Oleh Prof Dr H Muchlas Samani MPd *) UKA (Uji Kompetensi Awal) bagi calon peserta sertifikasi guru sempat menjadi polemik. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Namun, pemerintah tetap melaksanakan, dengan alasan belum memiliki alat untuk mengukur kompetensi guru. Hasilnya, kini juga sudah diketahui dan ternyata tidak menggembirakan. Skor rerata UKA 41,5 dari skor maksimal 100. Jadi, rata-rata peserta hanya menguasai 41,5 persen dari kemampuan yang seharusnya dikuasai. Fakta yang sungguh sangat merisaukan. Dengan asumsi kualitas soal dalam UKA bagus dan pelaksanaannya berjalan dengan jujur, maka hasil UKA menggambarkan profil kompetensi pesertanya. Peserta UKA sekitar 2,8 juta yang meliputi guru TK, SD, SMP, SMA, SMK dan SLB dari seluruh kabupaten di Indonesia, atau sekitar 10 persen dari seluruh guru di Indonesia. Dengan asumsi, peserta merupakan sampel yang representatif, maka hasil UKA menjadi gambaran bahwa itulah peta kompetensi guru yang kita miliki. Nah, kalau guru hanya menguasai 41,5 persen dari kemampuan yang seharusnya dimiliki, maka dapat dibayangkan seperti apa proses pembelajaran yang terjadi di sekolah, padahal guru adalah pilar utama dalam pendidikan. Tanpa guru yang bagus, mustahil dihasilkan pendidikan yang baik. Jika gurunya kurang bagus, dapat dipahami jika selama ini mutu pendidikan juga sulit untuk ditingkatkan. Studi Bank Dunia di Hongkong dan Shanghai (2011), dua kota yang dianggap memiliki pendidikan maju dengan pesat menunjukkan bahwa faktor guru yang baik yang menjadi penopang utama peningkatan mutu pendidikan di dua kota tersebut. Pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan jika kualitas guru kita seperti itu? Seperti saya sampaikan di berbagai kesempatan, kita rugi jika UKA hanya digunakan sebagai saringan untuk mengikuti sertifikasi guru. UKA harus menjadi "pintu masuk" dalam pembinaan guru di Indonesia. Dengan kualitas guru seperti itu, rasanya sangat mendesak untuk dilakukan langkah-langkah konkret guna memperbaikinya. Namun terlebih dahulu harus dilakukan analisis secara komprehensif, mengapa hal itu terjadi. Untuk itu, pola pikir "seeing forest for the trees" dari Sherwood (2002) sangat cocok diterapkan. Kondisi guru harus ditelaah mulai saat penyiapannya di bangku kuliah, situasi kerja saat sudah mengajar di sekolah, termasuk pola karier dan pembinaan profesionalnya. Untuk memahami konteks tersebut, perlu dilihat komposisi peserta UKA. Dilihat dari tempat bekerja, peserta UKA terdiri dari guru TK 8,6 persen, guru SD 59,5 persen, guru SMP 18,7 persen, guru SMA 6,6 persen, guru SMK 5,5 persen, guru SLB 0,9 persen, dan guru yang bertugas sebagai pengawas 0,2 persen. Dilihat dari pendidikan terakhirnya, mereka terdiri dari lulusan SMP 0,1 persen, lulusan SMA/SLTA 0,7 persen, lulusan D1 1,1 persen, lulusan D2 13,4 persen, lulusan D3 1,5 persen, lulusan S1 81,8 persen, lulusan S2 1,3 persen, dan lulusan S3 0,003 persen (Sembilan orang). Data di atas sesuai dengan komposisi guru secara nasional. Guru SD sebesar 56,4 persen dari seluruh guru, sehingga wajar jika peserta UKA-nya 59,5 persen. Guru SLB secara nasional 3,5 persen dan pada UKA pesertanya 0,9 persen. Selisih tersebut terjadi, karena guru SLB, SMA dan SMK pada umumnya sudah S1 sehingga lebih dahulu memperoleh kesempatan ikut sertifikasi, sementara guru SD sebaliknya. Pada awal sertifikasi guru, banyak diantara mereka yang belum S1, sehingga tidak dapat ikut. Namun setelah terbit PP 74 tentang Guru, mereka dapat ikut sertifikasi, asalkan usianya minimal 50 tahun dan masa kerjanya minimal 20 tahun. Itulah sebabnya terdapat 16,8 persen peserta yang berpendidikan di bawah S1. Diduga kuat, mereka itu adalah guru SD, khususnya yang diangkat pada masa pembukaan SD Inpres tahun 1970an. Pada awalnya mereka berpendidikan SPG-C (SPG Chusus), yaitu pendidikan satu tahun setelah SLTP, kemudian ditambah dengan KPG (Kursus Pendidikan Guru) selama dua tahun dan diakui setara dengan SPG. Mereka mengajar