Jakarta (ANTARA) - Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan memperingati setahun pandemi COVID-19, Indonesia terus berupaya mengurangi ketergantungan impor alat kesehatan dengan menghasilkan alat kesehatan buatan sendiri, seperti ventilator dan alat tes cepat COVID-19.
"Upaya kita mengurangi ketergantungan impor alat kesehatan maupun obat berhasil dilakukan," kata Menristek Bambang dalam acara virtual peringatan Satu Tahun Pandemi COVID-19 dengan tema "Inovasi Indonesia untuk Indonesia Pulih, Bangkit dan Maju," di Jakarta, Selasa.
Menristek/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan pada awal pandemi COVID-19, terjadi begitu banyak impor alat tes cepat (rapid test) antibodi untuk skrining atau penapisan COVID-19.
Menristek menuturkan karena kondisi pada saat itu bersifat mendesak, sehingga mungkin tidak ada analisa atau penilaian terhadap kualitas dari alat tes cepat COVID-19 berbasis antibodi yang diimpor dari berbagai negara tersebut.
Sementara impor untuk alat tes antibodi, ventilator, termometer dan bahan baku obat untuk membuat vitamin, Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 yang dibentuk Kementerian Riset dan Teknologi pada Maret 2020 berupaya untuk menghasilkan produk riset dan inovasi untuk substitusi impor.
Saat itu, Indonesia mengimpor seluruh kebutuhan ventilator dari luar negeri. Itu menjadi suatu persoalan yang harus segera diatasi.
Untuk menjawab kebutuhan dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor, Indonesia melalui Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 menghasilkan ventilator dan alat tes cepat berbasis antibodi buatan sendiri seperti RI-GHA, yang sudah dimanfaatkan di tengah masyarakat.
Sejumlah ventilator sudah digunakan di tengah masyarakat seperti BPPT3S-LEN, Vent-I Origin, Ventilator Transport Covent-20 UI, dan Dharcov-23S.
Bahkan, ventilator sudah bisa dibeli secara langsung melalui e-katalog LKPP, yakni BPPT3S-LEN dengan harga Rp25 juta, Vent-I CPAP dengan harga Rp24 juta, dan Dharcov-23S dengan harga Rp78,5 juta.
Meskipun ada unsur yang mendesak karena perlu segera mencari cara untuk menangani COVID-19, semua proses penelitian dan pengembangan sampai hilirisasi produk riset dan inovasi tersebut tetap mengikuti standar dan prosedur yang berlaku di, antaranya lolos uji dari Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK), mendapat izin edar dari Kementerian Kesehatan, dan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Artinya kita tetap mengikuti kaidah ilmiah yang memang harus kita ikuti," tutur Kepala BRIN. (*)