Pada Bulan Maulid ini, masyarakat Muslim di sejumlah daerah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, tengah sibuk mengadakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain di masjid-masjid dan mushalla, biasanya perayaan itu juga dilaksanakan di rumah masing-masing penduduk.
Bahkan di sejumlah wilayah di Madura, perayaan Maulid Nabi itu berlangsung hingga bulan berikutnya alias ba'da Maulid. Hal itu terjadi karena setiap rumah melaksanakan peringatan Maulid sendiri-sendiri dan baru mendapatkan giliran waktu di luar bulan Maulid.
Cendekiawan Muslim Indonesia almarhum Prof Dr Nur Cholish Madjid alias Cak Nur dalam sebuah forum yang disiarkan ulang dalam laman youtube mengakui bahwa perayaan Maulid Nabi memang bukan ajaran agama, melainkan bagian dari budaya agama.
Cak Nur menjelaskan, sejarah perayaan Maulid dimulai oleh seorang panglima perang terkemuka dalam sejarah Perang Salib, yakni Salahuddin Al Ayyubi. Ide memperingati Maulid Nabi itu diperoleh Salahuddin Al Ayyubi dari mencermati pasukan Kristen yang dinilainya selalu memiliki semangat tinggi untuk berjuang.
Salahuddin melihat bahwa semangat juang pasukan Kristen itu tinggi karena diinjeksi dari adanya peringatan kelahiran Nabi Isa yang dikenal sebagai perayaan Natal. Maka untuk meningkatkan ghirah atau semangat berjuang kaum Muslim, Salahuddin berpikir bagaimana kalau diadakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Maka dalam praktiknya, pada peringatan itu dibacakan sejarah perjuangan Rasulullah, bagaimana Nabi saat berperang dan lainnya.
Ternyata, ikhtiar sekaligus ijtihad dari Salahuddin itu berhasil. Setelah peringatan Maulid, semangat jihad umat Muslim kala itu menjadi semakin tinggi, dari sebelumnya yang dinilai mulai loyo.
Untuk peringatan Maulid saat ini, tentunya konteks jihadnya berbeda. Sekarang bukan zaman perang, melainkan keadaan aman dan semua pemeluk agama, khususnya di Indonesia, hidup berdampingan secara damai. Maka jihad saat ini adalah bagaimana umat Islam berjuang untuk meningkatkan kualitas Muslim lainnya, baik di bidang pendidikan, sosial maupun ekonomi.
Kalau menilik kembali semangat dasar agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, maka umat Islam harus terus berjuang untuk mewujudkan Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Maka, Umat Islam tidak saja peduli pada sesama Muslim lainnya, melainkan juga pada seluruh umat manusia, bahkan pada alam dan lingkungan.
Kalau saat ini dunia sedang menghadapi masalah lingkungan, termasuk penanganan sampah, maka umat Islam bisa mewujudkan rasa cintanya kepada Rasulullah SAW lewat kepeduliannya pada masalah lingkungan ini. Umat Islam harus mengambil peran utama dalam isu global ini.
Bagaimana dengan tuduhan bahwa peringatan Maulid ini bi'dah alias mengada-ada? Karena bid'ah, maka urusannya dengan dosa dan neraka. Sudah banyak ulama yang menjelaskan bahwa jika ukuran bid'ah itu hanya "karena tidak dilakukan oleh Nabi", maka banyak hal yang kita lakukan saat ini adalah bid'ah, bahkan dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Ulama terkemuka Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun mengatakan bahwa bid'ah adalah yang berkaitan dengan ibadah mahdah, sedangkan di luar itu, dipersilakan untuk menyesuaikan dengan keadaan.
Ibadah mahdah adalah ibadah yang sudah ditentukan dengan pasti syarat dan rukunnya, misal shalat wajib atau puasa dan haji. Kalau Shalat Subuh ketentuannya dua rakaat, maka tidak boleh dikurangi atau ditambahi. Atau puasa Ramadhan yang sudah ditentukan waktunya, maka tidak boleh puasa itu dilaksanakan di bulan lain di luar Ramadhan.
Demikian juga dengan haji. Maka dapat disimpulkan bahwa peringatan Maulid itu boleh-boleh saja, bahkan jika niatnya sebagai ekspresi kecintaan kita kepada Nabi, maka hal itu mengandung nilai ibadah.
Demikian, wallaahu a'lam bisshowab. Hanya Allah yang tahu. (*)
Maulid, Menggali Teladan dan Ghirah Rasul
Jumat, 23 November 2018 12:47 WIB