Oleh Asmaul Chusna Kediri - Seni batik adalah salah satu warisan budaya yang menjadi identitas seni dan budaya dari Indonesia. Sudah menjadi ciri khas tersendiri, batik adalah produk asli Indonesia, terlebih lagi, Unesco juga sudah menetapkan jika batik adalah warisan budaya dunia asli dari negeri ini. Suatu kebijakan yang harusnya ditanggapi dengan baik oleh anak negeri, terutama untuk menciptakan kreasi dan seni dari batik. Bahkan, harusnya batik mampu mengangkat karifan lokal, hingga generasi muda pun, mengetahui tentang peninggalan budayanya. Itulah, setidaknya sekelumit ide yang ada di pikiran Adi Wahono, salah seorang perajin batik asal Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Berbekal kesukaan akan seni dan pelajaran membatik dari sang nenek, Adi berusaha untuk mengangkat kearifan lokal Kabupaten Kediri, dengan menciptakan motif-motif baru dari ornamen candi yang ada di kabupaten. "Ini menjadi kreasi tersendiri. Banyak ornamen candi di kabupaten ini yang menarik, hingga sangat bagus jika dipadu untuk dijadikan motif di batik," katanya saat ditemui di rumahnya. Ia mengatakan, upaya menciptakan kreasi baru dengan berbagai motif baru yang dipadu dengan motif tradisional dari batik adalah salah satu langkah untuk menjawab tantangan dengan mengangkat kearifan budaya lokal. Dengan perpaduan motif batik itu, tentunya akan menambah keragaman motif Nusantara dan bisa menjadi identitas tersendiri dari suatu daerah. Adi mengatakan, sudah melakukan survei di seluruh situs dan candi yang ada di Kabupaten Kediri, dan ia memilih ornamen di Candi Tegowangi, Kecamatan Plemahan untuk menjadi motif di batik yang ia buat. Secara umum, candi ini memiliki ornamen dengan bentuk unik serta dikerjakan secara mendetail dan teliti. Secara historis, candi ini dibangun oleh Kerajaan Majapahit pada 1400 Masehi, masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Menurut Kitab Pararaton, candi ini adalah "Pendharmaan" pada Raja Bhre Matahun yang meninggal pada 1388 Masehi dan didharmakan pada 1400, setelah melalui upacara "Sradha". Ia menilai, candi ini pantas diapresiasi menjadi bagian peninggalan zaman kejayaan kerajaan Majapahit sebagai salah satu kerajaan besar dan sebagai aset dari pemerintah, terutama Jawa Timur. Dalam upaya apreasiasi itu, Adi memanfaatkan motif "Sawung Tunjung Tejayama", yang dalam bahasa kawi, sawung artinya ayam jantan (jago), tunjung artinya bunga teratai atau lotus, dan tejayama artinya cahaya atau sinar yang memancar indah. Ia menyebut, ornamen pokok dalam motif ini adalah ayam bekisar jantan dan bunga teratai putih yang dalam istilah Jawa Hindu disebut "Kumuda". Namun, ia menambahkan ornamen tambahan yaitu teratai merah yang disebut "Padma" dan ornamen ragam hias "Pinggir Awan", yang keduanya merupakan relief di Candi Tegowangi. Warna-warna yang ditampilkan pada motif ini, kata dia, tetap mengacu pada karakter batik gaya Jawa Timur, yang pada umumnya menggunakan teknik "colet" atau "dulit" warna-warna kontras yang dipadu dengan teknik celup pada latarannya. Menurut dia, "coletan" atau "dulitan" warna-warna kontras adalah simbol karakter masyarakat Jatim yang pada umumnya cenderung semangat, terbuka, dan tegas. Sedangkan, warna lataran yang cenderung gelap mencerminkan karakter yang bersahaja, lugas, dan apa adanya, baik dalam ucapan maupun sikapnya. Ia menyebut, motif batik "Sawung Tunjung