Malang (ANTARA) - Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan (Fikes) Universitas Brawijaya (UB), Malang, Dr NS Lilik Supriati mengemukakan bahwa keberadaan stressor tidak serta merta atau langsung memunculkan burnout.
"Munculnya burnout berhubungan dengan bagaimana kemampuan penilaian individu terhadap stressor," kata Lilik Supriati dalam orasi ilmiah Dies Natalis ke-61 Universitas Brawijaya (UB) di kampus setempat, Jumat.
Penilaian ini, katanya, merupakan sistem evaluasi tentang kemaknaan suatu peristiwa yang akan menentukan arti berbeda-beda bagi setiap individu dalam menyikapinya.
Ia mengatakan burnout di ranah perguruan tinggi menyebabkan penurunan kinerja dan bisa berdampak pada stres berat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dalal Hammoudi 2023, kata Lilik, gejala burnout terjadi pada mahasiswa, dosen maupun tenaga kependidikan sekitar 30 persen.
"Solusinya bukan meninggalkan pekerjaan, namun proses penilaian terhadap stressor kerja inilah yang menjadi kunci psikologis untuk memahami upaya strategi dalam mengatasi stres," ujarnya.
Lilik memaparkan gejala burnout didahului oleh tiga hal. Pertama, kelelahan fisik, selalu merasakan kekurangan energi, penurunan motivasi, dan merasa lelah sepanjang waktu.
Kedua, mengalami kelelahan emosional, depresi, perasaan tidak berdaya, dan merasa terperangkap dalam pekerjaan.
Ketiga, sering menunjukkan kelelahan sikap, mulai muncul sikap sinis dan negatif terhadap orang lain dan pekerjaan.
"Dampaknya akan merugikan diri sendiri, institusi dan kehidupan pada umumnya. Kondisi ini juga mengakibatkan capaian prestasi rendah dan penurunan kinerja bagi institusi," katanya.
Menurut dia, burnout di tempat kerja memunculkan ketidakpuasan. Faktor pertama bisa terjadi karena bekerja terlalu keras, mengorbankan kehidupan pribadi dan tidak dapat apresiasi di pekerjaan.
"Maka, perguruan tinggi harus melakukan kegiatan untuk meningkatkan spiritual, finansial, membuat program promosi kesehatan dan komunitas," ujarnya.
Selain itu, katanya, perlu penghargaan yang pantas dan apresiasi pada kinerja yang dilakukan oleh sivitas akademi.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Dies Natalis ke-61 UB, Prof Dian Handayani menjelaskan tema yang diangkat dalam kegiatan ini adalah "Sehat Bermartabat".
Untuk mendukung makna sehat bagi sivitas akademika, dalam kegiatan ini dilakukan skrining kesehatan bagi dosen bergelar profesor, tenaga pendidik dan pimpinan.
SDM adalah aset UB, sehingga diharapkan tidak mengalami burnout dan kelelahan kerja, karena tidak punya waktu buat diri sendiri.
Sementara itu, Rektor UB Prof Widodo menyampaikan berdirinya rumah sakit pendidikan tidak hanya sekedar untuk mengobati pasien, namun menjadi institusi yang bisa merespons isu-isu kesehatan global, termasuk stunting dan diabetes.
“Perguruan tinggi diberi amanah untuk mengembangkan keilmuan di bidang kesehatan. Lewat Rumah Sakit Pendidikan, nantinya berisi riset-riset yang bisa melakukan terapi dan diagnosis yang teknologinya belum ada dan in lining dengan SDM dan para profesor,” katanya.
Mantan Dekan FMIPA tersebut menambahkan perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk mengembangkan SDM yang memahami bidang riset, khususnya sains dasar. "Oleh karena itu UB akan merespons dengan membuka program studi (Prodi) material science dan the future science," ucapnya.*