Singapura (ANTARA) - Para menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bersiap untuk pertemuan khusus guna membahas situasi di Myanmar, dalam upaya untuk memadamkan kekerasan yang mematikan dan membuka saluran untuk mengatasi krisis politik yang meningkat.
Pembicaraan itu akan dilakukan dua hari setelah kerusuhan paling berdarah sejak militer menggulingkan pemerintahan terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi sebulan lalu, hingga menimbulkan kemarahan dan unjuk rasa massal di seluruh Myanmar.
Menlu Singapura Vivian Balakrishnan mengatakan dia akan berterus terang dalam pertemuan yang berlangsung virtual pada Selasa, dan akan memberi tahu perwakilan militer Myanmar bahwa ASEAN sangat kecewa dengan kekerasan tersebut.
Dalam wawancara televisi Senin malam (1/3), dia mengatakan ASEAN akan mendorong dialog antara Suu Kyi dan junta.
"Ada kepemimpinan politik dan ada kepemimpinan militer, di pihak lain. Mereka perlu bicara, dan kami perlu membantu menyatukan mereka," kata Balakrishnan.
Sebelumnya, Menlu Malaysia Hishammuddin Hussein menyatakan bahwa ASEAN harus memainkan peran yang lebih proaktif dalam memulihkan situasi di Myanmar.
"Semua pihak harus menahan diri sepenuhnya dari penggunaan kekerasan," kata Hussein dalam sebuah pernyataan, Senin.
Menlu Filipina Teodoro Locsin mengindikasikan di Twitter bahwa ASEAN akan tegas dengan Myanmar dan mengatakan kebijakan nonintervensi dalam urusan dalam negeri anggota "bukan persetujuan menyeluruh atau persetujuan diam-diam untuk kesalahan yang dilakukan di sana".
Pekan lalu, Menlu Indonesia Retno Marsudi bertemu dan melakukan pembicaraan dengan menteri luar negeri yang ditunjuk junta militer Myanmar, Wunna Maung Lwin, serta Menlu Thailand Don Pramudwinai.
Dalam pertemuan yang berlangsung di Bangkok tersebut, Retno menyampaikan posisi dan aspirasi Indonesia terhadap krisis politik di Myanmar, dan meminta negara itu menyelesaikan konflik politik berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam ASEAN.
Namun, upaya ASEAN untuk terlibat dengan militer Myanmar mendapat teguran keras dari kelompok-kelompok dalam gerakan anti kudeta, termasuk komite anggota parlemen yang telah digulingkan yang menyatakan junta sebagai kelompok "teroris".
Sa Sa, utusan yang ditunjuk komite untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengatakan ASEAN seharusnya tidak berurusan dengan "rezim yang dipimpin militer yang tidak sah ini".
Alumni program pemuda ASEAN di Myanmar mengatakan blok tersebut harus berbicara dengan perwakilan internasional dari pemerintahan Suu Kyi, bukan dengan rezim.
"ASEAN harus memahami bahwa kudeta atau pemilihan ulang yang dijanjikan oleh junta militer sama sekali tidak dapat diterima oleh rakyat Myanmar," kata dia dalam surat kepada ASEAN.
Pemimpin junta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing telah berjanji untuk mengadakan pemilihan baru dan menyerahkan kekuasaan kepada pemenang, tetapi tidak memberikan kerangka waktu yang jelas.
Kudeta pada 1 Februari menghentikan langkah Myanmar menuju demokrasi setelah hampir 50 tahun pemerintahan militer, dan telah menuai kecaman dan sanksi dari Amerika Serikat serta negara-negara Barat lainnya, dan meningkatnya kekhawatiran di antara tetangganya.
Sumber: Reuters (*)