Tejamaya" ini mengandung maksud sebagai penggambaran keagungan dan keindahan yang terpancar dari isinya. Sawung menyimbolkan kejantanan dan rasa tanggung jawab. Bentuk teratai merah, yang ia tampilkan, untuk mahkotanya ada empat helai yang digunakan sebagai ornamen pelengkap, atau tambahan bidang-bidang kosong. Warna merah ini diambil seperti yang dikehendaki oleh para arsitek candi di masa lampau bahwa teratai yang dipahat dengan bentuk mekar sempurna adalah simbol teratai merah, hingga ia tetap mempertahankan dan menampilkan untuk lebih menguatkan eksistensinya. Motif lain, lanjut dia, ornamen "Pinggir Awan", dimana di berbagai daerah dalam seni pahat atau ukir, seni batik, seni tenun, maupun seni lainnya dikenal dengan bentuk dasar garis bergelombang memanjang dan sederhana. Ia melihat ada yang beda saat melihat ornamen yang ada di Candi Tegowangi, karena lebih detail dan unik yang jarang tidak ditemukan pada candi-candi lain ataupun ornamen pinggir awan pada umumnya. "Ornamen ini ditampilkan dengan bentuk garis bergelombang dan diisi sulur-sulur yang menjuntai keluar dari sela-sela tiap cekungan (lekuk) dan dikerjakan dengan detail, teliti, dan indah. Jadinya, saya aplikasikan ini ke dalam motif batik," ucap pria lulusan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini. Untuk menambah unik lagi batik yang ia buat, Adi menambahkan ornamen "lidah api" dan "beras wutah". Api sebagai simbol masyarakat di Jatim yang selalu semangat dan mempunyai jiwa patriotik yang tinggi, dan diberi hiasan berupa "beras wutah". Beras wutah, kata dia, sebagai simbol kemakmuran dan murah pangan. Banyak naskah kuno yang menyebutkan, jika Jatim sebagai lumbung padi, dimana hasil produksinya melimpah, hingga rakyatnya juga makmur. Adi mengatakan, ia memamg masih baru konsentrasi pada kerajinan membuat batik ini. Tetapi, ia sudah tidak asing lagi, karena sudah lama mengenal batik. Ia belajar membuat batik dari sang nenek, yang rumahnya di Blitar. "Dulu belajar sama nenek, tiap kali liburan ke rumah nenek di Blitar, jadi sudah tidak asing lagi, karena darah seni juga mengalir ke saya," ucapnya. Walaupun neneknya seorang perajin batik, setelah lulus dari Unesa, ia tidak langsung mengikuti jejak neneknya membuat batik. Ia terjun di dunia desain interior. Pekerjaan itu ia tekuni hingga 10 tahun, hingga akhirnya ia pulang ke rumah orangtuanya di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. "Saya masih baru merintis usaha ini sejak 2010 lalu. Saat itu, ada lomba membuat batik di kabupaten, dan saya ditunjuk oleh Camat sebagai perwakilan dari daerah sini, dan saya menang tiga kategori," paparnya. Prestasi itu, lanjut dia, adalah di desin batik kategori fauna menjadi juara satu, juara dua desain batik kategori bebas dan juara dua desain batik kategori flora. "Prestasi ini mendorong saya untuk lebih giat terjun di dunia batik tulis. Saya cukup mendapat peluang, dan pemerintah pun memberi apreasiasi," tuturnya, mengungkapkan kisahnya. Batik Tanpa Identitas Di Kabupaten Kediri, kata dia, perajin batik memang ada banyak, tapi jarang yang yang mempunyai identitas khusus, terlebih lagi yang mengangkat potensi daerah. Batik tulis yang ada pun, proses pembuatannya tidak terlalu halus, hingga tidak banyak dilirik oleh pasar. Bahkan, untuk tenaga kerja pun, ternyata banyak yang memanfaatkan pekerja dari luar daerah, seperti dari Lamongan, yang memang