Bondowoso (ANTARA) - Hidup adalah perjalanan. Perjalanan dari tiada, mengada, kemudian kembali pada ketiadaan.
Lilik Rosida Irmawati, pensiunan guru yang juga sastrawan dari Kabupaten Sumenep, Madura, melalui perjalanan itu dengan selalu ingin memberi makna pada kemanusiaan dan peradaban, salah satunya lewat guritan pena berupa puisi.
Puisi-puisi Lilik itu dikumpulkan dalam buku berjudul "Sampai Ambang Senja".
Lewat puisi, ia mencatat dan memberi makna pada setiap kejadian yang dialami, dirasakan, atau disaksikan di sekitar ia menjalani kehidupan.
Karena, puisi-puisi dalam bukunya ini, Lilik tidak hanya bertutur puitis tentang Madura. Ia juga memuisikan fenomena yang ditemukan di Lumajang, Jatim, saat mudik mengunjungi sanak dan leluhurnya.
Ada juga di Jakarta yang inspirasinya diperoleh saat isteri dari sastrawan Madura Syaf Anton WR ini mengunjungi salah satu anaknya yang tinggal di ibu kota.
Selain mengabadikan fenomena sosial budaya, puisi-puisi perempuan kelahiran Jember dan besar di Kabupaten Bondowoso ini juga menjadi hadiah bagi dirinya yang telah mampu melewati etape-etape hidup hingga usia 60 tahun.
Hal itu diungkap Lilik saat bedah buku puisinya via zoom yang diselenggarakan oleh Genitri, komunitas belajar, bergerak, dan berbagi di Lawang, Kabupaten Malang, Rabu (11/9) malam.
Hadir dalam acara itu Hidayat Raharja, penulis asal Sampang, Madura, yang didapuk menjadi pembedah buku, Haerul, penggerak literasi nasional yang juga kepala sekolah menengah pertama di Kabupaten Bondowoso.
Acara yang dipandu oleh Iis Singgih, penulis yang juga Ketua Genitri, itu juga dimeriahkan dengan pembacaan puisi oleh Dahlan Husein dari Ternate, Ima Rismayati dari Yogyakarta, Nugroho Putu dari Jakarta, dan beberapa pembaca puisi dari Sumatera Utara dan Malang.
Hidayat Raharja menilai puisi-puisi Lilik ini tergolong unik karena menggunakan tubuh sebagai panggung ekspresi jiwanya. Puisi lahir dari gemuruh batin atau jiwa penulisnya.
"Ini adalah pergumulan antara lahir dan batin. Tubuh secara lahir terbangun dari rangkaian sistem organ yang melaksanakan fungsi fisik dan biologis, namun secara batin menanggung beban yang sarat dengan persoalan-persoalan kemanusiaan yang menggelayut," katanya.
Haerul, MPd, yang juga penulis puisi dan menempuh studi S3 bidang sastra di Unesa, menilai secara kaedah karya-karya Lilik ini memenuhi unsur sastra.
"Pemilihan diksi, keterampilan merangkainya sudah memenuhi karya kesastraan. Apa yang disampaikan dalam puisi adalah ekspresi dari penulisnya," kata aktivis Nahdlatul Ulama (NU) di Bondowoso ini.
Sementara itu, meskipun latar belakang peristiwa dari puisi-puisinya dipungut dari serakan-serakan yang tampil di kehidupan sehari-hari, misalnya tentang lelaki, sesungguhnya Lilik ingin menyuguhkan perjalanan spiritualitas jiwa yang telah membersamai tubuhnya hingga mencapai usia 60 tahun.
Pada puisi "Aku Hanya ingin Bersandar", ia mengemas rajutan perempuan pada lelakinya yang seolah hanya ingin bersandar di pundaknya.
Kemanjaan itu, sejatinya ia tujukan pada sang pemilik hidup. // Mas // Kemarilah sebentar // aku hanya ingin sejenak bersandar ke punggungumu // memastikan kau masih ada membersamaiku // karena hati dan jiwaku // demikian penuh oleh-NYA//.
Lilik mengutarakan, sebagaimana diuraikan dalam bedah buku, bahwa semua yang terjadi di alam semesta ini adalah penantian. Puisi-puisinya juga banyak bertutur tentang itu.
Seperti dalam "Menuju Keabadian". // Hanya yang tersisa // pias pucatmu serta // ragamu yang kerontang // keriput dan tulang-tulang mengeras // lalu binar mata perlahan redup // menuju keabadian //.
Kreativitas menulisnyapun merupakan pasel-pasel perjalanan bagi Lilik. Awalnya ia menulis cerita-cerita pendek, ketika dia masih sekolah, kemudian menulis esai, resensi buku dan laiinya.
Pada "ambang senja", ia jatuh cinta pada puisi.