Gresik (ANTARA) - Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro berharap diresmikannya komisioning pilot project garam industri di Gresik, Jumat, hasil kerja sama PT Garam dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dapat mengurangi ketergantungan impor.
Komisioning pilot project garam industri adalah peralatan produksi garam industri dengan sistem terintegrasi. Proyek percontohan garam industri tersebut dilengkapi teknologi yang mampu meningkatkan kualitas produk garam lokal dari NaCl 88 persen menjadi garam industri dengan NaCl 98 persen.
"Nantinya rumah tangga maupun perusahaan akan dengan senang hati membeli garam dari PT Garam ini. Dan yang lebih penting mengurangi kebergantungan impor, karena garam yang dihasilkan mempunyai kualitas yang sama dengan garam yang selama ini diimpor," ujar Bambang di sela peresmian.
Bambang menyadari ada drama di dalam negeri saat ini terkait dengan kebutuhan garam, karena selalu dibentur-benturkan antara impor garam untuk kebutuhan industri, dengan nasib para petani garam.
Benturan tersebut, kata dia, seolah menggambarkan pemerintah tidak berpihak pada petani garam dan melakukan impor garam.
"Dua isu ini dibenturkan satu sama lain. Sehingga berkesan pemerintah tidak hadir dan membiarkan begitu saja impor dan menjatuhkan harga garam rakyat. Impor garam industri yang membuat garam rakyat seolah-olah tidak berharga. Ada kesan importir diuntungkan, rakyat dirugikan," ujar Bambang.
Bambang mengungkapkan alasan garam rakyat yang diproduksi petani garam dalam negeri biasanya dibeli dengan harga murah. Itu tak lain karena kualitas dari garam yang dihasilkan kurang bagus, bahkan di bawah standar.
Garam yang diproduksi dengan peralatan seadanya tersebut, memiliki NaCl rendah sehingga membuat harganya juga rendah.
"Harus ada upaya meningkatkan kualitas dari garam itu sendiri. Pabrik ini bisa menghasilkan garam dengan berbagai tingkat, untuk berbagai keperluan. Itu lah yang disebut menyelesaikan masalah dari akarnya. Ini bisa mengurangi kebergantungan impor," tuturnya.
Tantangan berikutnya yang harus dihadapi PT Garam dan BPPT adalah mencari strategi tepat untuk memasarkan haram yang dihasilkan dari pilot project garam industri tersebut.
"Karena importir pasti gerah. Kita harus sama-sama berjuang mengurangi dominasi impor garam," kata Bambang.
Kepala BPPT Hammam Riza menjelaskan, teknologi yang dirancang institusinya tersebut merupakan teknologi untuk membantu petani garam dalam meningkatkan kualitas produk garam lokal sehingga memiliki nilai tambah, dalam rangka meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa.
"Diharapkan ke depan petani garam memiliki dan menyimpan garam dalam bentuk garam industri yang memiliki nilai jual lebih baik dibandingkan garam krosok yang ada selama ini," katanya.
Hammam mengungkapkan, impor garam Indonesia selama 2018 melambung hingga 3,7 juta ton. Saat ini, garam konsumsi yang kebutuhannya sekitar 2 juta ton per tahun sudah dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Tetapi untuk garam industri masih 100 persen impor.
"Inovasi ini diharapkan dapat menjadi contoh untuk implementasi di sentra produksi garam lain di seluruh Indonesia dengan menggunakan design BPPT ini sebagai referensi, maka permasalahan kualitas garam lokal dapat diselesaikan," ujar Hammam.
Ia mengungkapkan, berdasarkan perhitungan, investasi proyek percontohan garam industri yang diresmikan kali ini untuk peralatannya saja sudah mencapai Rp27 miliar.
Namun, itu merupakan cara meningkatkan kualitas garam petani dalam negeri, di mana garam krosok petani sudah bisa dibeli dengan harga maksimum Rp800 per kilogram, dengan kualitas minimum 88 persen NaCl.
"Petani yang saat ini punya garam 90 persen NaCl dapat dengan mudah masuk ke pabrik yang sekarang berdiri di sini. Pilot project garam industri ini memiliki kapasitas produksi 40 ribu ton per tahun," kata Hammam.
Sementara itu, Direktur Utama PT Garam Budi Sasongko berpendapat bahwauntuk menyelesaikan masalah kebutuhan garam dalam negeri harus dengan cara hilirisasi. Saat ini, PT Garam dengan bimbingan BPPT telah melakukan hilirisasi tersebut.
"Alhamdulillah tiga tahun terakhir, kami berturut-turut selama dua tahun bisa membayar deviden untuk negara dan kami bisa meningkatkan hampir 200 persen dari tahun-tahun sebelumnya," kata Budi.