Ketika Batik Sidoarjo Bangkit Dari Mati Suri
Sabtu, 1 Oktober 2011 12:47 WIB
Oleh Indra Setiawan
Sidoarjo - Sejak terjadinya bencana akibat ulah manusia luapan Lumpur Lapindo, orang tak akan asing dengan Kabupaten Sidoarjo yang terletak di sebelah selatan Kota Surabaya. Sidoarjo yang juga terkenal dengan kerupuk udang, terasi, petis dan ikan bandengnya.
Selain itu, di Sidoarjo juga terkenal dengan kerajinan tas dan koper serta sepatu maupun jaket kulit Tanggulangin, pusat perbelanjaan sepatu Wedoro serta kini Lumpur Lapindo. Semuanya itu ada di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Tidak hanya itu saja, di Sidoarjo juga terkenal dengan kerajinannya yang lain seperti Batik Khasnya.
Bahkan, untuk meningkatkan budaya batik khas, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mendirikan Kampung Batik Sidoarjo yang berada di Jetis, Kecamatan Kota Sidoarjo. Atau lebih dikenal dengan "Kampoeng Batik Jetis"
"Kampoeng Batik Jetis" ini mulai dirintis oleh Bupati Sidoarjo Win Hendrarso yang menjabat waktu itu. Sejak diresmikan tahun 2008 jumlah perajin batik mengalami peningkatan dari awalnya 17 perajin, terus meningkat menjadi 45 perajin pada saat ini.
Pengakuan UNESCO yang menyatakan batik merupakan budaya warisan dunia khas Indonesia, sebagai tonggak sejarah dari bangkitnya Batik Jetis Sidoarjo dari mati suri.
"Sejak awal berdirinya pada tahun 1675, hampir 90 persen warga kampung jetis ini berprofesi sebagai perajin batik," kata Ketua Paguyuban Perajin Batik Sidoarjo, Nurul Huda.
Ayah dengan tiga anak ini mengatakan, kenapa perajin batik di Sidoarjo ini bisa bertahan selama lebih dari 300 tahun itu, karena perajin batik di Sidoarjo mampu melayani dan memenuhi permintaan pasar yang ada.
Karena, bisa bertahan atau tidaknya suatu usaha itu salah satunya dipengaruhi oleh kemampuan produsen untuk memenuhi permintaan pasar.
Ia menyebut di Sidoarjo sebenarnya tidak hanya di Kampung Batik Jetis saja yang ada perajin batik khas Sidoarjo, di lokasi lain sebenarnya juga ada seperti batik Sekardangan.
Tapi, batik Sekardangan tersebut tidak bisa bertahan dengan lama, karena produsennya tidak bisa menghasilkan batik sesuai dengan permintaan pelanggan. Dan saat ini, jumlah perajin batik yang ada di kawasan tersebut bisa dihitung dengan jari.
Menurut dia, itu karena jumlah perajin yang ada di kawasan tersebut tidak bisa memenuhi permintaan dari pembeli (selera pasar), sehingga tidak bisa bertahan sampai sekarang ini.
Pria yang juga dosen ilmu pertanian di sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya ini menjelaskan, Batik Sidoarjo aslinya lebih banyak berwarna cokelat seperti halnya batik pedalaman dari daerah lain.
Tetapi, karena pemesanan dan pemasarannya banyak dilakukan oleh orang dari etnis Madura, maka batik yang dihasilkan tersebut lebih berwarna cerah seperti yang diminati oleh orang orang dari etnis Madura.
Ia menjelaskan, batik sekarang ini telah menjadi tren disemua kalangan masyarakat, baik dalam acara-acara formal maupun nonformal.
Dalam era modernisasi dan globalisasi, batik tulis tradisional masih dicintai dan dilestarikan oleh masyarakat yang sudah berwawasan global dan modern.
"Karena, batik merupakan seni dan dikerjakan dengan hati serta pembuatannya pun 100 persen buatan tangan," paparnya.
Diperlukan enam sampai dengan tujuh orang untuk membuat satu helai batik mulai dari tahap sketsa hingga tahapan pencelupan. Semuanya dilakukan secara manual dan sederhana.
Itulah kenapa batik tulis memiliki tingkat yang cukup tinggi dibandingkan dengan batik cap atau juga batik yang lain.
Di Sidoarjo sendiri, kata dia, diharapkan tidak ada batik yang dikerjakan dengan cara cap atau dengan cara dicetak dengan menggunakan mesin (printing), karena itu sudah bukan merupakan batik lagi melainkan industri konveksi.
