Tulungagung, Jatim (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur mulai melibatkan seluruh elemen masyarakatnya untuk ikut berperan aktif dalam upaya pengendalian dan penanggulangan tuberculosis di daerah itu.
"Pelibatan semua elemen itu dituangkan dalam Perda nomor 4 Tahun 2019 tentang Pengendalian Tuberculosis di Kabupaten Tulungagung," kata Kasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Tulungagung, Didik Eka saat menggelar sosialisasi perda itu di hadapan perwakilan organisasi perangkat daerah (OPD), lembaga pelayanan kesehatan dan awak media di Tulungagung, Kamis.
Ia mengakui upaya identifikasi kasus TBC di Tulungagung belum optimal.
Dari "incident rate" (IR) yang ditetapkan nasional berdasar survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan selama ini, kata Didik, kasus tuberculosis yang berhasil ditemukan di Kabupaten Tulungagung baru di kisaran 40 persen.
Pada kurun 2017, misalnya, dari rata-rata angka kejadian nasional yang ditetapkan Kemenkes sebanyak 3.095 kasus, di Tulungagung yang ditemukan hanya sepertiganya atau sebanyak 1.043 kasus TBC.
Demikian juga pada kurun 2018, dari IR yang ditetapkan sebanyak 2.984 kasus, yang teridentifikasi di "Kota Marmer" itu ada sebanyak 1.216 kasus.
"Tahun ini (2019) untuk triwulan pertama, dari rata-rata 'incident rate' sebanyak 2.419 kasus, yang teridentifikasi sementara baru 345 kasus," katanya.
Menurut Didik, belum optimalnya pengidentifikasian dan pengendalian kasus TBC di daerahnya karena penanganan selama ini hanya mengikat pada OPD-OPD (Dinkes, dinsos, kesra, dinas ketenagakerjaan) saja dan LSM.
"Dengan Perda Nomor 4/2019 tentang Pengendalian TBC yang telah diberlakukan mulai 25 Maret 2019 ini diharapkan mengikat seluruh lapisan masyarakat yang ada di Kabupaten Tulungagung," katanya.
Dengan begitu, kata dia, jangkauan dari upaya pengendalian tuberculosis, mulai penemuan kasus, pengobatan kasus, dan akhirnya sampai sembuh bisa sampai ke lapisan masyarakat secara keseluruhan.
Didik memastikan kampanye implementasi Perda Pengendalian TBC akan terus dilakukan dinas kesehatan ke berbagai elemen, baik ke kalangan OPD terkait, lembaga jasa layanan kesehatan, media massa maupun masyarakat umum akan rutin dilakukan agar tujuan pengendalian penyakit TBC di Tulungagung bisa optimal.
Ia menjelaskan, dalam pengendalian tuberculosis secara nasional bahkan global, dalam hal ini WHO, ini sudah ada ketentuan bahwa penanganan TBC harus mengacu strategi DOTS ((Directly Observed Treatment Shortcourse).
Dengan standar DOTS ini, kata dia, obatnya sudah ditentukan, harus dipantau, diikuti perkembangan kasusnya pada pasien yang tahu diidentifikasi. Hal ini sesuai dengan Permenkes 67/2016.
Apabila ada faskes (fasilitas kesehatan) tidak sesuai dengan startegi DOTS tadi, ini baru akan dikenai sanksi administrasi. Mulai dari teguran lisan, tertulis, hingga pembekuan izin operasi.
"Itu konteksnya. Jadi artinya, masyarakat yang sakit (TBC) itu akan ditangani dengan sesuai dengan SOP yang semestinya," kata Didik.
Regulasi dalam perda ini mengikat pada semua jenis layanan kesehatan, mulai rumah sakit pemerintah maupun swasta, klinik, puskesmas, balai pengobatan juga dokter mandiri. Semua (aturan) mengikat di sana, katanya. (*)