ILO Desak Gubernur Jatim Atur PRT
Rabu, 7 Maret 2012 19:53 WIB
Surabaya - Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organization (ILO) mendesak Gubernur Jawa Timur untuk mengatur pekerja rumah tangga (PRT) melalui pembuatan Pergub, SK Gubernur, atau Perda.
"Aturan itu tidak berarti ada upah yang standar untuk PRT, tapi ada aturan untuk pengakuan atas hak mereka, seperti jam kerja, jenis pekerjaan, hak cuti/libur, hak reproduksi, kontrak kerja, asuransi, hak pendidikan (PRT anak)," kata koordinator program ILO untuk Pekerja Migran, Muhammad Nour, di Surabaya, Rabu.
Ia mengemukakan hal itu dalam dialog interaktif "Problematika dan Solusi tentang PRT dan PRT Anak di Jatim" yang digelar ILO bersama SmartFM dengan pembicara lain Silvia Kurnia Dewi (KPPD), Dian Kustandari (Pusham Ubaya), dan Yuniarti (Bappeda).
Menurut Muhammad Nour dari ILO, peraturan untuk PRT itu harus menempatkan dinas tenaga kerja (Disnaker) sebagai "leading sector" penanganan PRT, sehingga majikan dan PRT harus berhubungan dengan Disnaker untuk pemanfaatan PRT.
"Dengan cara itu, Disnaker dapat mengatur penandatanganan kontrak kerja yang di dalamnya mengatur hak-hak PRT serta standar keahlian PRT untuk kepentingan majikan. Disnaker juga bertanggung jawab untuk memberlakukan pelatihan PRT di BLK (balai latihan kerja)," katanya.
Senada dengan itu, Silvia Kurnia Dewi dari Koalisi Perempuan Pro Demokrasi (KPPD) Surabaya menegaskan bahwa pengakuan hak PRT itu dijamin dalam Pasal 27 dan 28 UUD 1945, karena itu hubungan kerja antara majikan dan PRT harus diatur untuk mewujudkan hubungan kerja yang layak.
"Pemprov DKI Jakarta dan Jateng sudah memiliki peraturan daerah (Perda) untuk PRT, meski Perda PRT di Jakarta tidak efektif, namun Perda PRT di Jateng mengatur adanya kontrak kerja majikan dan PRT di depan pejabat Disnaker," katanya.
Bahkan, katanya, pemerintah India memiliki pengalaman dengan menetapkan standarisasi keahlian PRT hingga dinas terkait yang menanganinya menjadi rujukan dari majikan dan PRT untuk kepentingan kedua pihak.
Menurut Dian Kustandari dari Pusat Studi HAM (Pusham) Universitas Surabaya (Ubaya), pengaturan hubungan kerja antara majikan dan PRT itu aka dapat mengatasi hubungan yang tidak jelas di antara keduanya.
"Jangan sampai seperti hasil survei di tahun 2008 bahwa jam kerja PRT berkisar 12-14 jam, hak libur tidak ada, upah hanya Rp250 ribu perbulan atau bahkan PRT anak mendapat Rp150 ribu perbulan, dan kerentanan lainnya," katanya.
Menanggapi hal itu, Yuniarti dari Bappeda Jatim mengatakan peraturan dalam bentuk perda atau pergub agaknya masih sulit, karena pemerintah daerah itu merujuk pada UU di atasnya. "Kalau UU PRT tidak ada, maka daerah akan sulit mengatur sendiri, kecuali UU PRT sudah ada," katanya.
Namun, katanya, bukan berarti tidak ada celah sama sekali. "Tahun ini, kami akan mengatur PRT melalui Perda Perlindungan Perempuan dan Anak. Perda itu sudah ada, tapi kami akan memasukkan klausul tambahan tentang PRT," katanya.
Masalahnya, Perda itu hanya khusus PRT perempuan dan PRT anak perempuan dengan "leading sector" ada pada Badan Perlindungan Perempuan dan Anak Pemprov Jatim. "Tapi, mayoritas PRT dan PRT anak memang perempuan," katanya. (*)