Surabaya (ANTARA) - Mantan Direktur Rumah Sakit (RS) Mata Undaan Surabaya dr Sudjarno mengungkap awal mula kasus pencemaran nama baik dan fitnah yang menyeret dirinya menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Surabaya.
Dalam perkara ini, Sudjarno dilaporkan oleh salah satu pegawainya, dr Lidya, usai memberikan sanksi secara tertulis berupa surat peringatan pertama dengan tuduhan pelanggaran prosedur kerja dan etika profesi.
"Karena direktur berwenang menjatuhkan hukuman etika profesi," ujarnya, menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yusuf Akbar Amin dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak Surabaya, dalam persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan terdakwa di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis.
Sudjarno menunjuk Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 755/MENKES/PER/lV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit sebagai dasar kewenangannya memberikan sanksi.
"Dia menerima saat saya memberikan surat peringatan. Sudah dibaca sebelum ditandatangani. Saya rasa suaminya yang kemudian membuat surat keberatan itu, minta diperingatkan secara lisan saja. Sempat mengancam akan lapor ke Ikatan Dokter Indonesia atau IDI," ucapnya.
Terdakwa dr Sudjarno menandaskan surat peringatan terhadap dr Lidya diterbitkan setelah ada pasien yang marah atas kinerjanya. Melalui pengacaranya, pasien tersebut melayangkan somasi kepada pihak rumah sakit.
"Setelah adanya somasi dari pengacara pasien, pihak rumah sakit mengadakan mediasi dan kami membayar ganti rugi sebesar Rp400 juta untuk perdamaian agar tidak ada tuntutan hukum," ujarnya, menjelaskan.
Dalam perkara ini terdakwa dr Sudjarno didakwa melanggar Pasal 310, Ayat (2) dan Pasal 311, Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sumarso yang bertindak sebagai kuasa hukum terdakwa, kepada wartawan usai persidangan, mengungkapkan bahwa surat peringatan yang diterbitkan kepada dr Lidya merupakan tindakan kolektif dari direksi RS Mata Undaan Surabaya setelah terlebih dulu ditandatangani wakil direktur dan ditembuskan kepada tim medik.
"Dalam bukti berita acara disebutkan bahwa seorang perawat diperintahkan oleh dr Lidya untuk melakukan operasi kepada pasien. Tindakan dr Lidya yang dianggap menyalahi SOP, dikomplain sama pasien. Demi melindungi dr Lidya dari tuntutan hukum, rumah sakit membantu mediasi dengan menyelesaikan secara damai dan memberi ganti rugi Rp400 juta," ujarnya.