Jakarta (ANTARA) - Tahun ini, Indonesia menjalankan peran penting di kawasan yaitu sebagai Ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Keketuaan ASEAN dijalankan bergantian setiap tahun oleh masing-masing negara anggota sesuai urutan abjad. Secara resmi Presiden RI Joko Widodo menerima mandat tersebut dari Perdana Menteri Kamboja Hun Sen dalam KTT ASEAN di Phnom Penh pada November 2022.
Dalam 2 tahun terakhir, salah satu isu utama yang menjadi tugas berat bagi Ketua ASEAN adalah memimpin perhimpunan tersebut dalam merespons krisis politik dan kemanusiaan di Myanmar, yang dipicu kudeta militer pada Februari 2021.
Militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintah sipil karena menuduh ada kecurangan dalam pemilu November 2020, yang dimenangi oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan peraih Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.
Kudeta yang diikuti penangkapan dan penahanan Suu Kyi beserta tokoh-tokoh demokrasi Myanmar, segera direspons rakyat dengan aksi protes besar-besaran yang kemudian berubah menjadi perlawanan bersenjata oleh pihak oposisi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut bahwa lebih dari 13 juta orang di Myanmar tidak memiliki cukup makanan dan 1,3 juta orang harus mengungsi ketika junta terus menggunakan kekuatan yang tidak proporsional, termasuk pengeboman, pembakaran rumah dan bangunan, serta pembunuhan warga sipil.
Selain itu dilaporkan 2.500 orang telah terbunuh dan 13 ribu orang ditahan, sebagian besar selama protes pro-demokrasi besar-besaran yang terjadi di seluruh negeri.
Krisis yang berlarut-larut dengan dampak yang makin meluas ke negara-negara tetangga, menuntut ASEAN sebagai keluarga Myanmar, untuk bergerak cepat membantu negara tersebut mengatasi krisis dan memulihkan perdamaian.
Para pemimpin ASEAN dalam pertemuan khusus yang dihadiri pemimpin junta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing telah menyepakati Konsensus Lima Poin untuk membantu negara itu mengatasi krisis politiknya.
Konsensus tersebut menyerukan penghentian kekerasan, dialog dengan semua pemangku kepentingan, menunjuk utusan khusus untuk memfasilitasi mediasi dan dialog, mengizinkan ASEAN untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Myanmar, serta mengizinkan utusan khusus ASEAN untuk berkunjung dan bertemu dengan seluruh pemangku kepentingan di Myanmar.
Namun, sejak disepakati pada April 2021, implementasi atas konsensus tersebut masih mandek.
Junta selaku otoritas utama di Myanmar menolak dialog dan tidak mengindahkan desakan untuk segera menghentikan kekerasan.
Selain itu, dua utusan khusus ASEAN yang dijabat oleh Menteri Luar Negeri Brunei Darussalam dan Menlu Kamboja selaku Ketua ASEAN pada 2021 dan 2022, gagal berkunjung ke Myanmar karena junta tidak memberikan mereka akses untuk bertemu pihak oposisi, termasuk Suu Kyi yang masih berada di dalam penjara.
Lalu bagaimana Indonesia sebagai ketua tahun ini akan memimpin ASEAN untuk membantu Myanmar keluar dari krisis?
Menlu RI Retno Marsudi sempat menemui U Wunna Maung Lwin, Menlu yang ditunjuk junta Myanmar pada 24 Februari 2021 atau segera setelah kudeta dilancarkan pada 1 Februari 2021.
Dalam pertemuan yang berlangsung di Bangkok dan juga dihadiri oleh Menlu Thailand Don Pramudwinai itu, Retno menyampaikan posisi dan kekhawatiran Indonesia atas perkembangan situasi di Myanmar dengan maraknya unjuk rasa anti junta yang diwarnai kekerasan.
Menlu RI juga menegaskan bahwa keamanan dan kesejahteraan rakyat Myanmar menjadi prioritas nomor satu.
