Bondowoso (ANTARA) - Kasus yang menyeret Gus Miftah Maulana Habiburrahman karena ucapannya kepada Sunhaji, penjual es teh keliling, masih terus menggelinding.
Gus Miftah Maulana yang dituduh mengolok-olok Sunhaji, kini menjadi sasaran olok-olok, apalagi ketika kasus ini menjadi bahan "gorengan" terkait pilihan politik.
Kasus ini membawa rasa sentimentil dan nostalgia saya pada masa kecil, yang belajar mengaji Al Quran pada seorang kiai. Miftah Maulana yang di depan namanya disematkan kata gus adalah seorang kiai. Ia bahkan memiliki pondok pesantren.
Waktu kecil, orang yang pertama kali mengenalkan huruf Alif, ba', ta' tsa' dan seterusnya adalah kakek saya almarhum Hasyi'in (Allahummaghfirlahu).
Meskipun secara sosial kakek saya bukan kiai, bagi saya, beliau adalah kiai sesungguhnya. Dalam perjalanan selanjutnya, Kakek Hasyi'in banyak memberikan pemahaman agama secara substantif dan mendalam.
Karena itu, ketika Gus Miftah menyampaikan kata yang memang tidak pantas diucapkan kepada seseorang, kepedihan saya bukan berpijak pada sikap benci kepada Gus Miftah.
Kepedihan itu semata-mata merupakan sikap empati pada seorang kiai yang sedang terpeleset lidah. Saya tidak yakin bahwa di hati ulama muda tersebut ada bersitan niat untuk menghina seseorang.
Gus Miftah sudah mendatangi rumah Sunhaji untuk meminta maaf. Bagi saya itu sudah menjadi bukti bahwa Gus Miftah memang sedang terpeleset, bukan berniat menghina Sunhaji.
Bagi yang sakit hati pada dia, pasti punya segudang alasan untuk tidak beralih ke sikap husnudzan. Dia tetap dituduh, meminta maaf kepada Sunhaji karena mendapat tekanan masyarakat yang masif beredar di media sosial.
Apalagi, kini dimunculkan data lain tentang perlakuan sama oleh Gus Miftah kepada artis Yati Pesek.
Mereka yang memosisikan diri berseberangan hati dengan Gus Miftah akan selalu banyak bahan untuk menimpakan sejuta tuduhan kepada dia.
Posisi Gus Miftah, saat ini memang serba salah. Sudah meminta maaf, masih saja muncul penilaian negatif kepadanya. Apalagi jika dia tidak meminta maaf.
Hal itu, termasuk pilihan mundur dari jabatan sebagai utusan khusus Presiden Prabowo Subianto, masih saja tidak menghentikan penilaian negatif kepadanya.
Rupanya, karena pejabat publik inilah sebab paling seksi mengapa tuduhan menghina orang dinilai pantas untuk diarahkan kepada Gus Miftah. Bagi saya, meskipun olok-olok itu ditujukan kepada Gus Miftah sebagai pejabat, dia tetaplah seorang ulama.
Kalau umat Islam tidak terima jika representasi agamanya, seperti kitab suci, ulama, dan lainnya dipersekusi, bukankah Gus Miftah juga masih menjadi bagian dari representasi Islam?
Kalau kecaman kepada Gus Miftah banyak diselipkan ajaran-ajaran agama, apakah tuduhan bahwa Gus Miftah menghina Sunhaji akan lepas dari keharusan pertanggungjawaban di hadapan Allah, kelak? Hanya Allah yang maha tahu dan maha adil menilai gerak hati seseorang.
Tugas kita adalah saling mengingatkan satu sama lain. Tidak ada ajaran agama yang menganjurkan umat untuk saling menjelekkan satu sama lain.
Ulasan ini juga digerakkan oleh niat untuk saling mengingatkan dan saling mencintai. Ulasan ini tidak untuk membenarkan ucapan Gus Miftah kepada Sunhaji. Dia memang harus juga banyak belajar dari kasus ini.
Mengambil pelajaran atau hikmah dari kasus ini adalah pilihan terbaik. Kasus ini memberi pelajaran agar kita berhati-hati dalam berucap dan bertindak.
Pelajaran lainnya, Allah sedang punya rencana besar untuk mengubah nasib seseorang bernama Sunhaji. Dari kasus ini mengalir aksi empati berupa bantuan beragam rupa untuk Sunhaji.
Allah juga mengingatkan Gus Miftah dan kita semua agar selalu sadar setiap saat untuk menjaga ucapan dan perbuatan.
Terima kasih Kakek Hasyi'in, Sunhaji, Gus Miftah, terima kasih semua pembaca media. Alhamdulillaahirabbil 'aalamiin. Shadaqallaahul 'adziim.
Berhentilah olok mengolok sesungguhnya dari kasus Gus Miftah
Oleh Masuki M. Astro Sabtu, 7 Desember 2024 15:43 WIB