000 unit lebih.
Hampir di setiap desa di Tulungagung memiliki warung kopi. Bahkan di beberapa desa tersedia dua hingga tiga, bahkan ada yang mencapai empat warung kopi.
Sisi lain
Pesatnya persaingan usaha warung kopi di Tulungagung membuat sejumlah pengusaha minuman kopi melakukan bisnis dengan nuansa berbeda. Salah satunya seperti di salah satu warung kopi Desa Gandingan, Kecamatan Kedungwaru.
"Rumah Tua atau RT". Demikian masyarakat menyebut warung yang terletak sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Tulungagung ini.
Sesuai dengan namanya, bangunan rumah yang dijadikan warung tempat berjualan kopi ini memang terlihat tua, mirip dengan balai kuno pada zaman kerajaan.
Berbeda dengan warung kopi pada umumnya, warung dengan menyajikan pramusaji cantik ini terletak di tengah perkampungan penduduk. Untuk menuju ke warung itu, harus melalui gang sempit yang hanya bisa dilalui oleh sepeda motor.
Namun, meski tempatnya terletak di desa, para pengunjung warung ini justru jauh lebih ramai dari warung kopi yang ada di kota.
Dari sebanyak 30 bangku tempat duduk permanen yang terbuat dari beton, tak satupun ada yang kosong.
"Kalau jam-jam malam seperti ini semuanya sudah penuh, kecuali siang atau sore hari. Soalnya kalau siang orang-orang kan banyak bekerja," papar salah seorang pengunjuk warung asal Desa Kedungwaru, Antok Sugendon.
Dari sisi rasa dan aroma kopi yang disajikan, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan warung-warung kopi yang ada di Tulungagung. Namun, keberadaan pramusaji cantik dengan dandangan yang menarik perhatian pengunjung itulah yang membuat warung RT digemari pengunjung.
Harganya juga nisbi mahal, yakni Rp4.500 per gelas, lebih mahal dari kopi di warung-warung biasanya yang hanya Rp1.500 per gelas.
"Orang yang datang ke sini kan tidak butuh untuk menikmati kopinya, tapi kan untuk menikmati suasana," tukas pengunjung lain di warung itu, Agung.
Setiap pengunjung yang datang, memang terlihat dilayani secara spesial oleh para pramusaji yang ada di warung itu.
Sesekali para pramusaji cantik ini duduk di antara para pengunjung warung dan meminta pangku, sehingga warung RT ini juga disebut sebagai "Warung Pangku".
Terlepas adanya sisi lain dalam bisnis penjualan kopi ini, namun, masyarakat Tulungagung sendiri mengganggap pola pemasaran dengan penyajian pramusaji cantik ini adalah sebuah pilihan.
Para penjual kopi lain di Kota Marmer ini mengaku tidak merasa tersaingi, karena keberadaan warung semacam itu hanya khusus di daerah tertentu saja.
"Kalau memang tujuannya ingin menikmati kopi, saya kira akan datang ke warung kopi yang sesuai dengan selera mereka," kata penjulan kopi lain di Desa Kedungwaru, Poerwadi. (*)