di pedesaan, sehingga banyak yang tidak mempunyai kesempatan melanjutkan kuliah, kecuali melalui program penyetaraan D2 dari pemerintah melalui UT. Itulah sebabnya sebagian besar mereka (13,5 persen) berpendidikan D2. Yang cukup mengejutkan adalah masih adanya guru yang berpendidikan SMP dan SMA/SLTA. Jumlahnya memang kecil, yaitu 203 orang (0,1 persen) lulusan SMP dan 1.954 orang (0,7 persen) lulusan SMA. Diduga kuat, mereka adalah guru SD di daerah terpencil yang kesulitan mendapatkan guru dan setelah mengajar mereka kesulitan untuk meningkatkan pendidikannya. Sebaliknya, ada guru lulusan S3 sebanyak sembilan orang dan S2 sebanyak 3.733 orang. Mereka itu pada umumnya guru SMA/SMK atau pengawas yang bertugas di kota besar. Rincian skor UKA Bagaimana dengan rincian skor UKA guru? Dilihat dari tempat bekerja, skor UKA guru adalah guru TK dengan skor 58,1, guru SD dengan skor 36,4, guru SMP dengan skor 45, guru SMA dengan skor 48,8, guru SMK dengan skor 49,1, guru SLB dengan skor 48,3, dan pengawas dengan skor 31. Yang tertinggi adalah skor guru TK. Itu sangat mungkin karena TK pada umumnya di perkotaan dengan guru berusia muda, yang masih segar dengan teori semasa kuliah. Skor guru SD jauh lebih rendah (36,4). Itu sangat mungkin karena sebagian daru mereka adalah guru "senior" dengan usia di atas 50 tahun dan mengajar di pedesaan yang jarang tersentuh dengan pengetahuan baru. Kalau toh sudah mendapatkan ijazah S1, mereka seringkali berasal dari lembaga pendidikan yang kurang bagus mutunya. Yang menjadi pertanyaan besar mengapa pengawas yang menjadi supervisor guru justru skornya paling rendah (31). Mungkinkah mereka sudah lupa, karena pengawasan selama ini cenderung administratif, sehingga tidak mendorong mereka belajar substansi bidang studi? Mungkinkah ini karena masih banyak pengawas yang tidak berasal dari guru atau kalau sempat menjadi guru, sudah cukup lama bertugas sebagai kepala sekolah atau "pejabat" di Dinas Pendidikan, sehingga sudah lupa akan bidang studi asalnya?. Dilihat dari latar belakang pendidikan mereka, guru berpendidikan SMP dengan skor UKA-nya 38,9, guru berpendidikan SMA dengan skor 33,4, guru berpendidikan D1 dengan skor 36,5, guru berpendidikan D2 dengan skor 34,6, guru berpendidikan D3 dengan skor 40,5, guru berpendidikan S1 dengan skor 43,3, guru berpendidikan S2 dengan skor 49,4, dan guru berpendidikan S3 dengan skor 43,6. Guru dengan pendidikan SMP tampaknya guru yang istimewa. Jumlahnya sangat sedikit (0,1 persen) dengan skor 38,9 sehingga tidak dapat menggambarkan sesuatu. Peningkatan latar belakang pendidikan dari SMA sampai S2 tampak berpengaruh terhadap kemampuan guru. Bahkan guru yang berpendidikan S2 memiliki skor jauh di atas mereka yang S1. Sementara itu guru yang berpendidikan S3 justru memperoleh skor lebih rendah dan hanya setara dengan yang S1. Sangat mungkin guru yang S2 adalah guru-guru SBI atau guru muda lainnya yang menempuh S2 pada bidang yang linier dengan mata pelajaran yang diajarkan, sehingga mampu mengerjakan UKA dengan baik. Sementara mereka yang S3 sangat mungkin guru senior/kepala sekolah/pengawas yang menempuh S3 tidak linier, sehingga justru rendah kemampuan mengerjakan UKA. Materi UKA adalah kompetensi profesional (penguasaan materi ajar) dan kompetensi pedagogik (kemampuan mengajarkan materi tersebut). Materi tersebut seharusnya sudah diperoleh ketika kuliah, kemudian berkembang ketika sudah bertugas di sekolah. Jika kemampuan mereka hanya 41,5 persen dari yang seharusnya dikuasai (standar minimal), wajar jika kita bertanya: (1) apakah standar kelulusan terjaga saat mereka lulus dari LPTK?; (2) apakah pembinaan mereka berjalan baik ketika sudah mengajar di sekolah?; dan (3) apakah iklim kerja serta pola karier membuat mereka berkinerja maksimal?. Kita tahu, di masa lalu yang masuk ke LPTK bukanlah lulusan SLTA yang pandai. Masuk LPTK seringkali sebagai pilihan kedua, setelah gagal di perguruan tinggi favorit. Oleh karena itu, dapat dipahami