Jakarta (ANTARA) - Menteri Riset dan Teknologi/ Kepala Badan Riset Nasional dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan dirinya telah melaporkan hasil riset testing, tracing dan treatment (3T) kepada Presiden.
"Kami melaporkan kepada bapak Presiden, terkait hasil riset inovasi untuk 3T yaitu testing , tracing dan treatment," kata Bambang seusai mengikuti Rapat Terbatas melalui video conference dengan Presiden di Jakarta, Senin.
Dia mengatakan terkait tracing dan testing dirinya melaporkan tes cepat (rapid test) yang sudah di luncurkan (launching) sekitar bulan Mei tahun ini produksinya sudah mencapai 350.000 per bulan dan diperkirakan bulan depan sudah bergerak naik menuju 1 sampai 2 juta per bulan.
"Dan ini sudah diproduksi oleh 3-4 perusahaan swasta yang tiga sudah memulai dan kemudian ditambah yang keempat sehingga kita berharap bisa mencapai 2 juta per bulan," ujar dia.
Dia mengatakan Presiden memberikan arahan agar penggunaan rapid test untuk COVID-19 benar-benar mengutamakan hasil inovasi atau produksi dalam negeri, sehingga mengurangi atau bahkan menghilangkan impor.
Dia menekankan karena rapid test bersifat antibodi maka sensitivitasnya tinggi tapi spesifitasnya kurang tinggi, sehingga tingkat akurasinya kadang tidak bisa diandalkan untuk menjadi bagian testing, dan memang difokuskan sebagai skrining.
Dia menyampaikan untuk membantu skrining yang lebih akurat, sekaligus membantu testing, pihaknya melaporkan kepada Presiden dua buah inovasi dalam negeri yang diperkirakan nanti bisa menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan terhadap PCR test dan juga solusi untuk skrining yang lebih baik.
Yang pertama yaitu GeNose yang dihasilkan oleh Universitas Gadjah Mada, di mana GeNose ini mampu mendeteksi keberadaan virus COVID-19 dengan menggunakan hembusan napas. Menurut Bambang, pendekatan ini bisa menghasilkan upaya skrining dan deteksi lebih cepat, lebih murah serta lebih akurat.
Berdasarkan uji klinis tahap pertama di sebuah RS di Yogyakarta, tingkat akurasi GeNose dibandingkan PCR test mencapai 97 persen.
"Saat ini kami sedang melakukan uji klinis yang lebih luas lagi di berbagai rumah sakit, sehingga kalau tingkat akurasi yang tinggi mendekati 100 persen, maka GeNose ini bisa menjadi solusi skrining yang nantinya akan mengurangi ketergantungan terhadap PCR test," ujarnya.
Inovasi kedua yakni yang tengah dikerjakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yaitu RT-LAMP yang dapat menjadi sebuah alat rapid swab test (tes usap cepat)
Jika tes usap biasanya membutuhkan waktu lama dan memerlukan laboratorium, maka RT-LAMP dapat dilakukan dengan waktu yang lebih cepat di bawah satu jam dan tanpa menggunakan laboratorium BSL 2.
"Dan kemudian tes usap cepat (rapid swab test) ini tentunya juga bisa menjadi solusi bagi rumitnya testing yang menggunakan PCR. Jauh lebih cepat, lebih murah dan juga tingkat akurasinya sangat bisa dipertanggungjawabkan," ujar dia.
Sementara itu terakhir mengenai treatment, Bambang mengatakan dirinya melaporkan kepada Presiden mengenai plasma konvalesen yang sudah melakukan uji klinik fase 1, di mana di dalam uji klinik fase 1 itu tidak ditemukan efek samping yang serius dari terapi tersebut.
Dan apabila ada kejadian kematian yang terjadi pada pasien yang sedang menjalani uji klinis tersebut, kata dia, bukan karena kegagalan terapi, tetapi karena memang penyakit bawaan yang sangat berat .
"Karena itu rekomendasi yang dikeluarkan dari uji klinis tahap pertama yaitu terapi ini sebaiknya diberikan kepada pasien kategori sedang, jangan diberikan kepada pasien kategori berat," ucapnya.
Dia mengungkapkan sebagai produk dari plasma konvalesen ini, lembaga Eijkman juga sedang mengerjakan suatu metode yang dinamakan Elisa, yang bisa mengukur kadar antibodi spesifik untuk COVID-19, yang muncul baik dari donor plasma pasien COVID-19 maupun nanti ketika vaksinasi sudah mulai dilakukan.
"Maka Elisa ini bisa mengukur apakah setelah vaksinasi seseorang itu berhasil mengeluarkan antibodi dan apakah kadar antibodi sesuai yang diharapkan. Artinya yang bisa menangkal COVID-19," ungkapnya. (*)