Jakarta (ANTARA) - Rancangan Undang-Undang (RUU ) Sumber Daya Air (SDA) diharapkan bisa disahkan sebelum berakhirnya masa tugas DPR RI pada Oktober 2019. Hal itu disebabkan pentingnya keberadaan payung hukum yang mengatur SDA pascapembatalan semua pasal terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi pada 18 Februari 2015.
Karenanya, aturan payung hukum baru harus segera diterbitkan. Pentingnya diundangkannya dengan segera RUU SDA yang baru karena, meskipun keputusan MK juga menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 1974 tentang pengairan diberlakukan kembali, tetapi MK dalam amar keputusannya juga tidak menyatakan bahwa semua aturan pelaksanaan yang mengikuti UU No. 11 Tahun 1974 berlaku kembali.
Dengan demikian, semua aturan tesebut juga batal demi hukum karena sudah semua aturan pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1974 juga dibatalkan oleh semua tata aturan di bawah UU Nomor 7 Tahun 2004.
Berlarut-larutnya RUU SDA untuk segera diundangkan, akan berdampak pada terhambatnya iklim yang tidak kondusif dan proses investasi yang belum ada kepastian hukumnya untuk mengatur pendirian industri berbasis air di Indonesia.
Padahal dalam catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi paling besar pada 2018 lalu masih berasal dari sektor listrik, gas, dan air yang mencapai Rp117,5 triliun atau 16,3 persen dari total investasi, di mana Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor ini sebesar Rp392,7 triliun atau 15 persen dari total investasi.
Jadi RUU ini sangat mendesak terutama untuk pengusahaan sumber daya air.
Dalam sebuah acara Diskusi Pakar yang diadakan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Medan dengan TERRA Simalem, Rabu, 17 Juli 2019, Direktur Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG) Mohamad Mova Al’Afghani melihat masih banyaknya kekurangan dari RUU SDA ini.
Di antaranya soal pemenuhan hak masyarakat atas air, dan jaminan kualitas air untuk kebutuhan pokok masyarakat. Selain itu, juga soal izin swasta untuk SPAM. "Jika itu tidak dihilangkan, ini akan menjadi beban APBN dan APBD. Apa pemerintah mampu," ucapnya.
Hal lainnya adalah soal sanitasi yang di RUU SDA yang belum dianggap sebagai layanan. Sanitasi masih dianggap perlu hanya supaya airnya tidak tercemar saja.
Namun, kata Mova, karena DPR kemungkinan akan mengundangkan RUU SDA ini sebentar lagi, untuk mengimbangi kekurangan yang ada di RUU SDA itu, yang perlu dilakukan adalah
memperjuangkannya di peraturan pelaksanaannya nanti.
"Itu berarti ruangan permainan kita berpindah kepada peraturan pelaksanaannya atau PP-nya. Karena saya lihat di sini DPR berusaha untuk mengatur secara umum dan general saja di RUU SDA," ujarnya.
Mova mengutarakan berlarut-larutnya RUU SDA ini diundangkan akan menghambat pencapaian target 100-0-100 pada 2019 karena investasinya mandeg. Program ini merupakan pemenuhan target 3 sektor, yaitu pemenuhan 100 persen akses layak air minum, pengurangan kawasan kumuh menjadi 0 persen, dan pemenuhan 100 persen akses sanitasi layak.
"Semua butuh investasi, dan investasinya mandeg karena terlalu lama RUU ini tidak diundangkan," kata Mova.
Narasumber lainnya, Alvin Syahrir, Pakar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, mengemukakan perlunya UU SDA yang baru itu disebabkan UU No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang berlaku saat ini pascapembatalan UU SDA oleh MK sudah ketinggalan zaman untuk digunakan sebagai pedoman pelaksanaan pengelolaan sumber daya air.
Menururtnya, pengelolaan SDA sudah saatnya mengatur dan pelaksanaannya secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan, dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi.
Di acara yang sama, Muhammad Reza Shahib dari Kruha (Koalisi Rakyat untuk Hak Asasi Manusia) Jakarta mengatakan, pembahasan RUU SDA ini sudah sangat berlarut-larut, padahal ada kedaruratan. Dia juga mengakui tidak mungkin bisa memiliki UU SDA yang lengkap sesuai harapan semua pihak. Jadi yang terpenting menurut Reza adalah hal-hal yang pokok harus masuk di UU SDA ini nantinya dan tidak campur aduk.
Sementara Abdul Rauf, Ketua Forum DAS Sumatera Utara berharap pengelolaan sumber daya air (SDA) yang ada di UU SDA yang akan disahkan DPR nantinya harus menganut prinsip ekonomi ekologikal.
Baru-baru ini dalam sebuah acara talkshow, Anggota Panja RUU SDA dari Komisi V DPR RI, Syarif Abdullah, menyatakan optimistis dapat merampungkan pembahasan RUU ini sebelum masa tugas mereka pada periode ini berakhir Oktober 2019. "Sekarang sudah masuk pada tahap perumusan UU, kita berharap sebelum selesai masa jabatan DPR periode ini, RUU SDA sudah dapat diundangkan," ujar Syarif.
Staf Khusus Menteri PUPR Firdaus Ali juga optimis bahwa RUU SDA akan diundangkan dalam waktu dekat. Dia menuturkan bahwa hal yang paling krusian adalah bagaimana menterjemahkan amal keputusan MK dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat, termasuk swasta dan industri terkait pemanfaatan sumber daya air.
"Apa yang menjadi konsen APINDO sudah diterima dan diakomodasi oleh DPR, termasuk pasal 47 yang menyebutkan tentang 10% keuntungan untuk konservasi, itu juga sudah tidak ada," tuturnya.(*)
RUU SDA molor, target 100-0-100 terhambat
Jumat, 19 Juli 2019 13:03 WIB
Itu berarti ruangan permainan kita berpindah kepada peraturan pelaksanaannya atau PP-nya. Karena saya lihat di sini DPR berusaha untuk mengatur secara umum dan general saja di RUU SDA