jika kualitas mahasiswa LPTK di masa itu juga bukan yang terbaik. Lebih dari itu, kondisi fasilitas belajar di LPTK juga belum ideal, sehingga dapat diduga memang guru-guru yang saat ini sudah bekerja di sekolah bukanlah mereka yang pandai-pandai. Pembinaan mereka setelah bekerja tampaknya juga belum optimal. Dengan jumlah yang sangat besar, dapat dipahami jika banyak guru yang selama ini belum pernah ikut pelatihan. Apalagi mereka yang mengajar di daerah terpencil, misalnya guru SD. Di daerah seperti itu, sumber belajar juga sangat terbatas, sehingga lengkaplah keterbatasan mereka dalam mengembangkan diri. Hal itu tergambar dari skor guru SD yang paling rendah (36,4) dan karena jumlahnya sangat besar (59,5 persen), maka menarik rerata skor ke arah bawah. Pola karier guru tampaknya juga perlu perhatian. Guru yang "pandai" biasanya bercita-cita menjadi kepala sekolah dan kemudian menjadi pejabat di Dinas Pendidikan. Guru yang pandai biasanya juga ingin pindah ke sekolah di kota, karena peluang mengembangkan diri menjadi lebih terbuka. Akhirnya, guru senior pada sekolah di pedesaan adalah mereka yang bukan tergolong terpandai. Beberapa studi juga menujukkan kinerja guru mulai menurun ketika yang bersangkutan berusia di atas 50 tahun. Inpres Peningkatan Mutu Bertolak dari kondisi seperti di atas, maka sangat mendesak dilakukan hal-hal sebagai berikut: (1) peningkatan kompetensi guru hingga mencapai standar kompetensi minimal. Jika belum mencapai 100 persen, maka minimal mencapai 75 persen dari standar yang seharusnya. Hal ini untuk menjaga agar pembelajaran di sekolah berjalan dengan baik. Namun upaya peningakatan kompetensi tersebut harus dirancang dengan baik. Guru kita belum memiliki budaya mengembangkan diri secara mandiri. Setelah lulus serifikasi dan mendapat tunjangan profesi, semestinya guru tidak lagi disibukkan mencari tambahan penghasilan. Idealnya, mereka memiliki waktu untuk mengembangkan diri. Namun beberapa studi menunjukkan tidak terjadi peningkatan kinerja setelah mereka mendapat tunjangan profesi (Baedowi, 2010). Tampaknya guru belum terbiasa melakukan pengembangan profesional bagi dirinya, walaupun penghasilan mereka sudah cukup baik. Kita tidak dapat menyalahkan guru, karena selama ini pengembangan diri belum menjadi pola hidup mereka. Mereka menggantungkan pada pelatihan dari Dinas Pendidikan atau lembaga lain. Oleh karena itu mendesak dilakukan pembinaan yang diarahkan ke "continuous professional development" (CPD). Dengan era ICT, MGMP dapat diaktifkan sebagai wahana CPD. Sanggar MGMP dapat dijadikan satelit P4TK atau universitas sebagai pembina bidang keilmuannya. Pola pelatihan yang bersifat administrasi dan "hit and run" sudah saatnya ditinggalkan. Pola pikir "co-creation" dari Ramaswamy & Gouillart (2010) perlu diterapkan, agar para guru merasa mampu mengembangan diri sendiri. Dengan pola itu, pengembangan diri secara mandiri atau dalam wadah kelompok profesi, setahap semi setahap dapat tumbuh. (2) khusus guru SD perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh. Banyak diantara mereka yang bertugas di pedesaan dan banyak yang belum "tersentuh" oleh pelatihan. Mereka yang senior berpendidikan awal SPG atau KPG. Kalau toh mereka susah payah menempuh S1 agar dapat ikut sertifikasi, biasanya "program studi seadanya dan mutu seadanya" pula. Di era sebelum desentralisasi, SD juga menjadi sekolah yang "kapiran". Di masa itu, aspek 3M (man, money, materials) menjadi kewenangan Kabupaten/Kota, sedangkan pembinaan akademik menjadi kewenangan Depdikbud. Hasilnya, seringkali saling menggantungkan pihak lain, dan sekolah menjadi kurang tertangani. Sangat mungkin, kondisi guru SD yang mutunya begitu merisaukan, juga disebabkan dualisme pembinaan di masa lalu. Terhadap guru dengan ciri-ciri tersebut, "pelatihan intensif" masih sangat diperlukan. Terlalu besar risiko membiarkan mutu guru SD sebagaimana tergambar pada hasil UKA. Sementara mengharapkan mereka mengembangkan diri