Surabaya (ANTARA) - Tradisi sedekah bumi merupakan salah satu upacara pertanian yang dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur masyarakat petani terhadap hasil panen yang diperoleh.
Sedekah bumi menjadi bagian dari upaya masyarakat Jawa dalam merawat alam, menjaga keberlangsungan kehidupan yang harmonis antara alam, manusia dengan Sang Pencipta.
Ditinjau dari akar budayanya, sedekah bumi merupakan warisan budaya Jawa yang masih lestari di tengah kehidupan masyarakat modern. Sedekah bumi seringkali dirangkaikan dengan perayaan Tahun Baru Saka, atau pada kesempatan ini adalah 1 Sura 1957 Saka (Jawa).
Perayaan sedekah bumi sampai sekarang masih banyak dilaksanakan oleh masyarakat di desa-desa yang penduduknya sebagian besar bekerja di sektor agraris.
Selama ini, sedekah bumi identik dengan masyarakat perdesaan. Namun anggapan itu tidak sepenuhnya benar karena perayaan sedekah bumi masih digelar warga di sejumlah wilayah di kota metropolitan, seperti Kota Surabaya, Jawa Timur.
Sedekah bumi itu, di antaranya masih terjaga di Kelurahan Bringin (Kecamatan Sambikerep), Babatan (Wiyung), Morokrembangan (Krembangan), Ngesong (Dukuh Pakis), Jelidro (Sambikerep), Balas Klumprik (Wiyung), Gadel (Tandes), Putat Gede (Sukomanunggal), Lontar (Sambikerep), Made (Sambikerep), Petemon (Sawahan) dan lainnya.
Sedekah bumi yang belum lama ini digelar berada di Kampung RW X, Ngagelrejo, Wonokromo, Surabaya. Sedekah bumi itu digelar oleh warga setempat sebagai wujud syukur sekaligus menyemarakkan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Republik Indonesia (RI).
Meski hidup di kota metropolitan, tradisi nenek moyang itu tetap mereka lestarikan sampai saat ini. Biasanya sedekah bumi ini diwujudkan dalam bentuk pembuatan ancak atau tumpeng. Ratusan tumpeng biasanya diarak warga menuju balai RW ataupun tempat-tempat yang dianggap penting. Tumpeng-tumpeng itu simbol kesuburan yang dulu warganya hidup sebagai petani.
Selain tumpengan sedekah bumi, warga juga menghadirkan berbagai pertunjukan, mulai dari tari remo, reog, jaranan, dan ludruk.
Untuk sedekah bumi di Petilasan Mbah Goemok (Mbah Toekinah/Mbah Dhukinah) di Petemon, Surabaya, biasanya diisi dengan sejumlah acara, mulai dari yasinan, tahlilan, hingga khataman Al Quran. Semua itu dimulai dari pagi hingga siang. Hampir semua warga di kampung menyaksikan dan mengikuti rangkaian kegiatan sedekah bumi tersebut.
Hal menarik dari semua itu, meski tidak banyak warga Surabaya yang bertani, namun warga setempat tetap mempertahankan tradisi tersebut.
Sebagai bentuk apresiasi dan dukungan pada pelestrian budaya luhur, Pemerintah Kota Surabaya mengalokasikan anggaran senilai Rp400 juta, sehingga kegiatan sedekah bumi di berbagai wilayah di Kota Pahlawan itu terus berjalanan dan lestari.
Trisakti
Sedekah bumi merupakan bagian dari kearifan lokal atau kebudayaan yang harus terus dijaga dan dilestarikan. Bahkan, melestarikan kebudayaan merupakan bagian dari upaya mewujudkan gagasan Trisaksi dari Presiden pertama RI Soekarno atau Bung Karno.
Gagasan Bung Karno tentang strategi Trisakti itu, meliputi berdaulat di bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
Karena alasan itulah, maka pemerintah kota memberikan ruang maupun dukungan terhadap kegiatan kebudayaan tersebut agar ke depannya kota tersebut terus bergerak maju, namun tetap merawat kelestarian seni budaya adiluhung dari leluhur.
Selain itu kegiatan budaya sedekah bumi juga merupakan sarana merawat semangat gotong royong dan persatuan agar kota itu tetap menjadi kota yang maju, namun tampilannya humanis.
Bangsa yang hebat adalah bangsa yang mencintai, menghormati, dan meneruskan adat budaya dari para pendahulunya.
Budaya arek
Sedekah bumi yang di dalamnya terdapat nilai-nilai toleransi dan gotong royong bisa dikategorikan bagian dari "Budaya Arek" yang merupakan subkultur kebudayaan dari Jawa Timur.
Arek berasal dari kata lare atau anak. Kata arek memiliki arti yang luas, tidak hanya digunakan untuk anak kecil, kata tersebut juga digunakan untuk memanggil orang yang sudah mencapai tahapan dewasa.
