Surabaya (ANTARA) - Marini Wulandari merasa tidak lagi memiliki masa depan ketika seorang dokter mengungkapkan adanya penyakit yang dia derita dan harus dilakukan operasi. Operasi ini bukan biasa, karena dia harus merelakan empat organ tubuhnya dipotong.
Karena operasi pula, ia rela membuang jauh cita-citanya menjadi perawat. Ia terpaksa berhenti kuliah di tengah jalan. Beruntung ia mengenal komunitas yang mengajak anggotanya selalu positif memandang kehidupan.
Ia juga beruntung mengenal sosok perempuan tegar, Naning Pranoto, penulis dan aktivitas literasi yang banyak mengasuh pembelajaran menulis untuk sarana terapi.
Di sela-sela operasi, menunggu di lab, menunggu panggilan dokter, dan lainnya, ia manfaatkan untuk menuangkan ide yang berkecamuk di pikirannya. Dengan menuangkannya ke dalam tulisan, puisi atau cerita pendek, Marini tidak hanyut dalam penderitaan. Penderitaan justru ia manfaatkan untuk tetap menghasilkan karya.
Meskipun sempat mengalami rasa tidak aman setelah operasi, Marini mampu bangkit dan membuktikan bahwa kehilangan sebagian organ tubuh tidak menghalanginya untuk berkarya dan memberi manfaat bagi orang banyak.
Agar metode menulis untuk terapi itu betul-betul berdampak maksimal bagi pengelolaan jiwanya, ia menuangkan ide cerita dalam cerpen maupun puisi dengan menggunakan coretan tangan di kertas.
Dengan menulis menggunakan coretan tangan pada kertas, membuat otak dan pikiran bawah sadar juga bekerja, sehingga pelakunya menjadi terkurangi beban jiwanya. Lewat cara itu, Marini kemudian merasa plong dan menerima keadaan diri dengan apa adanya.
Cita-cita menjadi perawat kandas bukan akhir segalanya. Marini juga mampu membuktikan bahwa pemotongan organ tubuhnya ia tetap produktif. Selain aktif menulis, kini ia juga punya usaha kerajinan buket rangkaian bunga atau daun.
Naning Pranoto, perempuan yang telah lama aktif menulis, hingga mengembangkannya untuk membantu orang lain bangkit dari keterpurukan adalah motor penggerak dari mereka yang tersangkut dengan penderitaan kemudian menerapi diri lewat menulis.
Naning Pranoto sendiri pernah menjalani operasi pemotongan 5 organ tubuhnya, hingga pernah muncul rasa frustasi bahwa hidupnya akan berakhir. Lewat menulis, ia bangkit dan terus menebarkan cahaya semangat kepada banyak orang.
Mereka yang memilih Naning sebagai mentor, berkumpul dalam sebuah komunitas bernama "Kusuma Putih" atau "Kupu". Mereka rajin menjalin komunikasi untuk saling menyemangati bahwa hidup begitu berharga untuk hanya diratapi. Agar memberi makna lebih luas, mereka menerbitkan cerita dari kisah hidupnya dalam bentuk buku.
Mari kita simak kisah penyintas lainnya yang mampu bangkit setelah mereka tekun menuangkan ide dan pengalaman hidupnya dengan menulis.
Septya Danas, ketika masih kuliah sangat aktif dalam berbagai kegiatan, termasuk ketika ke dunia. Sampai akhirnya fisiknya drop dan sakit. Lewat sakit, ia merenung dan menemukan jawaban bahwa itulah saatnya mengistirahatkan tubuh kemudian menulis.
Devi Cha Cha, yang bekerja di satu korporasi, kemudian mendapatkan promosi sebagai supervisor di usia 25 tahun. Ia tertekan karena membawahi orang-orang dengan usia 50 tahun.
Karena tidak mampu mengelola jiwanya, ia sempat stres dan terpikir untuk bunuh diri. Ia teringat pesan orang tua angkatnya saat menjadi guru relawan di Sulawesi Tengah agar hidup tidak boleh mundur.
Ia kemudian menemukan jalan bertemu dengan komunitas Kupu dan terlibat di dalamnya. Devi merasa lega setelah menuangkan semua pengalaman jiwanya ke dalam tulisan. Ia masuk ke kondisi plong atau lega yang luar biasa.
"Saya lega bisa berbagi solusi dan menemukan makna dari pengalaman kehidupan yang gelap kemudian menjadi terang dan membuat orang lain juga terang," kata perempuan lulusan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu.
Sementara, Siska Susantrin memiliki pengalaman pahit ketika ditinggal mati suaminya. Ia sulit untuk bangkit karena selama bersama dengan sang suami ia menjalani kebersamaan yang sangat indah.
"Meninggalnya suami saya itu sangat mendadak, sehingga sangat berat bagi saya," kata perempuan yang sebelum bergabung dengan Komunitas Kupu itu sudah sering menulis di berbagai media.
Siska bercerita bahwa sebelumnya ia banyak menulis dalam berbagai tema, namun tidak pernah menulis mengenai sisi-sisi pribadinya. Lewat komunitas yang digagas oleh Naning Pranoto ini, ia memiliki kesempatan untuk menulis apa yang dirasakan dalam kehidupannya.
Ketika mencoba menuangkan pengalaman batinnya lewat tulisan, ia kemudian menyadari bahwa keadaan yang dihadapi seharusnya dipenuhi dengan rasa syukur. Anak-anak yang awalnya ia khawatirkan, justru jiwanya lebih kuat menghadapi kenyataan hidup ditinggal ayahnya.
Dengan menuangkan semua kegundahan jiwanya lewat tulisan, kini Siska menjadi lega, termasuk ketika mampu berbagi semangat dengan orang lain lewat tulisannya.
Hidayat Abdullah, yang juga menjadi bagian dari Komunitas Kupu mendapatkan ide untuk berbagi kutipan-kutipan positif di grup mereka. Hal-hal yang dibagikan itu bisa berupa pengalaman yang dianggap negatif, namun kemudian ditemukan makna positifnya lewat perenungan.
Semua pengalaman batin anggota komunitas itu kini dikumpulkan dalam buku "Life Writing; Keep Our Soul Smiling" yang dieditori oleh Shinta Miranda, dengan pengantar Naning Pranoto. Buku berisi kisah 26 penulis (berupa prosa dan puisi) ini diterbitkan oleh Kosa Kata Kita bekerja sama dengan Yayasan Raya Kultura, Bogor.
Buku ini akan diluncurkan di Jakarta, 28 September 2023 bersamaan dengan peluncuran buku "Wujudkan Anak Bahagia; Pra-Pendidikan Dasar Metode Finlandia" karya Desiree Luhulima, perempuan asal Indonesia yang kini mendedikasikan hidupnya untuk mengajar di Finlandia.
Menjadikan penderitaan sebagai kekuatan
Oleh Masuki M. Astro Senin, 25 September 2023 23:21 WIB
Buku berisi kisah 26 penulis (berupa prosa dan puisi) ini diterbitkan oleh Kosa Kata Kita bekerja sama dengan Yayasan Raya Kultura, Bogor