Surabaya (ANTARA) - Pemilih muda atau pemilih pemula menjadi pembicaraan hangat di kalangan para pengurus partai, politikus dan tokoh masyarakat yang akan menjadi peserta Pemilihan Umum (Pemilu) yang digelar pada 14 Februari 2024.
Pemilih muda ini memiliki pengaruh penting dalam Pemilu 2024 karena menjadi kelompok pemilih dengan proporsi terbesar.
Jika berkaca pada Pemilu 2019, jumlah pemilih muda sudah mencapai 70 juta - 80 juta jiwa dari 193 juta pemilih. Ini artinya 35-40 persen pemilih muda sudah mempunyai kekuatan dan memiliki pengaruh besar terhadap hasil pemilu.
Sedangkan pada Pemilu 2024 didominasi pemilih muda berusia 17-40 tahun. Jumlah pemilih muda sekitar 107 juta orang atau 53-55 persen dari total jumlah pemilih sebanyak 204,8 juta. Jadi hampir lebih dari setengah lebih total pemilih pada Pemilu 2024 adalah pemilih pemula.
Angka yang fantastis itu merupakan pasar (market) politik yang besar bagi pemburu kursi kekuasaan. Maka wajar saja jika peserta pemilu baik itu calon anggota legislatif (caleg) atau calon eksekutif gencar tebar pesona ke pemilih muda.
Segala upaya dan strategi dikeluarkan demi mengeruk lebih dari setengah total pemilih ini. Personal branding akan dilakukan dengan menampilkan sosok yang dekat dengan kalangan muda ini.
Memoles diri dan mencitrakan diri sebagai tokoh muda atau tokoh yang peduli anak muda baik secara tampilan ataupun melalui komunikasi yang bergaya anak muda pun akan dilakukan demi menarik ceruk pemilih muda ini.
Meski demikian, hampir sebagian besar kelompok pemilih ini tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang informasi politik yang mencakup kandidat, partai politik, maupun hal-hal teknis terkait penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan.
Hal ini membuat mereka rentan akan terpaan informasi politik yang berlimpah dari berbagai sumber. Ini kemungkinan besar akan membuat mereka kewalahan dalam menyaring informasi.
Tentunya harus ada kontrol agar para pemilih pemula tidak kewalahan dan dapat memilah-milah informasi, serta terhindar dari dampak buruk disinformasi.
Ini patut diwaspadai utamanya bagi para pemilih muda, yang umumnya termasuk dalam kategori pemilih yang mudah berubah-ubah pilihannya dan masih ragu dalam menentukan pilihan.
Pendidikan politik
Pemilih muda kebanyakan belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang politik atau kepemiluan.
Biasanya mereka melakukan pencarian melalui media sosial dan saluran digital lainnya sebagai sumber utama. Sementara sumber sekundernya bisa dari forum publik, podcast, televisi, dan diskusi internal.
Namun, lingkungan sekitar dapat berperan besar dalam memberikan informasi politik, yang kemudian juga membentuk preferensi politik para pemilih tersebut.
Dalam hal ini, institusi pendidikan seperti sekolah maupun perguruan tinggi sebenarnya dapat mengambil andil untuk memberikan informasi politik. Paling tidak tentang literasi media dan literasi informasi.
Selain itu, pemerintah harus mampu menjadi pusat informasi politik yang dapat diandalkan, jelas, mudah dipahami, dan menarik bagi pemilih pemula.
Pemerintah, melalui kementerian atau dinas terkait, bisa bekerja sama dengan influencer media sosial untuk mempromosikan pentingnya edukasi dan partisipasi dalam pemilu. Ini merupakan salah satu cara komunikasi politik yang cukup efektif di era digital.
Sosialisasi dan pendidikan secara berkelanjutan kepada para pemilih mudah di sekolah-sekolah juga perlu dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah. Salah satunya dengan membentuk duta demokrasi di sekolah.
Karakter politik
Memahami keinginan dan persoalan anak muda menjadi bagian terpenting agar dapat mengeluarkan strategi jitu dalam mengeruk suara mereka.
Pemilih muda cenderung adaptif dan dinamis, selain itu juga sangat responsif terhadap isu-isu politik terkini serta memiliki ketertarikan pada karakter calon pemimpin yang memiliki kejujuran dan mendukung pemberantasan korupsi.
Jika dilihat dari rentang usia pemilih muda ini yang berada di kisaran antara 17 sampai 40 tahun maka dapat dilihat bahwa ada dua kelompok generasi yang masuk dalam kategori pemilih muda ini, yaitu Generasi Milenial (Gen Y) dan Generasi Z (Gen Z).
Meskipun sama-sama pemilih muda, namun dua generasi ini memiliki karakteristik yang berbeda. Gen Y lahir dalami rentang tahun 1980 hingga 1995-an. Gen Y memiliki kecenderungan untuk menentukan pilihan politiknya berdasarkan preferensi politik dari relasi kolegialitas.
Sedangkan Gen Z yang lahir dari rentang tahun 1997 hingga 2000-an memiliki jiwa independen, ekspresif, mengandalkan logika dan kritis.
Perbedaan yang mendasar dalam menentukan pilihan politik ini tentu harus betul-betul dipahami oleh para calon legislatif maupun calon eksekutif agar tidak salah membuat strategi dalam menggaet pemilih muda.
