Surabaya (ANTARA) - Diskusi panel nasional yang digelar Laboratorium Pengembangan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (LPEP-FEB Unair) tentang solusi industri hasil tembaku (IHT) mencoba meluruskan adanya stigma negatif tentang rokok di kalangan masyarakat.
"Diskusi panel nasional ini ingin meluruskan adanya anggapan terkait dengan sigaret-rokok sebagai biang kerok dalam merusak kesehatan dan pendidikan karena sigaret-rokok dianggap sebagai racun dan dapat menimbulkan ketergantungan (zat adiktif), termasuk kemiskinan," kata Ketua LPEP-FEB Unair Bambang Afiatno melalui keterangannya, Sabtu.
Bambang mengemukakan kenyataan atau fakta sesungguhnya berdasarkan data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa hal itu tidak sepenuhnya benar seperti penjelasan berikut:
Pertama, golongan rumah tangga miskin yg perokok relatif kecil, hanya sebanyak 3,18 persen (BPS, Susenas Maret 2020, diolah).
Kedua, remaja dengan usia minimal 15 tahun mengonsumsi sigaret-rokok karena pengaruh pergaulan/ sosialita dan sekitar 50 persen berpotensi menjadi perokok aktif dalam jangka waktu antara 4 – 8 tahun. Selain itu kemungkinan mereka akan berhenti/ tidak merokok lagi sebanyak satu (1) dari empat (4) remaja (Survei LPEP-FEB-UNAIR 2021, diolah).
Ketiga, konsumsi makanan sehat (susu & telur) masih rendah untuk kedua kelompok rumah tangga, baik bukan perokok maupun perokok (BPS, Susenas Maret 2020, diolah); Rumah tangga bukan perokok masih kurang dalam mengonsumsi makanan-minuman yang mengandung protein-kalori-mineral (asupan nutrisi/ nutrient intakes) dibandingkan rumah tangga perokok dan begitu juga untuk rumah tangga miskin bukan perokok yaitu masih kurang dalam asupan nutrisi dibandingkan rumah tangga miskin perokok (BPS, Susenas Maret 2020, diolah).
Keempat, tidak ada korelasi yang kuat antara perilaku keluarga merokok dengan kondisi stunting dan gizi buruk pada balita untuk tingkat provinsi (Balitbangkes, Kemenkes, Riskesdas 2018, diolah).
Kelima, jumlah rumah tangga perokok lebih banyak yang memperhatikan mutu pendidikan keluarga dalam capaian lama belajar dibandingkan jumlah rumah tangga bukan perokok.
Hal serupa juga terjadi untuk jumlah rumah tangga miskin perokok daripada jumlah rumah tangga miskin bukan perokok. Jadi, rumah tangga perokok (miskin dan tidak miskin), termasuk anggota rumah tangganya, tidak menjadi halangan bagi pendidikan keluarganya dalam capaian lama belajar sebagai indikator mutu pendidikan (Susenas Maret 2020, diolah).
Keenam, anak dari rumah tangga perokok lebih mendapatkan pekerjaan yang layak (kesesuaian antara pendidikan dengan pekerjaan/ kompetensi kerja sebagai indikator dari ILO/ International Labour Office) daripada anak dari keluarga bukan perokok. Demikian pula juga terjadi untuk anak dari keluarga miskin perokok daripada anak dari keluarga miskin bukan perokok.
Jadi, hal itu menunjukkan bahwa tidak ada relevansi antara mutu SDM/ sumber daya manusia dan kebiasaan merokok, baik rumah tangga miskin maupun tidak miskin (Susenas Maret 2020, diolah).
Ketujuh, China adalah negara perokok terbesar di dunia dengan konsumsi sigaret 18,80 btg/org/hari dan Indonesia menempati urutan ke-sebelas sebanyak 10,60 btg/org/hari. Prevalensi merokok di Indonesia (usia > 10 tahun) untuk laki-laki = 47,30 persen (64,01 juta orang) & wanita = 1,20 persen (1,61 juta orang); Penduduk perokok (usia > 15 tahun) = 28,69 persen (77,52 juta orang), di mana jumlah penduduk Indonesia pada 2020 sekitar 270,2 juta orang (BPS, 2020).