secara mandiri juga masih merupakan impian. SD adalah pondasi pendidikan. Jika mutu pendidikan di SD bagus, maka akan mudah melanjutkan pengembangan siswa di SMP dan seterusnya. Sebaliknya, jika mutu pendidikan di SD jelek, maka akan sangat sulit memperbaikinya di SMP dan seterusnya. Perguruan tinggi perlu berperan aktif dalam pelatihan ini, demi kemajuan pendidikan di tingkat SD. Program Indonesia Mengajar yang digagas oleh Anies Baswedan dan Program SM3T yang dilaksanakan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi juga perlu didorong untuk membantu pelatihan tersebut. Mungkin perlu "Inpres Peningkatan Mutu Guru SD", sehingga tertangani secara serius. (3) masalah pengawas. Bahwa pembinaan dan pemberdayaan pengawas belum optimal sudah lama menjadi bahan diskusi. Namun jika skor UKA pengawas hanya 31, lebih rendah dibanding guru yang mengajar di sekolah, bagaikan "petir di siang bolong". Pengawas adalah orang yang melakukan supervisi guru. Nah, kalau kemampuannya hanya 31 persen dari yang seharusnya, maka dapat dibayangkan seperti apa mutu supervisinya. Kalau skor mereka lebih rendah dari skor guru yang disupervisi, bagaimana mereka dapat melakukan supervisi. Pengawas memang seringkali "terlewati" dalam upaya pelatihan guru. Biasanya pelatihan langsung kepada guru dengan instruktur dari P4TK, LPMP dan perguruan tinggi. Dalam suatu kesempatan, beberapa teman yang menjadi pengawas mengeluh, mengapa dalam pelatihan KTSP, lesson study dan sebagainya, pengawas tidak disentuh. Akibatnya, saat melakukan supervisi, mereka terkaget-kaget oleh inovasi guru. Oleh karena itu, sudah saatnya pengawas "diperankan" secara tepat dalam pola pendidikan. Pengawas seharusnya berperan atau diperankan sebagai "quality assurance", yang memastikan bahwa proses pembelajaran dan manajemen pendidikan berjalan dengan baik di sekolah. Untuk itu pengawas harus memiliki kemampuan membimbing dan memberi contoh kepada guru. Pengawas haruslah pihak pertama yang mengetahui dan memahami berbagai kebijakan dan inovasi pendidikan yang digelindingkan ke sekolah. Konsekuensinya, pengawas juga harus dipilih dari guru yang memiliki kompetensi baik, agar mampu menjadi model bagi guru di sekolah. (4) penyiapan calon guru di LPTK perlu ditata kembali. Kita beruntung, setelah guru mendapat tunangan profesi, minat masuk LPTK meningkat tajam. Di beberapa LPTK, rasio peminat dan yang diterima di LPTK sudah setara dengan jurusan favorit, misalnya Ekonomi dan Teknik. Sayangnya, meningkatnya minat masuk LPTK dibarengi dengan meningkatnya jumlah LPTK, sehingga harapan mendapatkan "bibit unggul" untuk menjadi guru terkontaminasi lagi. Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Guru, sebenarnya mengamanatkan agar pemerintah mengembangkan pendidikan guru berikatan dinas dan berasrama, untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan. Amanat tersebut sudah sangat maju, karena dengan pola itu, jumlah mahasiswa di LPTK akan terkendali (karena dengan ikatan dinas) dan pembinaan calon guru menjadi optimal (karena berasrama). Sudah saatnya Kemdikbud melaksanakan amanat tersebut. Pola ikatan dinas dan asrama tersebut diterapkan untuk Pendidikan Profesi Guru (PPG), selama satu sementer bagi guru TK dan SD dan satu tahun (dua semester) bagi guru SMP/SMA/SMK (PP 74 Tahun 2008). Dengan asumsi kebutuhan guru baru sekitar 60.000 orang dan separuhnya guru TK dan SD, dan ikatan dinas sebesar 20 juta per orang/tahun, diperlukan biaya Rp900 milyar pertahun. Jumlah yang tidak terlalu besar untuk menjamin pendidikan guru yang efisien dan bermutu, sebagaimana amanat UU Guru. Semoga. (*) ------------------ *) Penulis adalah Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) 2010-2014, Koordinator Pelaksana Uji Kompetensi Awal (UKA), Koordinator Penyelenggara Ujian Nasional (UN) Jatim, Penyusun Materi Pendidikan Karakter, dan mantan Ditjen Ketenagaan Ditjen Dikti Kemdiknas.
Setelah Uji Kompetensi Awal, Lalu Apa?!
Minggu, 25 Maret 2012 20:33 WIB