Untuk itu, dia meminta semua pihak di Myanmar segera menghentikan kekerasan guna menghindari jatuhnya korban dan pertumpahan darah.
Retno juga menekankan pentingnya proses transisi demokrasi yang inklusif melalui dialog, rekonsiliasi, serta membangun kepercayaan.
Sejak pertemuan itu, belum ada lagi kontak antara Pemerintah Indonesia dengan junta Myanmar yang diberitakan melalui media, meskipun Indonesia mengatakan bahwa komunikasi intensif terus dijalin dengan semua pemangku kepentingan di Myanmar.
Dalam menjalankan perannya sebagai utusan khusus ASEAN untuk Myanmar, Menlu Retno telah membentuk dan memimpin Office of Special Envoy, bekerja sama dengan Sekretariat ASEAN.
Ia mengatakan bahwa langkah yang akan diambil Indonesia dalam membantu penyelesaian konflik di Myanmar akan selalu berdasarkan prinsip dan nilai fundamental Piagam ASEAN, antara lain, ketaatan pada supremasi hukum, pemerintahan yang baik, serta prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan konstitusional.
Retno pun menegaskan bahwa ASEAN harus tetap mengacu pada Konsensus Lima Poin sebagai mekanisme utama dalam membantu Myanmar keluar dari krisis.
Meskipun menyatakan bahwa ASEAN berkewajiban membantu Myanmar keluar dari krisis, Retno tetap menegaskan bahwa “yang dapat menolong Myanmar adalah bangsa Myanmar sendiri”.
Karena itu, seyogianya solusi untuk permasalahan politik di Myanmar dapat ditemukan dan diputuskan oleh bangsa Myanmar itu sendiri, tanpa campur tangan pihak mana pun.
Baca juga: Jokowi kicks off Indonesia's 2023 ASEAN Chairmanship
Tak boleh didikte
Kendati dihadapkan pada krisis besar di Myanmar yang juga menarik perhatian dunia, Indonesia memastikan bahwa selama masa keketuaannya, pembangunan komunitas dan kerja sama ASEAN akan tetap menjadi fokus utama.
Menlu Retno menekankan bahwa isu Myanmar “tidak akan dibiarkan menyandera” proses penguatan ASEAN.
Dia juga menegaskan bahwa “ASEAN tidak boleh didikte oleh junta militer Myanmar”, sebagai respons atas pertemuan yang dilakukan oleh beberapa negara anggota dengan junta Myanmar di Thailand pada Desember tahun lalu.
Konsultasi yang dihadiri oleh Kamboja, Laos, Vietnam, serta Thailand sebagai tuan rumah diklaim Thailand sebagai pertemuan non-ASEAN yang ditujukan untuk melengkapi upaya kolektif ASEAN yang sedang berjalan guna menemukan resolusi politik yang damai untuk situasi di Myanmar.
Sementara Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura tidak hadir memenuhi undangan Thailand.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Thailand Kanchana Patarachoke mengatakan bahwa pertemuan itu difokuskan pada penyediaan bantuan kemanusiaan dan penjajakan berbagai langkah lain untuk mendukung implementasi Konsensus Lima Poin.
Kanchana mengatakan konsultasi itu adalah kali pertama selama lebih dari satu tahun yang di dalamnya para menlu melakukan diskusi secara tatap muka untuk menyediakan ruang diplomatik bagi diskusi yang jujur dan konstruktif.
Pertemuan itu juga dikatakan merupakan keterlibatan pragmatis, terutama untuk negara-negara tetangga yang paling terkena dampak oleh situasi saat ini.
Dalam sebuah pernyataan, Menlu junta Myanmar mengatakan dalam konsultasi informal itu bahwa delegasi Myanmar “bertukar pandangan secara hormat” tentang masalah kerja sama Myanmar dengan ASEAN untuk implementasi konsensus.