Kedelapan, konsumsi produk hasil tembakau yaitu tidak dapat dipungkiri juga turut andil dalam menyebabkan potensi kerugian dari aspek ekonomi makro. Beberapa biaya yang diperkirakan harus dikeluarkan akibat mengonsumsi produk hasil tembakau yaitu belanja kesehatan (biaya rawat inap dan rawat jalan) untuk beberapa penyakit seperti penyakit jantung, kanker, paru-paru, dan flu.
Selain itu, konsumsi tembakau juga menyebabkan kerugian produktivitas akibat kehilangan upah/ gaji karena sakit/ tidak dapat bekerja. Potensi kerugian ekonomi makro yang disebabkan oleh konsumsi tembakau sebesar Rp61,54 triliun atau 26,00 persen dari penerimaan pajak hasil tembakau pada 2020 (hasil perhitungan Balitbangkes, Kemenkes yaitu sebesar Rp595 triliun, termasuk belanja sigaret sebesar Rp 208 triliun, yakni estimasi terlalu besar karena belanja rokok hanya sekitar Rp125 triliun dan aneh dengan menghitung belanja sigaret sebagai kerugian padahal sigaret adalah kebutuhan konsumsi seperti barang umum lainnya).
Kesembilan, menurut Balitbangkes, Kemenkes bahwa kerugian akibat rokok = 1/3 dari PDB (Rp4.200 triliun) akibat penyakit karena penggunaan rokok. Perhitungan tersebut sangat tidak masuk akal (overestimate), di mana proporsi kerugian tersebut dalam komponen gaji/ upah mencapai 77,08 persen.
Adapun komponen nilai tambah bruto dalam PDB (sisi pendapatan agregat) yaitu terdiri dari upah/ gaji (36,72 persen), penyusutan dan laba (58,55 persen), dan pajak tak langsung (4,73 persen).
Catatan dari aspek ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) pertembakauan:
Pertama, sigaret-rokok dianggap berbahaya karena radikal bebas dari asap sigaret menghasilkan racun dan zat adiktif. Dengan ilmu nano dapat diubah karakter asap sigaret melalui berbagai jenis filter nano (B; DE; dan DF) sehingga asap menjadi tidak berbahaya bagi kesehatan dan bahkan dapat dimanfaatkan untuk kesehatan dalam upaya penyembuhan penyakit.
Kedua, penerapan teknologi budidaya tembakau terpadu, baik jenis Virginia maupun non-Virginia agar dapat diterapkan GAP (good agricultural practices)/ teknik budidaya yang tepat.
Sementara catatan dari aspek peraturan dan kebijakan pertembakauan yaitu:
Pertama, peraturan dan kebijakan untuk pertembakauan jangan selalu berlandaskan utama pada aspek kesehatan karena stigma produk hasil tembakau (racun dan zat adiktif) sehingga produk tersebut seperti barang ilegal dan tidak bermanfaat bagi penggunanya ataupun terhadap berbagai aspek lainnya yang terkait dengan keberadaan produk hasil tembakau tersebut.
Kedua, harmonisasi atau integrasi regulasi dan kebijakan sangat diperlukan untuk mengatur tentang produk hasil tembakau yang strategis dengan melibatkan para pemangku kepentingan (rantai ekonomi-bisnis dari hulu, tengah, dan hilir) sehingga dapat dihindarkan dominasi pada agenda atau kepentingan tertentu saja.
Ketiga, kebijakan publik terkait dengan fasilitas umum tempat merokok masih relatif kurang padahal konsumen sigaret rokok adalah pembayar pajak tak langsung terbesar. Selain itu acapkali tempat itu sangat tidak nyaman dan terpinggirkan, termasuk ketidak-tersediaan tempat merokok di kereta api jarak jauh sedangkan bus jarak jauh menyediakan fasilitas itu.
Adapun catatan selanjutnya dana cukai dan pajak tak langsung HT (berasal dari konsumen sigaret) seharusnya digunakan untuk membantu berbagai keperluan pertembakauan, antara lain seperti: studi dan pelatihan-sosialisasi-pendampingan, termasuk bantuan fisik (barang modal dan saprodi) dan non-fisik (program perangkat lunak dan data) yang terkait dengan rantai ekonomi-bisnis (hulu, tengah, dan hilir) mencakup tembakau, cengkih, sigaret kretek, dan konsumen sigaret.(*)