Secara geografis, budaya arek terletak dan berkembang di bagian timur aliran Kali Brantas, yang meliputi Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Jombang, dan Malang. Wilayah Surabaya dan Malang menjadi pusat perkembangan dari budaya arek.
Namun dalam perjalananya, penggunaan kata arek melekat pada kata Surabaya, yang akrab dengan sebutan Suroboyo, sehingga dalam penyebutan berubah menjadi Arek Suroboyo. Kata tersebut semakin berkembang pesat ketika dipergunakan dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dampak dari penggunaan kata Arek Suroboyo, pada akhirnya membentuk suatu identitas yang mengintegrasikan para arek untuk terus melecut dan memperkuat pertahanan untuk mengusir kaum kolonial dan mempertahankan kemerdekaan.
Budaya Arek menekankan pada kultur masyarakat yang mengurangi penekanan terhadap titel dan status sosial, serta lebih mengedepankan kesuksesan ekonomi dan politik individu. Kekhasan yang dimiliki budaya ini adalah keterbukaan, cenderung apa adanya, kesamaan derajat atau egaliter, dan bondo nekat (bonek) alias pantang menyerah.
Masyarakat dengan budaya arek tetap menjunjung tinggi penghayatan budayanya, sehingga tidak sama sekali hilang dari ingatan kolektif warga Surabaya.
Budaya arek tersebut ditunjukkan dalam setiap kegiatan sedekah bumi. Seluruh elemen masyarakat kampung terlibat, bergotong royong, dan larut dalam kebersamaan. Hal itu menunjukkan bahwa budaya arek masih kuat di Surabaya. Apalagi, sedekah bumi ini dilakukan dengan swadaya masyarakat.
Melihat semangat warganya, pemerintah kota setempat menyauti dengan mengucurkan dana. Kepedulian itu sekaligus menunjukkan hadirnya negara pada upaya pelestarian budaya tradisi oleh masyarakatnya.
Penguatan ekonomi
Tidak hanya merawat tradisi, sedekah bumi ini mampu menggerakkan ekonomi masyarakat, mulai dari jasa rias pengantin, pergelaran seni, hingga kuliner. Selain itu, semarak budaya ini juga mampu mempercepat pemulihan ekonomi masyarakat pascapandemi COVID-19.
Warga biasa berbondong-bondong melihat pergelaran seni budaya dalam rangka sedekah bumi, sekaligus membeli makanan, jajanan maupun kebutuhan lainnya di pasar murah, yang biasanya disediakan panitia.
Pasar murah tersebut biasanya diisi para pedagang kaki lima (PKL) maupun pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) dari kalangan warga setempat. Mereka menjual makanan dan barang-barang dengan harga terjangkau.
Kegiatan ekonomi dalam sekup kecil di sedekah bumi ini dinilai mampu membantu menumbuhkan roda perekonomian yang dalam beberapa tahun ini mengalami lesu karena pendemi.
Selain itu, pelestarian sedekah bumi yang kini digelar di sejumlah perkampungan di Kota Pahlawan merupakan bagian dari penguatan seni dan budaya.
Menjaga alam
Sedekah bumi tidak sekadar rangkaian prosesi, tapi juga bagian dari cara mengatasi berbagai permasalahan lingkungan hidup yang lebih banyak disebabkan faktor ulah atau perilaku manusianya yang tidak menghargai alam, seperti membuang sampah atau limbah sembarangan ke danau, sungai, laut atau menebang pohon sembarangan.
Melalui tradisi sedekah bumi ini, ada benih ikan yang ditebar, pohon yang ditanam dan ikan-ikan yang diberi makan serta munajat doa untuk mengharap keridaan Tuhan. Sehingga jika kebudayaan ini menjadi garda terdepan untuk memaknai bentang alam, niscaya alam ini akan terus lestari.
Masyarakat Jawa dengan adat istiadatnya masih sangat memperhatikan fungsi ekologi, di mana kita harus bisa menyeimbangkan alam agar alam ini tetap lestari.
Selain wujud syukur atas rezeki yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa, sedekah bumi ini juga sekaligus penghormatan masyarakat kepada para leluhur yang telah mewariskan kekayaan alam kepada anak-cucunya berupa hamparan tanah yang masih subur dan luas, udara yang tidak tercemar, air yang terus mengalir dan tidak terkontaminasi limbah berbahaya dan beracun.
Sebagai generasi penerus diharapkan bisa terus menjaga, merawat, dan lebih bijak lagi dalam memanfaatkan warisan alam. Apakah itu untuk bercocok tanam, budi daya ikan, hingga membuka usaha di sektor pariwisata.
Objek wisata yang ditunjang dengan kondisi sosio kultur masyarakatnya yang guyub, rukun, saling mengenal, saling membantu satu sama lain, maka perkembangannya akan semakin cepat.
Untuk itu, tradisi sedekah bumi di perkampungan kota-kota metropolitan harus bisa terus dilestarikan, dikemas dan dipasarkan lebih menarik lagi dengan konten-konten yang kreatif dan kekinian.