Surabaya (ANTARA) - Akademisi berharap fenomena banyaknya calon tunggal atau lawan kotak kosong seperti di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 sudah tidak terjadi lagi di pemilihan mendatang.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Kacung Marijan menekankan pentingnya kompetisi calon kepala daerah antar-pasangan dengan pasangan dalam pilkada, bukan dengan kotak kosong.
"Tadi saya usulkan (agar tidak ada lagi kotak kosong), threshold harusnya ditiadakan, sehingga sejak awal orang itu mulai berkompetisi," kata pria Wakil Rektor I Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) ini dalam diskusi publik bertajuk "Kotak Kosong dan Demokrasi dalam Big Data" di UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Senin.
Kacung mengatakan fenomena kotak kosong bisa terjadi karena beberapa hal. Seperti dengan sengaja ada dorongan secara kelembagaan untuk mengarah ke kotak kosong melalui treshold.
"Ini juga didorong oleh personalisasi dari pilkada, termasuk pencalonan, adanya sosok yang kuat, sehingga orang itu berpandangan, siapa pun yang akan lawan tidak akan jadi. Makanya kartelisasi itu mendapatkan pembenaran, karena personalisasi politik tadi," ujarnya.
Tanpa treshold, kata dia, pemilihan ke depan bisa berlangsung dengan penuh kompetisi, karena bukan hanya incumbent atau petahana yang bisa mempersiapkan diri untuk kembali maju dalam pilkada, tetapi juga partai atau calon lain.
"Biar fair dan kompetisi itu ada, ya sejak awal dibuka seluas-seluasnya bagi partai-partai untuk dapat mencalonkan diri," ucapnya.
Sementara itu, Dekan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPN Veteran Jawa Timur Catur Suratnoaji mengatakan bahwa kotak kosong seperti hantu, yakni wujudnya tidak nampak jelas dan perlawanannya juga tidak berimbang.
"Kalau manusia dibandingkan dengan sesuatu yang tanpa wujud, itu jelas tidak fair. Sehingga saya setuju kalau ambang batas itu diturunkan atau ditiadakan," katanya.
Secara politik, lanjut dia, kotak kosong juga seperti kelompok termarjinalkan yang secara kekuatan politik dan ekonomi lemah.
Seperti diketahui, diskusi publik tersebut diadakan oleh Pusat Kajian Transformasi Masyarakat dan Budaya Digital, FISIP UPN Veteran Jatim. Dalam diskusi tersebut, selain diisi oleh pembicara dari UPN Veteran Jatim, Unair dan Unusa, juga ada dari Universitas Brawijaya.