Surabaya (ANTARA) -
Menyusuri jalanan perkampungan di Surabaya, jangan kaget jika dalam beberapa pekan terakhir terpasang bendera warna-warni di samping tiang-tiang listrik di ujung gang.
Biasanya bendera itu diikat menggunakan tali rafia, gagangnya dari bambu dan ada penanda nama seseorang yang ditulis di atas potongan kardus. Sudah lumrah, jika kita mendapatinya, dapat disimpulkan di gang tersebut sedang ada hajatan. Mayoritas pernikahan.
Pemandangan seperti itu kerap kita lihat tak hanya di Surabaya, tapi di daerah-daerah lain karena sama-sama menggelar hajatan pada bulan sama, yaitu Zulhijah. Orang lebih akrab dengan sebutan "Bulan Haji", yang secara budaya sering dikaitkan dengan bulan baik jika menggelar pernikahan.
Tak heran muncul sebutan bulan ini sebagai bulan "musim menikah". Meskipun untuk waktu pelaksanaan nikah tidak ada waktu khusus, namun melangsungkan akad nikah pada Zulhijah sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Nusantara.
Mengutip laman Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, jatim.nu.or.id, mengenai penentuan bulan atau hari baik untuk pelaksanaan pernikahan sebenarnya tidak ada dasar atau dalil yang pasti.
Meskipun terdapat pendapat para fuqaha atau ahli fiqih tentang anjuran dilaksanakannya pada Jumat, karena hari tersebut tergolong mulia dalam Islam.
Ada sebagian riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW menikahkan putri terkasihnya Sayyidah Fathimah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib pada awal bulan Zulhijah. Riwayat ini populer di kalangan Syi’ah.
Sementara riwayat lain menurut Ibn Sa’ad dalam "Al-Thabaqat al-Kubra" mengatakan bahwa Sayidina Ali menikahi Sayyidah Fathimah di bulan Rajab, setelah lima bulan sejak kedatangan Nabi Muhammad SAW ke Madinah.
Kemudian Sayidina Ali berkumpul dengan Sayidah Fatimah setelah pulang dari Perang Badar, dan usia Fatimah saat berkumpul dengan Sayidina Ali berusia 18 tahun.
Terlepas dari perbedaan riwayat tentang waktu pernikahan Sayyidina Ali dengan Sayyidah Fathimah, bulan Zulhijah adalah termasuk bagian dari empat bulan haram. Empat bulan mulia dalam Islam itu adalah Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab.
Sebenarnya, keempat bulan tersebut ditetapkan sebagai bulan haram sudah terjadi pada masa jahiliyah. Asal muasalnya adalah karena pada bulan Zulkaidah sampai bulan Muharram masyarakat Arab melaksanakan ibadah haji, dimulai berangkat menuju Makkah pada bulan Zulkaidah dan kembali dari Makkah ke daerah masing-masing pada bulan Muharram. Kemudian pada bulan Rajab, mereka biasanya melaksanakan ibadah umrah.
Maka untuk menghormati jamaah haji dan umrah, bangsa Arab pada masa jahiliyah sepakat untuk tidak bererang pada bulan-bulan tersebut. Dan jika ada dua kabilah yang saling berperang, maka kedua kabilah harus melakukan gencatan senjata untuk sementara.
Tradisi ini kemudian diakui dalam Islam, sebagaimana dalam surat Al-Taubah ayat 36. Meskipun tradisi lama jahiliyah tentang bulan haram diapresiasi oleh Islam, namun ada pula keyakinan jahiliyah yang ditolak, yaitu pantangan menikah pada bulan-bulan haji.
Percaya atau tidak, tradisi tersebut terjadi sampai sekarang. Saat bulan-bulan tertentu, tidak sedikit pasangan melangsungkan pernikahan. Pun termasuk di bulan-bulan tertentu juga, banyak pasangan pantang melaksanakan janji setia sehidup semati di hadapan penghulu, yaitu Muharram atau lebih dikenal dengan bulan Suro.
Saat ini, Muharram atau dalam penanggalan Jawa disebut bulan Suro tiba. Pada tahun 2023, 1 Muharram atau 1 Syuro bertepatan dengan tanggal 19 Juli 2023. Bulan Suro seringkali dikaitkan dengan berbagai pantangan karena dipercaya dapat membawa malapetaka.
Beberapa kepercayaan turun-temurun meyakini bahwa pasangan yang menikah di bulan Muharram akan menghadapi nasib buruk, seperti masalah keuangan, kecelakaan, penyakit serius, hingga kematian.
Maka sekali lagi, tidak heran jika biasanya menjelang Zulhijah berakhir, akan ada banyak pesta pernikahan. Imbasnya, jalan di mana-mana ditutup.