Bojonegoro (ANTARA) - Tari Thengul bagi sebagian orang mungkin masih asing, namun ketika lenggak-lenggok kaku tubuh dan entakan kaki penarinya mulai tampil, seketika itu pula orang akan mengenalnya dan mencari tahu asal muasal seni tari ini.
Tari ini mulai dikenalkan dan digencarkan oleh seniman Bojonegoro, Jawa Timur sebagai salah ikon wilayah yang ada di pinggiran Bengawan Solo tersebut.
Gebrakan pemerintah kabupaten setempat juga patut diacungi jempol dengan menghadirkan sebanyak 2019 penari Thengul dalam Pergelaran Bojonegoro Thengul International Folklore Festival (TIFF) 2019 yang berlangsung pada Minggu (14/7).
Gerakan kaku wajah penari dengan mata melotot ke kiri dan kanan sambil diiringi musik dan gebukan gendang bernada naik turun, seakan mengajak penikmat tari ke sebuah lelucon hingga tersenyum atau bahkan tertawa.
Ditambah tata rias wajah dengan menggunakan bedak putih ala topeng serta busana Jawa yang mendukung, membuat tari ini sangat unik dan memunculkan kesan humor dalam menghibur penonton melalui di setiap gerakan pertunjukannya.
Budayawan Bojonegoro Adi Sutarto mengatakan bahwa Tari Thengul awalnya dikenalkan ke publik pada 1991, saat acara Festival Tari Daerah dalam rangkaian Pekan Budaya dan Pariwisata di Madiun, Jatim.
Di acara itu, setiap daerah diminta menggali potensi daerahnya masing-masing, sedangkan Bojonegoro yang sejak zaman dahulu dikenal dengan Wayang Thengul mencoba mengolaborasi wayang itu dalam bentuk tari.
Sutarto dan kalangan seniman Bojonegoro kemudian sepakat membuat tari yang diambil dari Wayang Thengul yang juga merupakan bagian dari wayang tiga dimensi di Pulau Jawa itu.
Perbedaan Wayang Thengul dengan wayang golek yang ada di Yogyakarta dan Jawa Barat adalah dari sisi cerita yang diambil.
Jika wayang golek Yogyakarta dan Jawa Barat lebih fokus pada cerita Mahabharata dan Ramayana, sedangkan Wayang Thengul lebih fokus pada cerita Babat Tanah Jawa.
"Tari Thengul lebih diartikan pergerakan tubuh manusia yang menyerupai Wayang Thengul, dengan ditambahi beberapa koreografi serta inovasi untuk menambah kesan berbeda," kata Sutarto yang juga berprofesi sebagai pengajar seni dan budaya di salah satu sekolah di Kabupaten Bojonegoro itu.
Perjalanan panjang tanpa lelah para seniman dan budayawan Bojonegoro dalam mengenalkan Tari Thengul di berbagai kesempatan seni dan budaya, akhirnya membuahkan hasil, dan Tari Thengul memperoleh pengakuan serta penetapan sebagai warisan budaya tak benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Tari Thengul kini telah diakui sebagai hak dan warisan intelektual Bojonegoro, dan pengakuan itu baru diberikan tahun 2018, hal yang sama untuk Wayang Thengul juga sama pengakuannya diberikan tahun 2018," katanya.
Pria paruh baya atau umur sekitar 50 ini, berharap generasi selanjutnya bisa melestarikan Tari Thengul melalui berbagai pementasan dan kegiatan seni budaya, serta mengenalkan bahwa Bojonegoro juga mempunyai seni dan tari asli daerah, sebagai bagian dari kearifan lokal.
Apresiatif
Sementara itu, diakui Sutarto bahwa Pemerintah Kabupaten Bojonegoro sangat apresiatif dan mendukung penuh pengenalan Tari Thengul sebagai ikon daerah setempat.
Bahkan, pemkab langsung tancap gas dengan promosi mengenalkan Tari Thengul kepada publik dunia. Tak tanggung-tangung, pemkab mendatangkan delegasi kesenian asing dari empat negara, yaitu Bulgaria, Polandia, Thailand, dan Meksiko dalam Bojonegoro TIFF 2019.
Total seniman dari keempat negara yang didatangkan pada TIFF 2019 berjumlah 103 orang. Mereka dipersilakan menampilkan kesenian negaranya masing-masing dalam rangkaian pergelaran tersebut.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bojonegoro Amir Syahid mengatakan dengan hadirnya seniman dari keempat negara itu bisa mengenalkan Bojonegoro secara luas, bukan hanya masyarakat terhibur namun juga lebih terbuka wawasannya terhadap negara lain.
"Dengan hadirnya mereka, kita sendiri bisa mempromosikan kesenian khas Bojonegoro untuk nanti bisa disebarluaskan mereka di negara masing-masing," katanya.
Selain itu, pihaknya mengundang Museum Rekor Indonesia (Muri) untuk mencatatkan dalam rekor dunia kategori Penari Thengul terbanyak, yakni 2019 penari.
Bupati Bojonegoro Anna Muawanah mengapresiasi semua pihak yang telah mendukung kegiatan ini karena akan mengenalkan Bojonegoro kepada dunia.
"Kami mengapresiasi semua pihak yang turut mempersiapkan pagelaran akbar ini. Harapan kami ke depan, bisa meningkatkan kunjungan wisata ke Bojonegoro, baik wisatawan lokal maupun internasional," katanya.
Anna juga ingin menegaskan ikon budaya Bojonegoro, yaitu Tari Thengul serta Nasi Buwuhan sebagai ikon kuliner, sehingga bisa mendukung promosi "Pinarak Bojonegoro" yang sedang digalakkan.
Ia mengatakan ribuan penari Thengul yang dihadirkan itu melibatkan ribuan pelajar di Bojonegoro dari tingkat SD sampai tingkat SMA/SMK, dengan 91 orang yang bertugas melatih gerakan para pelajar ini, termasuk pula mempersiapkan pengaturan posisi penari yang tampil di Lapangan Desa Trucuk, Jembatan Sosrodilogo, serta bantaran Sungai Bengawan Solo.
Bojonegoro TIFF 2019 yang digelar sejak 14 sampai dengan 18 Juli 2019 juga berisikan antara lain Festival Lontong Kikil Trucuk, Lomba Cipta Menu Nasi Buwuhan bersama Chef Juna, Street Performance, Pertunjukan Seni Empat Negara, Culture Visit, Culture Night, Workshop Kesenian Rakyat, dan Pergelaran Wayang Thengul.
Selain itu praktik membatik, penanaman pohon di Wonocolo, dan Pemecahan Rekor MURI Tari Thengul Kolosal dengan 2019 penari.
Upaya berbagai pihak di Kabupaten Bojonegoro termasuk pemerintah daerah setempat dalam memperkenalkan Tari Thengul kepada masyarakat dunia, kiranya patut mendapatkan apresiasi.
Bojonegoro menyapa dunia melalui Tari Thengul
Minggu, 14 Juli 2019 22:35 WIB