Delegasi, ujarnya, juga memberikan informasi yang benar, mencerminkan situasi aktual di lapangan, dan menegaskan kembali posisi Myanmar dalam tinjauan para pemimpin ASEAN yang baru saja diadopsi.
Delegasi tersebut juga dikatakan menyoroti kemajuan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Myanmar di bawah Konsensus Lima Poin dengan kerja sama Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan dalam Manajemen Bencana (AHA Centre).
Padahal, sejak 2021 di bawah keketuaan Brunei Darussalam, ASEAN telah sepakat untuk tidak mengundang perwakilan politik dari Myanmar sampai negara itu bisa menyelesaikan krisis di dalam negerinya.
Posisi tersebut tetap dipertahankan menjelang Pertemuan Para Menlu ASEAN (AMM) di Jakarta pada 3-4 Februari 2023 di bawah keketuaan Indonesia, sebagai bentuk protes dan kekecewaan perhimpunan atas implementasi Konsensus Lima Poin yang tanpa kemajuan.
Segala cara
Namun, pengecualian Myanmar dalam pertemuan-pertemuan ASEAN dinilai tidak cukup untuk mendesak junta agar mau berdialog.
Menurut Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum, perhimpunan itu harus melakukan segala cara dan menggunakan semua mekanisme yang ada untuk menyediakan ruang dialog.
Untuk itu, Yuyun mendorong ASEAN untuk menggunakan mekanisme HAM yang selama ini belum dilibatkan dalam penyelesaian isu Myanmar serta memberlakukan tekanan terhadap ekonomi Myanmar.
Meskipun ASEAN tidak memiliki mekanisme sanksi, Yuyun yakin ASEAN bisa menemukan suatu cara untuk memberikan tekanan ekonomi yang akan memaksa junta untuk mau berdialog dan menghentikan tindak kekerasan, yang memperburuk situasi HAM di Myanmar.
Dewan Keamanan PBB pun telah mengeluarkan resolusi yang menuntut segera diakhirinya segala bentuk kekerasan di Myanmar dan mendesak pembebasan semua tahanan yang dibui secara sewenang-wenang, termasuk Suu Kyi, yang sebelumnya menjabat sebagai Penasihat Negara dan Menlu Myanmar.
Resolusi yang diadopsi dengan dukungan 12 dari 15 anggota DK PBB—kecuali Rusia, China, dan India yang menyatakan abstain dalam pemungutan suara—juga berisi keprihatinan mendalam atas keadaan darurat yang sedang berlangsung akibat pengaruh kelompok militer di Myanmar.
Kini, dunia menantikan kiprah Indonesia dalam membantu penyelesaian krisis di Myanmar.
Indonesia--yang mempunyai pengalaman dalam mewujudkan transisi demokrasi dari rezim otoriter hingga mampu menggelar pemilu presiden dan pemilihan kepala daerah secara langsung--dinilai bisa menjadi tumpuan dalam penyelesaian konflik serupa.
Indonesia yang seringkali disebut sebagai natural leaderASEAN dengan kebijakan politik luar negeri bebas aktif, semakin mendukung posisinya untuk membantu penyelesaian krisis.
Persahabatan kedua negara yang telah terjalin sejak usai proklamasi kemerdekaan Indonesia, bahkan berlanjut dengan kedekatan hubungan antara mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan mantan Presiden Myanmar U Thein Sein—yang sama-sama berlatar belakang militer—juga bisa menjadi modalitas berarti.
Namun, mengingat kompleksitas isu di Myanmar saat ini, Indonesia secara realistis mengakui bahwa krisis tersebut tidak akan dapat diselesaikan hanya dalam waktu satu tahun, atau selama masa keketuaan Indonesia di ASEAN.
Kendati demikian, menurut Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kemlu RI Sidharto Suryodipuro, Indonesia cukup optimistis bisa membawa kemajuan dalam proses mengembalikan perdamaian dan stabilitas di Myanmar agar dampak krisis tidak semakin meluas dan berlarut-larut.