Kediri (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggelar pelatihan administrasi kependudukan dan kemiskinan secara daring sebagai upaya membekali jurnalis untuk turut serta mengawasi sistem administrasi kependudukan.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kediri Danu Sukendro mengemukakan tujuan pelatihan jurnalistik ini adalah meningkatkan pengetahuan dan mendorong jurnalisme berkualitas bagi jurnalis daerah terkait isu administrasi kependudukan dan kemiskinan di Indonesia. Serta mendorong advokasi atas akses dan pelayanan administrasi kependudukan melalui pemberitaan media massa.
"Dalam situasi tersebut, media massa memiliki tanggung jawab untuk memantau kekuasaan dan memberikan ruang bagi kelompok rentan. Khusus dalam isu ini, media massa berperan mengawasi bagaimana sistem administrasi kependudukan selama ini dijalankan, terutama bagi kelompok rentan seperti masyarakat miskin dan disabilitas," kata Danu Sukendro di Kediri, Jumat.
Pihaknya menambahkan, dari hasil survei sosial ekonomi nasional pada 2020 memperkirakan sekitar 3,99 persen dari 272,2 juta penduduk Indonesia belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK).
"Hal ini artinya sekitar 10,7 juta penduduk belum tercatat dalam sistem administrasi kependudukan, sehingga mereka tidak bisa memiliki dokumen kependudukan dan berisiko tidak bisa mengakses layanan dasar dan publik lainnya seperti sekolah, asuransi kesehatan, layanan peradilan, layanan perbankan, transportasi, air bersih dan listrik," kata dia.
Danu mengatakan, AJI Indonesia dan AJI Kediri bekerjas ama dengan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia menggelar workshop peliputan "Administrasi Kependudukan dan Kemiskinan". Acara ini digelar secara daring.
Workshop ini digelar di tiga wilayah, yakni Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. Di Jawa Timur, kegiatan ini diikuti 26 jurnalis terpilih dari berbagai daerah di Jatim.
Danu juga mengatakan penelitian Puskapa UI juga menjelaskan bahwa warga tidak memiliki dokumen kependudukan bukan karena tidak mau mengurusnya.
"Tapi, karena terhambat secara struktural. Hambatan struktural tersebut terkait faktor sosial, ekonomi, atau tata kelola sistem administrasi kependudukan itu sendiri yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan dokumen kependudukan. Itu kajian dari Puskapa UI," tutur Danu.
Puskapa, kata Danu juga mengidentifikasi tiga lapisan struktural yang menghambat. Lapisan pertama akibat hambatan akses yang disebabkan kemiskinan, keterpencilan, dan sulitnya mobilitas. Lapisan kedua akibat layanan yang tidak peka terhadap kebutuhan khusus warga. Sementara lapisan terakhir akibat adanya praktik yang diskriminatif terhadap identitas sosial tertentu. Satu individu bisa saja mengalami lebih dari satu lapis hambatan.
"Dengan ini, pemberitaan media yang berkualitas dan intensif mengangkat isu ini, diharapkan dapat mempengaruhi perubahan kebijakan menjadi lebih baik," ujarnya.
Sebagai tindak lanjut dari workshop peliputan administrasi kependudukan dan kemiskinan ini, AJI dan Puskapa memberikan kesempatan pada 26 peserta untuk membuat proposal peliputan dengan tema selaras dengan workshop. Lima usulan peliputan terbaik akan mendapatkan bea siswa peliputan dengan total nilai Rp25 juta.