Naypyidaw (ANTARA) - Junta Myanmar menyatakan akan "secara positif" mempertimbangkan konsensus yang telah dicapai pada pertemuan para pemimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) akhir pekan lalu, untuk mengakhiri krisis di negara itu.
Dalam komentar resmi pertamanya terkait pertemuan itu, junta mengatakan akan memberikan "pertimbangan yang cermat terhadap saran-saran konstruktif ... ketika situasi kembali stabil".
Saran tersebut akan "dipertimbangkan secara positif" jika itu memfasilitasi "peta jalan" junta sendiri, dan "melayani kepentingan negara dan didasarkan pada tujuan dan prinsip yang diabadikan dalam" ASEAN, kata junta Myanmar dalam sebuah pernyataan yang dirilis Selasa.
Junta tidak mengacu pada salah satu prinsip ASEAN yang telah lama dianut, yaitu nonintervensi atau tidak mencampuri urusan dalam negeri satu sama lain.
Setelah pertemuan di Jakarta pada Sabtu (24/4), ASEAN mengeluarkan apa yang disebut lima poin konsensus tentang langkah-langkah untuk mengakhiri kekerasan dan memulai pembicaraan antara pihak-pihak berkonflik di Myanmar.
Lima poin konsensus yang telah disepakati oleh para pemimpin ASEAN yaitu pertama, kekerasan harus segera dihentikan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya; kedua, dialog konstruktif di antara semua pihak yang berkepentingan harus dimulai untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat.
Selanjutnya, poin konsensus ketiga yaitu utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN; keempat, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre; serta kelima, utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.
Dalam pernyataan yang dibuat oleh Brunei Darussalam selaku ketua ASEAN tahun 2021, para pemimpin juga menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi di Myanmar, termasuk adanya laporan kematian dan eskalasi kekerasan.
Aktivis mengkritik rencana itu, yang dianggap telah membantu melegitimasi junta dan bahwa konsensus ASEAN jauh dari tuntutan mereka selama ini.
Secara khusus, konsensus ASEAN tidak secara khusus menyerukan pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi (75) dan tahanan politik lainnya. Kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik mengatakan lebih dari 3.400 orang telah ditahan karena menentang kudeta.
Sementara itu, pertempuran meletus di Myanmar timur dekat perbatasan Thailand pada Selasa pagi ketika pemberontak etnis minoritas Karen menyerang pos terdepan militer dalam beberapa bentrokan paling hebat sejak kudeta 1 Februari --yang menjerumuskan Myanmar ke dalam krisis.
Persatuan Nasional Karen (KNU), pasukan pemberontak tertua Myanmar, mengatakan telah merebut kamp militer di tepi barat sungai Salween, yang membentuk perbatasan dengan Thailand di daerah itu.
Pasukan KNU telah mengambil pos terdepan sekitar pukul 05.00 hingga 06.00, ujar kepala urusan luar negeri kelompok itu, Saw Taw Nee, kepada Reuters.
Di Mandalay, sedikitnya satu orang ditembak mati pada Senin (26/4), menurut laporan media Myanmar.
Para pengunjuk rasa telah berjanji untuk meningkatkan penentangan terhadap junta dan meminta orang-orang untuk berhenti membayar tagihan listrik dan pinjaman pertanian, serta menjauhkan anak-anak mereka dari sekolah.
"Staf pendidikan dan siswa sangat didorong untuk bergabung dalam boikot dan berdiri bersama dengan tidak bersekolah," kata pemimpin protes Ei Thinzar Maung di media sosial.
Sumber: Reuters (*)