Surabaya (ANTARA) - "Masyarakat di sini setengah trauma dengan tanaman kakao, karena dulunya sempat jadi andalan, tetapi kemudian harganya rendah dan tidak menguntungkan. Ya, akhirnya dibiarkan saja tanaman itu ", kata Muhammad Hamim, Ketua Kelompok Tani Tirto Mulyo di Desa Kemloko, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Mengawali obrolan seputar budi daya kakao di desanya, Minggu (26/5), ia menjelaskan bahwa Desa Kemloko menjadi salah satu desa di Jatim yang dijadikan wilayah pengembangan budi daya kakao rakyat melalui Program Pengembangan Kakao Berkelanjutan (Sustainable Cocoa Development Programme/SCDP).
Program ini merupakan kerja sama dari masyarakat Uni Eropa, Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) dan Pusat Penelitian Kopi-Kakao Indonesia (Puslitkoka).
"Ketika pertama ditawari program ini, kami sempat ragu. Apa bisa dan menguntungkan? " kata Hamim seraya mengisahkan perjuangan saat program ini mulai diluncurkan pada 2016.
Dari tawaran program itu, Hamim lantas berusaha mencarikan lahan milik warga Desa Kemloko untuk dijadikan demplot (lahan percontohan) budi daya tanaman kakao.
Hamim menyebut awal-awal sempat kesulitan mencari lahan, karena sebagian petani masih trauma. Tapi, alhamdulillah secara bertahap beberapa petani mulai ikut bergabung dan saat ini kelompok taninya memiliki sebanyak 21 anggota.
Dari pemanfaatan lahan pekarangan rumah milik anggota Poktan Tirto Mulyo tersebut, terkumpul luas lahan budi daya sebagai demplot tanaman kakao mencapai 4 hektare.
Penanggung jawab SCDP Jatim pun kemudian berkoordinasi dengan Puslit Kopi-Kakao sebagai penyedia bibit kakao untuk memasok ke Desa Kemloko. Bibit kakao unggulan hasil penelitian dan pengembangan ditanam dengan pendampingan tenaga khusus.
"Dari kebun percobaan di Puslitkoka Jember, bibit kakao unggulan itu sudah berbuah mulai usia 1,5 tahun dan mampu berproduksi sekitar dua ton biji kakao setiap hektarenya," kata Handoko, tenaga pendamping SCDP.
Produktivitas tanaman kakao itu jauh lebih baik dibanding milik petani Desa Kemloko sebelumnya, yang baru berbuah saat memasuki usia 4 tahun dengan produksi yang kurang maksimal.
"Kuncinya adalah perawatan tanaman, seperti pemupukan dan penyemprotan obat antihama. Setelah itu, tanaman kakao yang sudah jadi tinggal dipetik hasilnya," tambah Handoko.
Lima daerah
Selain di Kabupaten Blitar, pengembangan budi daya kakao rakyat melaui SCDP juga dilakukan di Kabupaten Trenggalek, Pacitan, Bondowoso, dan Malang, dengan masing-masing daerah memiliki luasan lahan yang berbeda.
Kelima kabupaten itu merupakan sentra perkebunan kakao di Jatim, selain Jember, Banyuwangi, dan Madiun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat luas areal perkebunan kakao di Jatim pada 2017 mencapai 58 ribu hektare, sementara setahun sebelumnya sekitar 57 ribu hektare. Sebagian besar lahan budi daya milik perusahaan atau industri.
Manajer SCDP Isdarmawan Asrikan mengemukakan program ini sudah mulai dicanangkan pada 2016 oleh gubernur Jatim dan jadwal pelaksanaannya berlangsung selama empat tahun hingga 2020.
"Para petani yang terlibat dalam program ini juga mendapat pelatihan budi daya, pengolahan pascapanen, dan sebagainya. Pelatihan dilaksanakan di Puslit Ko-Ka Jember," katanya.
Isdarmawan yang juga Ketua GPEI Jatim itu menambahkan bahwa pelaksanaan program ini diawali dari keprihatinan terhadap produksi kakao Jatim yang terus mencatat tren penurunan, sementara pengembangan tanaman di tingkat petani belum maksimal.
Menurut Pak Is, sapaan akrab Isdarmawan, produksi kakao Jatim saat ini berkisar 30 ribu hingga 35 ribu ton per tahun, sementara kebutuhan kakao untuk industri makanan dan minuman di provinsi setempat mencapai sekitar 100 ribu sampai 200 ribu ton per tahun.
Untuk menutup kebutuhan tersebut, Jatim masih "mengimpor" biji kakao dari luar Jawa, seperti Sulawesi.
Dengan potensi kebutuhan yang masih cukup besar, Pak Is berharap program pengembangan tanaman kakao berkelanjutan di sejumlah daerah di Jatim itu bisa mendorong petani untuk menggiatkan budi daya tanaman kakao.
Harga biji kakao saat ini juga cenderung bagus, berkisar Rp20 ribu hingga Rp25 ribu per kilogram.
Selain budi daya, para petani melalui kelompoknya juga didorong untuk membuat semacam industri rumahan yang memproduksi makanan dan minuman dari bahan baku biji kakao.
Langkah ini sudah berjalan di Trenggalek melalui pendirian rumah coklat, sebuah industri kecil yang memproduksi berbagai produk makanan dan minuman bercita rasa coklat. Bahan baku coklat berupa biji kakao dipasok para petani yang tergabung dalam SCDP.
"Jadi, nanti setelah program ini berakhir pada 2020, kami berharap pemerintah daerah bisa melanjutkannya. Ini semacam stimulus dan alhamdulillah minat petani mulai tumbuh setelah melihat hasil tanaman yang sudah berbuah, tinggal bagaimana pemda menindaklanjuti," paparnya.
Ketua Poktan Tirto Mulyo, Muhamad Hamim, mengakui bahwa saat ini sejumlah petani di desanya mengajukan diri untuk mendapatkan bantuan dari SCDP, setelah mereka melihat hasil budi daya yang dikembangkan kelompoknya.
Bahkan, lahan budi daya yang bisa dikembangkan jumlahnya cukup luas. "Karena itu, kami mohon program ini bisa dilanjutkan lagi, tidak hanya sampai tahun 2020," imbuh Hamim.
Kepala Bidang Perkebunan pada Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Blitar Lukas Sugiyatno saat bertemu Poktan Tirto Mulyo menuturkan bahwa tanaman kakao pernah dibudidayakan petani di beberapa kecamatan di wilayah setempat.
Selain di Kecamatan Nglegok, tanaman kakao juga dibudidayakan warga di Kecamatan Udanawu dan Kademangan. Akan tetapi, saat ini tanaman tersebut sudah tidak terurus, bahkan sudah ditebangi dan diganti tanaman lain.
Menurut Lukas, masalah pemasaran atau penjualan hasil panen menjadi kendala bagi para petani kakao, ditambah harga yang mereka dapat sangat rendah.
"Program pengembangan kakao rakyat melalui SCDP ini sangat baik dan kami mendukung penuh. Kami berkomunikasi intensif dengan para petani dan siap bekerja sama menggiatkan lagi budi daya tanaman kakao rakyat," katanya. (*)
Menggairahkan kembali budi daya kakao rakyat
Senin, 27 Mei 2019 15:52 WIB
Ketika pertama ditawari program ini, kami sempat ragu. Apa bisa dan menguntungkan?