"Kalau batik merupakan seni melukis di atas kain dengan menggunakan canting berbahan dasar malam serta dilakukan pencelupan untuk proses pewarnaan," tuturnya.
Batik cap sebenarnya juga merupakan batik, tapi karena prosesnya tidak lagi menggunakan canting tetapi menggunakan cap seperti stempel, sehingga dikenal dengan batik cap yang proses pembuatannya lebih cepat dibandingkan dengan batik tulis.
Madura
Sering orang mengatakan, kalau Batik Sidoarjo meniru dari Batik Madura. Pernyataan itu menurut Ketua Paguyuban Perajin Batik Sidoarjo Nurul Huda salah. Yang benar, menurut dia, itu Batik Sidoarjo awalnya lebih banyak dijual dan dipasarkan oleh orang etnis Madura.
"Sehingga orang lebih mengenal batik tersebut dari Madura. Padahal pembuat batik itu sendiri berasal dari Sidoarjo," ujarnya, menjelaskan.
Ia mengatakan, faktor lain yang menyebabkan kenapa Batik Sidoarjo mirip dengan Batik Madura karena pemesan dan juga pedagang dari Madura lebih senang dengan Batik Sidoarjo dan perajin batik di Sidoarjo mau tidak mau harus memenuhi permintaan pasar tersebut.
"Hal itulah yang membuat Batik Sidoarjo lebih banyak memproduksi batik-batik yang berwarna cerah seperti yang dikehendaki oleh orang Madura seperti warna merah, hijau dan juga warna hitam," paparnya.
Namun, kata dia, seiring dengan berkembangnya jaman, saat ini perajin batik asal Sidoarjo sugah bisa memproduksi batik dengan motif lain yang lebih halus menyusul saat ini pemasarna bati Sidoarjo tidak hanya dilakukan oleh orang madura saja.
Salah satu batik yang terkenal di Sidoarjo adalah batik tradisional jetis yang berada di Kabupaten Sidoarjo.
Lokasinya di pusat kota Sidoarjo, tepatnya dijalan Diponegoro, di situ akan ada Gapura dengan motif batik lalu ada ornamen canting batik.
Potensi Batik Jetis di "Kampoeng Batik Jetis" ini sebenarnya telah ada puluhan tahun yang lalu. Keahlian batik ini diperoleh dan dikuasi secara turun-temurun. Motifnya juga motif kuno, tidak banyak perubahan dari motif yang dulu dipakai oleh para pendahulu. Ada "abangan" dan "ijo-ijoan" (gaya Madura), motif beras kutah, motif "krubutan" (campur-campur) lalu ada motif burung merak, dan motif-motif lainnya.
Motif kain batik asal Jetis didominasi flora dan fauna khas Sidoarjo yang memiliki warna-warna cerah, merah, hijau, kuning, dan hitam. Keunggulan batik tulis Jetis justru pada warna yang menyolok.
Di dalam kampoeng Jetis tersebar rumah para perajin batik yang merupakan salah satu sentra Batik terbesar di Sidoarjo Di kampoeng ini akan ditemukan bangunan-bangunan dengan arsitektur rumah tempo dulu yang cukup menarik untuk disimak, jendela besar dan jeruji besi yang antik, dapat dibayangkan pada masa jayanya daerah tersebut cukup ramai dan banyak terdapat rumah para juragan batik beserta perajinnya menempati daerah tersebut.
Ia menjelaskan, beberapa tahun yang lalu jumlah perajin semakin menurun, banyak yang beralih profesi ataupun menutup usahanya, hal ini disebabkan karena semakin langkanya generasi muda yang terjun untuk meneruskan warisan budaya membatik sebagai suatu usaha yang dapat menjamin kehidupan.
"Padahal, kegiatan membatik itu bisa dikerjakan di rumah dan dilakukan dengan mengerjakan kegiatan yang lain," katanya.
Tetapi, pada tanggal 3 Mei 2008 telah diresmikan “Kampoeng Batik Jetis, Sidoarjo” sebagai salah satu tujuan wisata.
Saat ini, kata dia, pengusaha batik tulis di daerah ini berjumlah 45 perajin yang tergabung dalam koperasi dengan mempekerjakan ratusan ibu-ibu pembatik.
Harga batik tulis jetis ini lebih mahal lima kali dibanding dengan batik cap. Harganya berkisar antara Rp150.000 – Rp2,5 juta per lembar kain batik sesuai kerumitan corak, dan bahan yang digunakan serta tingkat kehalusan batik yang dihasilkan.