terkenal dengan batiknya. "Untuk pekerja rata-rata diambil dari luar daerah. Proses pembelajaran sangat membutuhkan ketelatenan, hingga bisa menghasilkan batik yang bagus," ucap pemilik seni batik tulis "Citaka Dhomas" ini. Ia memang pernah memberi pembelajaran proses pembuatan batik, dengan menggunakan malam atau lilin, tetapi hasilnya masih kasar. Untuk itu, ia memutuskan jika ada pesanan khusus, ia akan mengerjakan sendiri, sementara untuk mereka yang mengambil hanya ketika ada pesanan dalam jumlah banyak. Di kabupaten ini, menurut dia, belum melihat adanya perajin yang mempunyai kebijakan untuk mengangkat kearifan lokal dengan memanfaatkan situs ataupun candi bersejarah untuk dibuat motif. Untuk itu, ia berencana mematenkan motif yang ia ambil dari Candi Tegowangi. Saat ini, upaya itu masih dalam proses. "Cukup mahal juga untuk mematenkan motif, bisa sampai Rp2 juta. Itupun, hingga kini belum selesai," ucapnya dengan nada resah. Sri Anik, perajin batik lainnya mengatakan memang selama ini ia lebih dominan memanfaatkan motif-motif batik yang sudah ada, seperti teratai. Ia dominan menggunakan motif bunga, karena memang banyak yang mencari. "Kalau mengambil motif dari ornamen candi, saya masih upayakan. Saat ini, masih terus mencari kreasi," tukas perajin batik tulis dan "panting" Teratai asal Dusun Dadapan, Desa Sumberejo, Kecamata Ngasem, Kabupaten Kediri ini. Ia menuturkan, profesi membuat kerajinan ini ia mulai sejak 2004 lalu, tapi hanya "panting" atau membuat lukisan. Ia baru terjun ke dunia batik tulis pada 2009 lalu, setelah mengikuti program membuat kerajinan yang diselenggarakan oleh PKK Kabupaten Kediri. Kreasi ini, awalnya ia belajar dari rekannya yang kuliah di IKIP Negeri Malang (sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Malang, red). Ia belajar membuat gambar, pola, hingga ia kemudian nekat membuka usaha sendiri, dan berlanjut hingga sekarang. Kurang Pemasaran Potensi penjualan batik asal Kabupaten Kediri, ini sebenarnya cukup bagus. Banyak para peminat yang tertarik dengan pola-pola batik yang dibuat para perajin ini. Tetapi, karena kurangnya promosi untuk pemasaran, penjualan pun sampai saat ini masih terbatas. Adi, perajin batik asal Desa Menang mengatakan batik yang ia buat masih mencukupi kebutuhan lokal saja. Padahal, potensi untuk dijual ke luar daerah juga cukup besar. Untuk promosi pun, ia selama ini juga belum maksimal. Selain memanfaatkan kegiatan pameran yang dilakukan pemerintah, ia juga masih menitipkan barang-barang jualannya di sejumlah butik batik di wilayah Kota dan Kabupaten Kediri. Menurut dia, sebenarnya untuk produksi tidak ada masalah. Untuk satu batik, ukuran 2,25 meter atau 2,50 meter, ia bisa selesaikan hanya dalam waktu tiga hari. Ia juga bisa mempekerjakan orang lain untuk membantunya. Harga yang ia tawarkan juga terbilang sesuai, karena tingkat kerumitan dan kehalusan dari batik yang ia buat, yaitu antara Rp150 ribu hingga Rp800 ribu per batik ukuran 2,25 meter atau 2,50 meter. "Selama ini hanya mengandalkan dari pameran atau pesanan saja. Kalau pameran, kadang yang ke luar Jawa, hanya dibawa barangnya saja, dan tentunya tidak bisa nego jika sudah begitu. Harapannya, pemerintah bisa lebih membuka akses agar kami, para perajin batik ini bisa meluaskan usaha," katanya, berharap. Ia juga berharap, para pengrajin seperti dirinya ini akan dimudahkan dalam proses