Jember (Antaranews Jatim) - Puluhan jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Jember menolak remisi yang diberikan pemerintah kepada terpidana pembunuh jurnalis dengan menggelar demonstrasi di bundaran DPRD Jember, Jawa Timur, Senin.
Para jurnalis melakukan longmarch dengan melakukan jalan mundur dari depan Kodim 0824 Jember menuju bundaran DPRD Jember sebagai simbol mundurnya penegakan hukum di Indonesia.
"Kami mengecam pemberian remisi melalui keputusan presiden kepada terpidana yang membunuh jurnalis Radar Bali Prabangsa," kata korlap aksi Mahrus Sholih di Jember.
Menurutnya Presiden Joko Widodo memicu kekecewaan komunitas pers karena memberikan remisi terhadap Susrama, terpidana kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali AA Prabangsa dan keputusan itu tertuang dalam Kepres No. 29 tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara tertanggal 7 Desember 2018 dan Susrama merupakan satu dari 115 terpidana yang mendapatkan keringanan hukuman tersebut.
Ia mengatakan Susrama diadili karena kasus pembunuhan terhadap jurnalis Prabangsa pada 9 tahun lalu. Pembunuhan itu terkait dengan berita-berita dugaan korupsi dan penyelewengan yang ditulis Prabangsa di harian Radar Bali, dua bulan sebelumnya.
Hasil penyelidikan polisi, pemeriksaan saksi dan barang bukti di persidangan menunjukkan bahwa Susrama adalah otak di balik pembunuhan jurnalis Radar Bali itu.
"Untuk itu, puluhan jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Jember (AJI Jember, IJTI Tapal Kuda, dan FWLM Jember) mengecam pemberian remisi kepada pembunuh jurnalis," ucap Mahrus, jurnalis Radar Jember itu.
Beberapa poster yang dibawa sejumlah jurnalis di antaranya bertuliskan "Cabut Remisi Pembunuh Jurnalis", "Pembunuh Jurnalis = Penjahat HAM", "Remisi Itu Mengancam Kebebasan Pers", dan "Batalkan Remisi kepada Pembunuh Jurnalis".
Berdasarkan data AJI, lanjut dia, kasus Prabangsa adalah satu dari banyak kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia dan kasus Prabangsa adalah satu dari sedikit kasus yang sudah diusut.
Sementara delapan kasus lainnya belum tersentuh hukum di antaranya pembunuhan Fuad M Syarifuddin (Udin) yang merupakan wartawan Harian Bernas Yogya (1996), pembunuhan Herliyanto yang merupakan wartawan lepas harian Radar Surabaya (2006), kematian wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV Ardiansyah Matrais (2010), dan kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya (2010).
"Berbeda dengan lainnya, kasus Prabangsa itu bisa diproses hukum dan pelakunya divonis penjara dan dalam sidang Pengadilan Negeri Denpasar 15 Februari 2010, hakim menghukum Susarama dengan divonis penjara seumur hidup," katanya.
Kini Presiden Joko Widodo melalui Kepres No. 29 tahun 2018 memberi keringanan hukuman kepada Susrama dan menanggapi keluarnya keputusan presiden itu, maka Aliansi Jurnalis Jember mengecam kebijakan Presiden Joko Widodo yang memberikan remisi kepada pelaku pembunuhan keji terhadap jurnalis, bahkan fakta persidangan jelas menyatakan bahwa pembunuhan itu terkait berita dan pembunuhannya dilakukan secara terencana.
"Kebijakan presiden yang mengurangi hukuman itu melukai rasa keadilan tidak hanya keluarga korban, tapi jurnalis di Indonesia," katanya.
Aliansi Jurnalis Jember meminta Presiden Joko Widodo mencabut keputusan presiden pemberian remisi terhadap Susrama karena kebijakan semacam itu justru menciderai kebebasan pers di Indonesia.
"Kami menilai tidak diadilinya pelaku kekerasan terhadap jurnalis, termasuk juga memberikan keringanan hukuman bagi para pelakunya akan menyuburkan iklim impunitas dan membuat para pelaku kekerasan tidak jera, dan itu bisa memicu kekerasan kepada jurnalis terus berlanjut," ujarnya.
Aksi puluhan jurnalis tersebut diakhiri dengan aksi teatrikal jurnalis yang mati dengan tumpukan kertas sebagai simbol keprihatinan jurnalis terhadap remisi yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada pembunuh jurnalis Prabangsa.(*)
Diawali Jalan Mundur, Aliansi Jurnalis Jember Demo Tolak Remisi Pembunuh Jurnalis
Senin, 28 Januari 2019 13:08 WIB
Kebijakan presiden yang mengurangi hukuman itu melukai rasa keadilan tidak hanya keluarga korban, tapi jurnalis di Indonesia,