Malang (ANTARA) - Koordinator program Konservasi Hutan Dataran Rendah (KHDR) Profauna Indonesia Erik Yanuar mengemukakan, pembalakan liar di hutan lindung Apusan, Desa Tambakrejo, Kabupaten Malang, mengancam kelestarian rangkong dan lutung Jawa, padahal kedua hewan tersebut merupakan satwa langka dan dilindungi.
"Kerusakan hutan Apusan yang berada di bawah pengelolaan Perhutani ini diperkirakan mencapai 200 hektare dari luas keseluruhan yang mencapai 566,20 hektare. Padahal, hutan ini menjadi habitat berbagai satwa liar dan dilindungi," kata Erik di Malang, Jawa Timur, Jumat.
Hutan lindung Apusan di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, masuk dalam petak 68B dengan luas total sekitar 566,20 hektare dan merupakan hutan heterogen dataran rendah yang menjadi habitat berbagai jenis satwa liar.
Beberapa satwa yang ada di kawasan hutan Apusan itu, termasuk jenis yang kian hari kian terancam punah, yaitu burung rangkong jenis kangkareng perut putih (Anthracoceros albirostris) dan lutung Jawa (Trachypithecus auratus). Keberadaan kedua jenis satwa ini terancam dengan adanya deforestasi.
Erik menerangkan, burung rangkong dan lutung Jawa itu jenis satwa yang sangat tergantung dengan keberadaan hutan yang bagus sebagai tempat tinggal dan mencari makan. Khusus rangkong, burung yang sudah dilindungi ini membutuhkan pohon yang besar dan tinggi sebagai sarangnya.
"Burung rangkong itu burung unik, dia biasanya bersarang di pohon yang diameternya lebih dari 40 cm dan dia akan tinggal dalam lubang pohon untuk menjaga anaknya yang masih bayi," kata Erik.
Pantauan Profauna Indonesia pada Desember 2018 dan Februari 2019, lanjut Erik, ditemukan dua kelompok lutung Jawa dan kangkareng perut putih di hutan Apusan. Satu kelompok lutung itu beranggotakan tujuh sampai 10 ekor.
Menurut keterangan penduduk Desa Tambakrejo yang dekat dengan hutan Apusan, kata Erik, dulu ketika hutannya masih bagus, burung rangkong bisa dijumpai hingga puluhan ekor.
Selain burung rangkong, jenis burung lainnya yang terpantau ada di hutan Apusan, antara lain elang bido (Spilornis cheela), elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster ), kutilang (Picnonotus aurigaster), terucuk (Picnonotus goiavier), takur tenggeret (Megalaima australis), tohtor (Megalaima armillaris), cekakak sungai (Todirhampus chloris), raja udang biru (Alcedo coerulescens) dan cipoh (Aegithina tiphia), serta monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
Oleh karena itu, Profauna Indonesia menyesalkan pembalakan liar di hutan Apusan yang sudah terjadi dalam setahun terakhir dan terkesan terjadi pembiaran oleh petugas Perhutani.
Pembalakan liar itu terjadi secara terbuka dan juga jelas penampungnya. Seharusnya ketika pembalakannya belum meluas, petugas Perhutani sudah mengantisipasinya, tetapi hal itu terkesan dibiarkan.
"Kami mendesak agar pembalakan liar itu dihentikan dan dilakukan rehabilitasi hutan yang telah rusak. Apalagi kerusakan hutan Apusan ini juga menyebabkan keresahan sebagian warga Desa Tambakrejo, karena khawatir dengan dampak bencana banjir dan longsor jika kerusakan hutan Apusan itu terus dibiarkan," tutur Erik.
Menurut dia, rehabilitasi hutan itu mutlak perlu dilakukan agar fungsi ekologi hutan Apusan menjadi pulih. Profauna mendorong agar rehabilitasi hutan itu melibatkan masyarakat setempat.
"Pembalakan liar itu tidak bisa dibiarkan, harus diusut tuntas siapa aktornya dan penampung kayunya, karena ini sudah masuk kejahatan konservasi sumber daya alam," kata Siti Nur Hasannah, juru kampanye Profauna Indonesia.
Menurut UU Kehutanan nomor 41 tahun 1999 pasal 50, pelaku perambahan atau penebangan liar di kawasan hutan bisa diancam hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp5 miliar.