Tulungagung (ANTARA) - Program asuransi hewan ternak di Kabupaten Tulungagung sampai saat ini kurang diminati atau minim kepesertaan, meski sosialisasi terus dilakukan dengan subsidi pemerintah mencapai 80 persen dari total premi yang harus dibayarkan per tahun.
"Saat awal-awal program (asuransi hewan ternak) dulu, program ini sebenarnya banyak diminati peternak. Namun, jumlahnya terus menurun dari tahun ke tahun," kata Kabid Usaha Peternakan Dinas Peternakan Kabupaten Tulungagung, Mahmilupita Handayani di Tulungagung, Jumat.
Saat ini, jumlah peserta asuransi hewan ternak di Tulungagung tinggal 22 peternak. Pengetatan kriteria dan prosedur klaim serta perubahan jenis penyakit penyebab kematian yang bisa diajukan klaim ganti-rugi diduga menjadi penyebab banyaknya peternak yang mundur dari kepesertaan asuransi hewan ternak tersebut.
"Sebenarnya sudah sering kita ingatkan, namun pasca adanya perubahan regulasi peminat program asuransi ini menurun," katanya.
Sesuai ketentuan, hewan ternak yang bisa didaftarkan asuransi ini hanya jenis sapi dan kerbau betina usia produktif saja. Sedangkan ternak lain seperti kambing dan babi tidak bisa didaftarkan.
Peternak yang mengikuti program ini memiliki pertanggungan pembayaran premi sebesar Rp200 ribu per ekor per tahun. Namun beban premi tersebut mendapat subsidi dari pemerintah sebesar 80 persen, sehingga peternak hanya membayar Rp40 ribu per ekor per tahun.
"Adanya program ini sangat membantu. Sebab setiap kasus kematian sapi atau potong paksa karena 'hypocalcemia' (kelebihan kalsium), misalnya, mereka mendapat ganti rugi senilai Rp10 juta per ekor," paparnya.
Namun, sejak dua tahun terakhir kriteria klaim asuransi mengalami perubahan. Saat ini hanya kasus kematian sapi dengan beberapa penyakit seperti antraks, brucellosis dan distochia saja yang bisa diberi pertanggungan biaya.
Padahal jenis penyakit itu masih bisa diobati dan tidak langsung menyebabkan kematian. "Adanya perubahan ini membuat peternak banyak yang mengundurkan diri, karena rata-rata kasus kematian atau potong paksa di Tulungagung karena 'hypocalcemia'," tuturnya.
Mengenai kasus kematian sapi karena bakteri antraks yang terjadi di Desa Sidomulyo, Kecamatan Pagerwojo, Mahmilupita menjelaskan mereka bukan peserta asuransi sehingga tidak mendapatkan ganti rugi.
Jika pemilik ternak merupakan peserta asuransi, mereka bisa mendapat ganti Rp10 Juta per ekor.