pembuatan izin dagang maupun bantuan modal. Terlebih lagi, motif batik yang ia buat juga untuk melestarikan budaya. "Kalau kesulitan tentunya modal dan sumber daya manusia (SDM) yang utama. Rencananya mau mengembangkan usaha ini, tapi, masih mencari tenaga-tenaga yang mau dan telaten," ucapnya. Begitu juga dengan yang diungkapkan oleh Anik. Batik tulis dan "painting" yang ia buat, masih untuk mencukupi kebutuhan lokal saja. Untuk yang ke luar, ia masih mengandalkan pameran yang diselenggarakan pemerintah. Anik mengatakan, omzet yang ia dapatkan dari usaha ini sebenarnya cukup tingi. Satu bulan, ia bisa mendapatkan uang hingga Rp4 juta hanya dari menjual batik dan "painting" ini. Perempuan yang juga staf Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kecamatan Gurah, ini berharap, pemerintah lebih perhatian untuk pengembangan kerajinan batik ini, pemerintah lebih mempermudah, terutama untuk membuka jaringan dan memberikan bantuan modal. Kurangnya promosi tentang batik asal Kabupaten Kediri ini juga diamini oleh kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kediri. Mereka menilai, keberpihakan pemerintah masih kurang, dengan masih mempersulitnya untuk akses mendapatkan izin dan bantuan modal. "Selama ini, pemerintah belum menggarap secara khusus untuk batik dari kabupaten. Harusnya, pemerintah melakukan binaan, dengan tidak mempersulit untuk proses pembuatan izin, memperluas akses modal, dan pasar, hingga bisa berkembang," ulas anggota DPRD Kabupaten Kediri, Dina Kurniawati. Sementara itu, Pelaksana Tugas Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kabupaten Kediri, Edhi Purwanto mengatakan pemerintah sebenarnya sudah berupaya untuk mencari jalan keluar agar batik khusus kabupaten ini lebih dikenal dan diproduksi dalam jumlah lebih banyak. "Saat ini, kami sedang melakukan pembinaan khusus, termasuk kerja sama dengan salah satu universitas di Surabaya untuk penggunaan canting elektrik," papar Edi. Menyinggung tentang dana, ia mengatakan pemerintah sudah memberikan alokasi untuk kredit Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM). Mereka bisa mengajukan, asalkan memenuhi ketentuan seperti masalah perizinan dan syarat-syarat lainnya. Jumlah perajin batik asal kabupaten juga tidak terlalu banyak, hanya sekitar delapan orang. Tetapi, yang banyak adalah jumlah pekerjanya. Sayangnya, mereka kebanyakan bukan orang dari kabupaten, melainkan diambilkan dari luar daerah, seperti dari Pekalongan. Hingga saat ini, pemerintah juga tidak mempunya data resmi tentang perajin batik. Pemerintah menyebut, usaha mereka ini sebagai nonformal, karena tidak tercatat secara resmi di pemerintah.(chusna05@yahoo.co.id)
Berita Terkait
Festival Rujak Otek di Lumajang angkat kearifan lokal, pikat wisatawan
14 Juli 2024 22:21
Parade budaya Pemkab Jember dan Jembrana angkat kearifan lokal
13 Mei 2023 21:10
TNI angkat budaya kearifan lokal saat penutupan TMMD
9 Agustus 2019 00:15
Movenpick Hotel Surabaya City lestarikan warisan budaya melalui batik
9 Oktober 2025 18:17
Cargill dan Penala Samahita Parmadi berdayakan wanita melalui tata kelola usaha batik
22 September 2023 21:13
Pertamina Hulu Energi perluas pasar UMKM Jatim melalui daring
21 Mei 2022 07:19
FIK Ubaya lestarikan cerita Panji melalui 38 ragam desain batik
19 Januari 2022 15:24
Puluhan Mahasiswa Asing Belajar Kerajinan Batik Melalui "SuraBali"
18 Juli 2018 18:46
