Surabaya (ANTARA) - Dosen Cultural Studies Universitas Muhammadiyah Surabaya Radius Setiyawan menjelaskan fenomena maraknya publik figur (artis, pengusaha dan politisi) memperoleh gelar doktor, baik doktor honoris causa (HC) maupun doktor yang dicapai melalui proses akademik.
"Fenomena di atas merupakan upaya individu untuk memperkuat pengaruh dalam struktur sosial di masyarakat," kata Radius di Surabaya, Rabu.
Radius menjelaskan seorang sosiolog terkemuka, Bourdieu menyatakan bahwa untuk memperkuat posisi diri di masyarakat seseorang harus memiliki kapital. Kapital ekonomi meliputi kekayaan, sumber daya fisik, dan instrumen produksi yang dimiliki individu.
Kapital budaya dipahami sebagai akses individu terhadap pendidikan dan posisi mereka dalam struktur sosial. Sementara itu kapital sosial dipahami sebagai akses jaringan dan kapital simbolik merupakan pengakuan sosial yang menghasilkan kekuasaan simbolik.
Baca juga: Senat UM Surabaya tetapkan tiga nama calon rektor
"Dalam konteks pendidikan, usaha yang dilakukan oleh beberapa publik figur merupakan upaya untuk memperkuat kapital budaya," ujar Radius.
Dia memaparkan bahwa kapital budaya merupakan aset sosial yang dapat memengaruhi akses individu terhadap pendidikan dan posisi mereka dalam struktur sosial.
Fenomena di atas, kata Radius menegaskan betapa arena pendidikan menjadi ruang penting. Apa yang dilakukan oleh para publik figur merupakan hal yang wajar dan normal.
Tetapi akan menjadi masalah ketika dalam ptaktiknya menujukan gejala deotonomisasi dalam pendidikan. Meraih gelar akademik tidak lagi dibutuhkan modal spesifik yang ketat dan serius.
Modal sosial dan ekonomilah yang memegang peranan penting.
"Bisa jadi sedang terjadi konversi atau pertukaran modal ekonomi untuk mendapatkan modal budaya. Hal tersebut akan semakin mengukuhkan dominasi aktor dalam arena sosial. Ketika hal tersebut terjadi, bisa jadi akan mengancam ekosistem pendidikan kita. Kondisi yang tentu mengkhawatirkan,” kata Radius.