Bagi masyarakat etnis Tionghoa, perayaan Imlek tidak hanya sekadar momen pergantian tahun, tetapi juga memiliki makna permohonan agar dalam setahun berikutnya memperoleh kesejahteraan, rezeki dan keberuntungan. Karenanya, beragam adat dan tradisi pun dilakukan oleh masyarakat Tionghoa dalam merayakan Imlek, seperti bersembahyang ke klenteng, melakukan penghormatan kepada para leluhur di rumah-rumah keluarga, maupun saling berkunjung ke sanak keluarga dan bersantap bersama. Sebagaimana tradisi yang juga dilakukan di berbagai agama lainnya. Keunikan tradisi masyarakat Tionghoa dalam merayakan Imlek, serta aneka penganan dapat ditemui di kawasan Pecinan, Surabaya. "Berbagai penganan khas masyarakat Tionghoa yang menjadi sajian khas Imlek antara lain kue pia, kue keranjang, muaco, lauwa, dan thong chiu pia," ucap manajer 'House of Sampoerna' Ina Silas selaku penyelenggara program tur Surabaya Heritage Track (SHT) 'Lunar Track' (20 Januari-19 Februari). Kue yang tidak hanya digemari oleh masyarakat Tionghoa, namun juga oleh masyarakat lokal dapat ditemui pada Toko Pia dan Chung Chiu Pia yakni Toko Kemenangan yang berada di kawasan Kembang Jepun, Surabaya. Toko pia yang telah berdiri sejak masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942-1945 di Surabaya itu didirikan oleh Tjoa Kie Hoo. Menjelang perayaan Imlek, toko Kemenangan menyediakan panganan khusus khas Imlek yaitu Nian Gao Yang atau yang lebih dikenal sebagai kue keranjang, sebuah penganan yang wajib disajikan tepat enam hari sebelum Imlek. Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, Cau Kun Kong atau Dewa Dapur yang dipercaya mengawasi dapur setiap rumah akan naik ke langit menemui Dewa Langit saat enam hari menjelang Imlek. Dengan mempersembahkan kue keranjang yang bercita rasa legit dan kenyal itu, diharapkan Dewa Dapur melaporkan hal-hal baik terkait perilaku manusia kepada Raja Langit. Klenteng tertua Setelah mempelajari filosofi penganan khas Pecinan, sebuah klenteng Khonghucu di Surabaya yang layak ditapaki adalah klenteng Boen Bio yang juga berada di kawasan Kembang Jepun, Surabaya. Klenteng ini didirikan atas inisiatif dua orang pemuka masyarakat Tionghoa di Surabaya, yakni Go Tik Lie dan Lo Toen Siong. Diresmikan pada tahun 1907, klenteng Boen Bio merupakan tempat para pelajar untuk mempelajari agama, kesusasteraan dan peradaban, sesuai dengan nama 'Boen Bio' yang berarti kesusasteraan atau peradaban. Menurut sejarah, perayaan Imlek dilatarbelakangi oleh kelahiran Nabi Khongcu, salah satu nabi dalam agama Khonghucu yang lahir pada tahun 551 SM. Pada zaman Dinasti Han, Kaisar Han Wu Di yang memerintah pada tahun 140-86 SM mengganti sistem kalendernya dan mengikuti anjuran Nabi Kongcu untuk memakai sistem Dinasti Xia. Untuk menghormati Nabi Kongchu, maka tahun kelahirannya ditetapkan sebagai tahun ke-1, menandai dimulainya perayaan Imlek oleh umat Konghucu. Saat momen Imlek, klenteng Boen Bio selalu mengadakan upacara King Thi Kong yang berarti sembahyang kepada Tuhan YME. Di kalangan orang Tionghoa di Indonesia, sembahyang ini dikenal dengan sebutan Sembahyang Tuhan Allah yang dilakukan dengan penuh kekhidmatan. Upacara sembahyang King Thi Kong ini termasuk salah satu rangkaian upacara pada perayaan menyambut Sin Cia (Tahun Baru Imlek) yang berlangsung selama 15 hari dari tanggal 1 - 15 bulan 1 penanggalan Imlek. "Tidak kalah menyenangkan adalah perjalanan ke Klenteng Hok An Kiong, klenteng tertua di Surabaya yang dibangun sejak tahun 1830 M," tutur Ina Silas, didampingi manajer Museum 'House of Sampoerna' Rani Anggraini. Awalnya, tempat beribadah umat Tri Dharma ini merupakan tempat persinggahan bagi pendatang dari Tiongkok. Umumnya, mereka datang dengan membawa serta patung Makcho, dewi pelindung para pelaut dan nelayan untuk disembahyangi di lokasi persinggahan. Lambat laun, kawasan itu berkembang menjadi pemukiman, sehingga dirasa perlu untuk membangun sebuah klenteng sebagai tempat ibadah dan penghormatan kepada Makcho atau Ma Cou Po. Saat momen perayaan Imlek, klenteng ini melakukan perayaan Bwee Gee. Dalam perayaan tersebut, umat Tri Dharma menggelar sembahyangan untuk memohon kesejahteraan, kesehatan, serta mendoakan bangsa dan negara agar menghargai keberagaman dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu, perayaan Bwee Gee juga merupakan ungkapan syukur umat Tri Darma terhadap bumi yang merupakan wadah berbagai elemen hidup yang menghidupi manusia, seperti air, udara, tanaman, dan hewan. Rumah abu Perjalanan yang juga ada historis dalam kaitan Imlek adalah menapak ke rumah abu keluarga Han yang terletak di Jalan Karet, Kembang Jepun, Surabaya. Rumah abu ini didirikan oleh Han Bwee Ko, keturunan ke-6 keluarga Han, pada abad ke-18. Sejarah rumah abu Han di Surabaya diawali dengan kedatangan Han Siong Kong ke Indonesia pada tahun 1673. Salah satu keturunannya Han Bwee Koo datang ke Surabaya dan diangkat menjadi Kapiten der Chineezen yaitu wakil pemerintah kolonial Belanda untuk menjadi pemimpin orang-orang Tionghoa di Surabaya. Ia lalu mendirikan rumah di Chineezen Voorstraat yang sekarang bernama Jalan Karet. "Rumah tinggal inilah yang kemudian menjadi rumah abu keluarga Han," papar Ina Silas. Rumah abu merupakan bangunan yang didirikan oleh keluarga semarga dan digunakan sebagai rumah sembahyang untuk menghormati leluhur. Walaupun disebut rumah abu, namun sebenarnya di dalam rumah ini tidak tersimpan abu, melainkan terdapat sinchi (papan arwah). Selain itu, di dalam rumah abu keluarga Han ini dapat dilihat pula silsilah keturunan keluarga Han Siong Kong sampai dengan keturunan yang ke-7. Saat ini, keturunan keluarga Han sendiri telah mencapai generasi ke-10. Meskipun rumah ini tidak digunakan untuk rumah tinggal, rumah abu ini masih digunakan untuk menyelenggarakan upacara maupun sembahyangan untuk menghormati leluhur. Misalnya, setiap tanggal 1 bulan 1 dilakukan Cia Gwee Che It yakni seluruh anggota keluarga akan bersembahyang kepada para leluhur di rumah abu, kemudian melakukan Bai Nian, yaitu mengucapkan selamat tahun baru. (*)
Menapak Memori dan Tradisi Imlek di Surabaya
Jumat, 20 Januari 2012 10:20 WIB