Mesjid Al Aqsa dan perang demografis Palestina-Israel
Jumat, 7 April 2023 14:01 WIB
Bom waktu demografis
Jumlah ekstremis Yahudi ini sendiri semakin banyak seiring dengan kecenderungan kian kanan dalam politik di Israel. Mereka semakin berani karena pemerintahan Israel saat ini dikuasai koalisi kanan jauh pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Berbeda dari negara-negara maju pada umumnya di mana kaum muda cenderung lebih liberal, kaum muda Israel malah cenderung ke kanan.
Riset yang dibuat Israel Democracy Institute pada 2022 menunjukkan 60 persen warga Yahudi di Israel mengidentifikasi dirinya sebagai sayap kanan. Padahal pada April 2019, angka itu baru 46 persen saja.
Angka itu lebih besar lagi di kalangan kaum muda berusia 18-24 tahun, mencapai 70 persen.
Tingginya angka pendukung kaum kanan ini terjadi karena dipicu kekerasan di Gaza tahun lalu. Sikap keras Hamas di satu sisi turut mengeraskan sikap kelompok kanan dan kaum ekstremis Yahudi.
Kecenderungan kanan warga Yahudi juga diakibatkan oleh keluarga-keluarga Yahudi, terutama kelompok ortodoks yang lebih suka memilih politisi-politisi konservatif. Faktor lain adalah polarisasi Israel dan Palestina yang semakin dalam.
Anak-anak muda Yahudi yang lebih tidak toleran ini lahir dari ibu-ibu yang dianjurkan Israel agar beranak banyak dan dari generasi yang tak berinteraksi luas dengan warga non-Yahudi, sehingga pandangan mereka terhadap Palestina pun lebih buruk dibandingkan kelompok usia lainnya.
Mereka khawatir penduduk Yahudi lambat laun menjadi minoritas di Israel, apalagi populasi Palestina terus bertambah. Ini tak termasuk Tepi Barat dan Jalur Gaza yang bukan wilayah Israel dan hampir seluruhnya berpenduduk Arab Palestina.
Bagi Palestina sendiri, demografi menjadi senjata tersendiri. Mendiang pemimpin besar Palestina, Yasser Arafat, pernah mengatakan "rahim wanita Arab adalah senjata terhebat saya".
Ternyata, generasi politisi Israel kemudian, terprovokasi pandangan Arafat ini. Mereka menganggap hal itu sebagai "bom waktu demografis" yang mengancam eksistensi dan integritas Israel.
Ini membuat Israel mendorong wanita Yahudi agar memiliki anak yang banyak. Tak heran tingkat kelahiran di Israel menjadi yang tertinggi di antara negara-negara maju dalam OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) dan bahkan pernah lebih tinggi dibandingkan tingkat kelahiran warga Arab di Israel.
Pemerintah Israel juga menerapkan kebijakan imigrasi yang menarik warga Yahudi seluruh dunia agar pindah ke sana.
Biro Pusat Statistik Israel sendiri pada akhir 2021 menyebutkan sekitar 9,4 juta orang hidup di Israel, termasuk daerah permukiman Yahudi di bagian Tepi Barat yang diduduki Israel.
Dari jumlah itu, 6,9 juta (74 persen) di antaranya adalah Yahudi, 1,9 juga lainnya (21 persen) etnis Arab, sedangkan sisanya dari etnis-etnis lain. Warga Arab Palestina di Israel berbeda dari rekannya di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Mereka termasuk warga Israel.
Sementara, Biro Statistik Palestina menyebutkan 3 juta orang mendiami Tepi Barat Palestina dan 2 juta tinggal di Jalur Gaza.
Jika digabung, maka total warga Arab Palestina yang hidup, baik di wilayah Israel maupun Tepi Barat dan Jalur Gaza, sama banyaknya dengan jumlah warga Yahudi.
Sejumlah pakar kependudukan di Israel sendiri menyebutkan bahwa sekalipun tingkat kelahiran warga Yahudi tinggi, tingkat kematian Yahudi pun sama tingginya. Artinya, tingkat pertambahan penduduk warga Arab yang rata-rata lebih muda, berlangsung lebih cepat.
Fakta-fakta itu mengkhawatirkan kaum ortodoks dan politisi-politisi kanan Israel, apalagi pada 2065 Israel diprediksi menjadi negara paling padat di dunia dengan penduduk 35 juta orang.