Oleh Ayu Citra Sukma Rahayu Surabaya - Setiap dua tahun sekali Pemerintah Pusat mengkaji tarif jalan tol di beberapa ruas di penjuru Nusantara. Desain kenaikan tarif jalan tol pun memiliki batas bawah hingga atas karena kebijakan tersebut disesuaikan dengan besaran Indeks Harga Konsumen/IHK (inflasi) yang terjadi pada periode itu. Akan tetapi, penaikan tarif tol banyak menuai pro-kontra dari sejumlah masyarakat mulai kalangan menengah bawah maupun atas. Pada umumnya, mereka menilai kenaikan tarif jalan tol hanyalah kebijakan yang seolah dipaksakan tanpa memperhatikan kualitas infrastruktur yang tak pernah berhenti menghubungkan tempat satu dengan lainnya. "Kenaikan tarif tarif jalan tol sah-sah saja dilakukan kapan pun," kata pengguna jalan tol asal Surabaya, Irma Hari Trisiawardhani. Namun, katanya, sejauh ini kebijakan tersebut belum diimbangi adanya realisasi penambahan fasilitas sampai perbaikan kualitas jalan tol. Apalagi, masih ditemukan banyak jalan tol dengan kondisi aspal yang terkelupas. Perempuan yang malang-melintang dari satu kota ke kota lain itu mencontohkan salah satunya ruas jalan tol yang menghubungkan Solo dan Semarang. Di jalan tol tersebut pengguna infrastruktur itu akan melewati jalan bergelombang dan beberapa di antara ruas itu aspalnya terkelupas. Kalau di Surabaya, sampai sekarang kondisi ruas jalan tol tetap bagus seperti Tol Surabaya - Gempol. Sementara, ketika melewati jalan tol dengan kondisi yang bergelombang mayoritas pengguna jalan mengemudi dengan kecepatan rendah sekitar 80 kilometer per jam. Padahal, tiap melintas di jalan tol umumnya sopir bisa mengemudi dengan kecepatan sedang atau hingga 120 kilometer per jam. "Terus terang saya khawatir ban mobil yang saya kendarai tiba- tiba bocor atau mengalami kerusakan lain. Apalagi, di jalan tol sangat susah mencari bengkel atau tukang tambal ban," ucapnya. Sementara itu, terkait dengan penerapan kenaikan tarif jalan tol di ruas Surabaya - Gempol, Kepala Cabang PT Jasa Marga Surabaya - Gempol, Agus Purnomo, membenarkan, penyebab kenaikan tersebut adalah penyesuaian dengan inflasi. Bahkan, dipengaruhi biaya tenaga kerja, dan harga aspal. Per 7 Oktober 2011, penyesuaian tarif jalan tol baik di Surabaya maupun secara nasional memiliki formula tarif baru yakni tarif lama (1 + inflasi). Di samping itu, latar belakang kebijakan Menteri Pekerjaan Umum memberlakukan kenaikan tarif jalan tol salah satunya bertujuan mengembalikan nilai yang menurun akibat tergerus inflasi. Persentase kenaikan 2011 di beberapa ruas jalan tol berkisar mulai 5,9 persen hingga 25 persen dengan angka pembulatan Rp500. Namun, dua ruas jalan tol dari 14 ruas yang dinaikkan tarifnya angka pembulatannya tidak mencapai Rp500 atau kurang dari Rp250. Tarif baru itu ditetapkan Menteri Pekerjaan Umum dengan besaran tarif awal ditetapkan pada saat penandatangan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT). Kemudian, dilakukan penyesuaian setiap dua tahun yang diatur dalam PPJT antara pemerintah dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) atau para operator/kuisioner. Untuk di ruas jalan Tol Surabaya - Gempol, ia merinci, penerapan tarifnya meningkat menjadi Rp3.000 bagi kendaraan golongan ,I dan Rp3.500 per unit kendaraan golongan II. "Di sisi lain, kenaikan tarif tol tersebut juga dipicu oleh biaya pemeliharaan pada tahun 2011 untuk pengerasan aspal sepanjang tujuh kilometer," ujarnya. Terkait dengan pengaruh kenaikan tarif jalan tol terhadap inflasi, Peneliti Ekonomi Madya Senior Kantor Bank Indonesia