Gen Y dan Gen Z merupakan jenis pemilih yang akan mencari informasi terlebih dahulu sebelum memutuskan suatu pilihan. Teknologi internet dan sosial media merupakan platform yang digunakan dalam menggali informasi yang mereka perlukan.
Media Sosial
Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI) tingkat penetrasi internet di Indonesia sebesar 78,19 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2023 yang berjumlah 275,77 juta jiwa.
Sekitar 215,63 juta penduduk Indonesia yang menggunakan internet, jumlah ini meningkat sebanyak 5 juta jiwa atau sekitar 1,17 persen dari total pengguna pada tahun 2022.
Pada 2023, total pengguna internet di Indonesia terdapat 167 juta jiwa yang merupakan pengguna media sosial dan 79.5 persen di antaranya merupakan anak muda. Jika dirinci lagi sekitar 36.7 persen merupakan pengguna muda yang berjenis kelamin perempuan dan 42.6 persen yang berjenis kelamin laki-laki.
Sedangkan aplikasi media sosial (medsos) yang paling disukai adalah Whatsapp, Instagram, Facebook, Tiktok dan Twitter. Untuk mencari informasi, berdasarkan data dari Google, saat ini Gen Z lebih memilik TikTok untuk mendapatkan informasi yang mereka perlukan.
Medsos yang menggunakan saluran internet memberikan pengaruh signifikan pada partisipasi politik pemilih pemula. Dijelaskan juga bahwa pemilih pemula lebih suka menikmati konten politik secara santai.
Maka tidak heran jika saat ini para kandidat sering membuat konten di medsos untuk mengenalkan diri dan kegiatan mereka sehari-hari. Tebar pesona dilakukan dengan membangun citra positif di medsos agar bisa menarik pemilih muda pada gelaran pesta demokrasi tahun depan.
Berkaca dari kontestasi politik periode sebelumnya, medsos memiliki dampak besar untuk menggiring opini publik. Selain sebagai media penyebaran informasi, medsos juga menjadi salah satu alat untuk mobilisasi pemilih, kampanye dan ruang diskusi.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati, pemilih muda ini erat hubungannya dengan medsos, yang menjadi salah satu sarana distribusi informasi mengenai pemilu hingga kampanye.
Namun belum ada mitigasi risiko-risiko di medsos, seperti disinformasi dan transparansi sehingga dibutuhkan penanganan terkait penangkalan disinformasi.
Perilaku pemilih tersebut juga berlaku di daerah-daerah. Salah satunya di Kota Surabaya, Jawa Timur. Berdasarkan hasil riset Surabaya Survey Center (SSC) tentang kecenderungan perilaku pemilih menjelang Pemilu 2024, yang dilakukan terhadap warga Surabaya, mengungkapkan, mayoritas warga setempat mendapatkan informasi Pemilu 2024 melalui medsos.
Sebanyak 35,2 persen menjadikan medsos sebagai sumber informasi terkait Pemilu, diikuti televisi sebanyak 30,1 persen, dari mulut ke mulut sebanyak 12,5 persen, media luar ruang 10,2 persen. Sisanya ada media cetak 3,8 persen, pemerintah atau KPU 2 persen, radio 1,3 persen, serta sosialisasi partai atau Caleg hanya 0,9 persen, dan sisanya 4 persen menyatakan tidak tahu/tidak menjawab.
Temuan riset ini penting bagi pemerintah sebagai masukan untuk selanjutnya secara strategis dapat mendistribusikan sumber-sumber informasi terkait Pemilu ke masyarakat, dapat lebih intensif dan kreatif memaksimalkan medsos. Hal tersebut juga sekaligus dapat lebih menjangkau kalangan milenial yang mayoritas adalah pengguna medsos aktif dalam keseharian.
Meski demikian, sejumlah caleg masih menggunakan cara konvensional dengan memasang alat peraga berupa poster dan baliho untuk kampanye. Bagi mereka, ongkos untuk membuat alat peraga selisihnya tidak jauh dengan biaya medsos. Sebab, di medsos dibutuhkan konten-konten yang bagus agar calon pemilih tertarik. Konten kalau bagus pasti biayanya makin mahal.
Tidak hanya itu, para caleg juga tetap melakukan sosialisasi dengan bertemu warga. Kadang ada juga caleg membagi-bagikan sembako gratis atau uang. Namun ada juga caleg memiliki gelar bazar sembako murah ketimbang membagikan uang secara cuma-cuma.
Di sisi lain, pemerintah juga harus mampu mengontrol dan mengawasi arus informasi yang ada di medsos, menerapkan regulasi yang matang dan pengawasan serta penegakan hukum yang tegas dalam membasmi disinformasi di tengah masyarakat.
Dengan demikian, pemilih pemula merupakan market politik yang fantastis sehingga perlu digarap dengan serius oleh peserta politik. Pemilih pemula yang kebanyakan anak muda adalah generasi yang melek teknologi mereka memiliki kebiasaan menggunakan medsos dalam kehidupan sehari-hari, termasuk mencari informasi. Salam demokrasi.
Merebut hati pemilih muda di Pemilu 2024
Kamis, 21 September 2023 22:56 WIB