Surabaya (ANTARA) - Pakar Kimia Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dwi Setyawan menyebut bahwa gas air mata memang dirancang untuk pengendali kerusuhan.
"Formulasi gas air mata merupakan zat kimia biasa yang digunakan secara terbatas. Yang terdiri dari senyawa 2 Clorobenzalmalononitrile (CS), komponen penentu yang biasa disebut gas CS dan difungsikan sebagai agen pengendali kerusuhan," kata Dwi, dalam siaran persnya, di Surabaya, Sabtu.
Dwi yang sebelumnya ikut dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertemakan "Pertanggungjawaban Pidana Kasus Tragedi Kanjuruhan Malang" menjelaskan bahwa gas air mata bertekstur padat solid kristalik atau bubuk powder (serbuk) serta mengandung bahan kimia yang bersifat iritasi.
"Secara garis besar berkesimpulan bahwa bahan untuk gas air mata sebenarnya yang memang sifatnya toxic," katanya.
"Tapi memang bahannya diformulasikan untuk kebutuhan khusus dalam batas aman. Namun perlu melihat kondisi jika dalam keadaan tertutup misalnya, maka bisa jadi penyebab kematian korban Kanjuruhan," ujarnya.
Sementara itu, Fahimah Martak menambahkan, komponen gas air mata merupakan senyawa yang di dalam gas air mata itu sebetulnya bukan gas tapi serbuk, seperti merica halus.
"Jadi ada di situ digambarkan seperti sianida, itu kan seperti kasus kopi diberi sianida itu kan mati. Karena dosisnya yang tinggi dan diberikan langsung diminum. Kalau ini kan langsung dihirup, itu kadarnya berapa kita tidak tahu yang di hirup itu berapa kadarnya memang menyebabkan sesak nafas," ujarnya.
Dia menegaskan jika gas air mata itu tidak menyebabkan kematian kalau itu hanya dihirup sedikit saja. Berbeda dengan sianida karena diminum. Sebab kalau ini di hirup jika kondisi tubuh nya fit tidak apa apa kalau menghirup sedikit saja.
Tapi, sambungnya, memang kalau bahan kimia itu semua berbahaya seperti gas co yang di keluarkan motor. Itu juga berbahaya, tapi karena udara terbuka mungkin banyak tanaman hijau yang menghirup gas co sehingga manusia tidak apa-apa.
"Gas air mata itu efeknya menimbulkan sesak nafas, mata agak kabur, bukan menyebakkan kematian. Mungkin matinya itu karena menghirup agak banyak atau terinjak-injak saya tidak tahu karena di lapangan itu seperti apa. Jadi kondisi seseorang itu yang sangat berpengaruh," katanya.(*)
Baca juga: Penjelasan dosen Unair terkait Paham Apokaliptik
Baca juga: Epidemiolog Unair: Merebaknya COVID-19 karena mulai lemahnya protokol kesehatan