Surabaya, Soekowardojo, menilai, bobot kenaikan tarif tol di keranjang inflasi hanya 0,01 persen, sehingga untuk setiap kenaikan tarif jalan tol sebesar 10 persen hanya berdampak langsung terhadap inflasi Jatim sebesat 0,1 persen. Kalau dampak tidak langsungnya, yaitu jika kenaikan tarif tol itu diakomodasikan oleh sektor angkutan. Salah satunya dengan bobot angkutan dalam dan luar kota dalam basket inflasi sebesar 1,66 persen akan memberikan dampak tidak langsung terhadap inflasi. Besarnya dampak tidak langsung, sampai sekarang tergantung dari berapa besar kenaikan tarif angkutan yang disebabkan oleh kenaikan tarif tol. "Saya optimistis, kenaikan tarif tol di Surabaya tidak akan mendorong kenaikan inflasi secara signifikan," katanya. meyakinkan. Cari Untung Masih dikatakan Soekowardojo, terkait dengan estimasi besaran inflasi pada tahun ini di Jatim, Bank Indonesia (BI) memperkirakan daerah ini berada di posisi antara 4 persen hingga 6 persen meskipun pada awal tahun sempat memproyeksikan angkanya bisa melebihi 5 persen. Akan tetapi, pihaknya optimistis sesuai perkembangan terakhir di provinsi ini maka prediksi inflasi Jatim tahun 2011 di bawah 5 persen. Menyikapi kondisi tersebut, Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Jawa Timur, Said Utomo, mengurai penerapan tarif jalan tol di Indonesia tidak akan pernah mencapai sosok ideal atau kepuasan yang diharapkan masyarakat selaku konsumen. Alasannya, selama ini pembangunan jalan tol selalu menggunakan anggaran secara maksimal, namun kualitas yang disuguhkan kepada masyarakat sangat minim. Bahkan, setiap tahun konsumen sering mengeluhkan semakin rendahnya mutu pelayanan pemerintah melalui ketersediaan ruas jalan tol nasional yang memadai dan sesuai keinginan pasar transportasi di Tanah Air. Padahal, kenaikan tarif jalan tol sulit terelakkan per dua tahun sekali dengan mengukuhkan inflasi sebagai faktor penyebab utama penyesuaiannya. Sampai saat ini, masyarakat menilai kualitas ruas jalan tol berbeda dengan jalan umum sehingga masih menimbulkan kemacetan arus lalu lintas di berbagai ruas jalan. Sementara, kenaikan tarif jalan tol juga menambah beban ekonomi masyarakat secara nasional termasuk mengakibatkan inflasi pada masa mendatang. Di lain pihak, kenaikan tarif tol juga berimbas terhadap kinerja sejumlah pengusaha di Indonesia. Mereka sebagai kaum elite baik pemerintah maupun penanam modal jalan tol ditengarai mencari untung. Bahkan, perolehan untung tersebut mempunyai agenda menahun yakni setiap dua tahun sekali. Di sisi lain, ia khawatir, kenaikan tarif jalan tol hanya menjadi alat pemerintah terutama jelang "reshuffle" kabinet. Hal tersebut juga terjadi pada tahun 2009 di mana saat itu kenaikan tarif tol dilakukan menjelang perombakan kabinet. "Jangan sampai kenaikan tarif tol merupakan kebijakan yang dibuat secara sengaja untuk mencapai target pendapatan negara, sehingga mengorbankan rakyat," ujarnya. Mengenai perencanaan pembangunan jalan tol di Tanah Air, sampai sekarang masih menimbulkan kemacetan dan bukan berdasarkan estimasi integrasi pembangunan jangka panjang. Keberadaan pembangunan jalan tol di penjuru Nusantara seolah- olah memiliki konsep seperti syair lagu nasional yakni "...sambung - menyambung menjadi satu itulah Indonesia...". Dengan kata lain, belum adanya solusi terkait dilema kenaikan jalan tol semakin memunculkan banyak argumen masyarakat bahwa pembangunan jalan tol merupakan wujud eksistensi pemerintah sekadar menyambung Negara Kepulauan. (*)
Tarif Tol Antara Dilema dan Cari Untung
Minggu, 16 Oktober 2011 9:22 WIB
